Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Yayasan Sofyan Djalil dalam Sengkarut Dana Sawit BPDPKS

Dugaan penyelewengan dana sawit BPDPKS menyasar yayasan Sofyan Djalil. Ia pendiri lembaga yang mengelola pungutan ekspor minyak sawit.

1 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas menunjukkan sampel bahan bakar minyak (BBM) B-20, B-30, dan B-100, di Jakarta, 26 Februari 2019/TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kejaksaan Agung menaikkan penanganan kasus korupsi dana sawit BPDPKS ke tingkat penyidikan.

  • Penyidik menggeledah yayasan yang didirikan Sofyan Djalil.

  • Jaksa sudah memeriksa belasan saksi.

PENGUSUTAN dugaan korupsi dana sawit melalui penyaluran subsidi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) bergulir kembali. Setelah vakum sehabis memeriksa Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto pada Juli lalu, sejumlah penyidik Kejaksaan Agung mendatangi kantor Yayasan Warisan Nilai Luhur Indonesia di Jalan Raya Bogor, Depok, Jawa Barat, pada Senin, 25 September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yayasan yang bernama Inggris Indonesia Heritage Foundation (IHF) itu didirikan Sofyan Djalil. Ia Menteri Koordinator Perekonomian 2014-2015. Sofyan adalah menteri yang mencetuskan ide pengelolaan dana sawit hingga pendirian BPDPKS pada 15 Juni 2015. "Ada beberapa dokumen yang disita," kata Sofyan kepada Tempo sehari seusai penggeledahan atau Selasa, 26 September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kejaksaan Agung sudah memeriksa belasan saksi. Dua di antaranya Kepala Divisi Keuangan IHF Shifa Sinthia serta Direktur Pendidikan Penelitian Pengembangan dan Keuangan IHF Florence Yulisinta Jusung. Keduanya diperiksa pada Jumat, 22 September lalu. Pada hari itu, jaksa juga memeriksa J, pengurus Indonesian National Shipowners Association. “Pemeriksaan ketiga saksi untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan penyidikan kasus BPDPKS,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana.

Bangunan milik Indonesia Heritage Foundation (IHF) di Jalan Raya Bogor, Cimanggis, Depok, 29 September 2023/Tempo/Magang/Joseph

Penggeledahan di IHF berlangsung dua hari. Pihak jaksa mengambil sejumlah dokumen. Yayasan IHF merupakan lembaga nirlaba yang dirintis Sofyan bersama istrinya, Ratna Megawangi, pada Juni 2000. Yayasan ini berfokus pada pengembangan pendidikan berbasis karakter dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi. IHF memiliki sejumlah bangunan di Jalan Raya Bogor dan Tapos, Depok. Sofyan mengaku tak paham mengapa tim kejaksaan menyasar Yayasan IHF. “Silakan tanya jaksa,” ucapnya.

Baca: Dana Sawit BPDPKS: Kroni, Emisi, dan Deforestasi

Kejaksaan Agung mulai menelusuri kasus BPDPKS pada Juni lalu. BPDPKS berbentuk badan layanan umum (BLU). Sofyan membentuknya untuk menampung dan mengelola dana pungutan ekspor dari para perusahaan kelapa sawit. Kejaksaan menduga ada kerugian negara dalam penyaluran subsidi biodiesel dana sawit dari BPDPKS.

Jaksa meningkatkan penanganan kasus ini menjadi penyidikan dugaan penyelewengan dana BPDPKS pada Kamis, 7 September lalu. Pengusutan kasus ini merupakan pengembangan dari penyidikan dugaan korupsi minyak goreng. Namun, hingga kini, jaksa belum menetapkan satu pun tersangka.

Ketut Sumedana mengatakan tim jaksa belum bisa menentukan secara pasti nilai kerugian penyelewengan dana BPDPKS. Jaksa, dia menambahkan, masih memetakan kasus ini dengan memeriksa sejumlah orang dari pemerintah dan swasta. "Tunggu saja,” tuturnya.

Selain memeriksa Ketua Dewan Pengarah BPDPKS yang dijabat Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto pada 24 Juli lalu, jaksa meminta keterangan pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Kementerian Energi adalah lembaga yang berwenang menentukan besaran subsidi untuk perusahaan kelapa sawit yang memproduksi biodiesel. Jaksa juga memeriksa PT Pertamina Patra Niaga yang menjadi produsen serta manajemen PT Wilmar Bio Energi dan PT Wilmar Nabati Indonesia yang mendapat dana BPDPKS.

Salah satu bukti yang dikantongi jaksa dalam mengusut yayasan Sofyan Djalil adalah komunikasinya dengan Lin Che Wei pada 2016. Lin Che Wei ketika itu menjabat staf khusus Sofyan yang membidani lahirnya BPDPKS. Lin Che Wei kini berada di penjara sebagai terpidana korupsi pemberian izin ekspor minyak sawit mentah. Dia divonis tujuh tahun bui dan denda Rp 250 juta.

Dalam percakapannya dengan Sofyan, Che Wei diduga menawarkan diri mencarikan sumbangan untuk Yayasan IHF dari para pelaku usaha. Seusai penawaran itu, begitu informasi yang dikantongi jaksa, rekening yayasan Sofyan Djalil tersebut menerima dana dari sejumlah perusahaan kelapa sawit.

Sofyan membantah kabar bahwa yayasannya menerima kucuran dana dari BPDPKS. Selama ini, dia mengungkapkan, IHF hanya menerima sumbangan dari individu dan dana corporate social responsibility pengusaha yang tidak mengikat. Jumlah sumbangan, Sofyan menjelaskan, bervariasi dari belasan juta hingga miliaran rupiah. Apakah ada sumbangan yang berasal dari produsen produk kelapa sawit? “Ada,” kata Sofyan.

Menurut dia, sumbangan untuk yayasannya bersifat terbuka bagi siapa pun dan tak terbatas pada perusahaan sawit. Ia menyebutkan perusahaan donatur yang menyumbang kepada yayasannya juga berasal dari perbankan, industri, properti, dan pertambangan. Sofyan mengklaim semua dana tersebut digunakan untuk kepentingan yayasan, bukan kepentingan pribadi. “Setiap tahun diaudit oleh lembaga audit PricewaterhouseCoopers dan hasilnya selalu wajar tanpa pengecualian,” ujarnya.

Pengacara Lin Che Wei, Maqdir Ismail dan Handika Honggowongso, mengaku tak mengetahui adanya komunikasi kliennya dengan Sofyan Djalil. “Selama pendampingan hukum, kami tidak pernah membicarakan masalah ini,” ujar Maqdir. Menurut Handika, selaku staf khusus, Che Wei hanya bertugas memberikan dukungan dan asistensi kebijakan. “Setahu saya, beliau banyak melakukan riset dari sisi teknis dan komersial terkait dengan biosolar,” tuturnya.

•••

SAAT berdiri pada 2015, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit didesain memiliki komite pengarah. Presiden Joko Widodo menunjuk Sofyan Djalil secara ex-officio sebagai Menteri Koordinator Perekonomian untuk memimpinnya. Tugasnya mengkoordinasikan gugus tugas bersama tujuh kementerian/lembaga lain, yakni Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, badan usaha milik negara, serta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Dasar hukum pembentukan badan ini adalah Pasal 93 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Regulasi ini membolehkan pemerintah menghimpun dana dari pelaku usaha. Aturan turunan BPDPKS kemudian tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Sawit. Peraturan presiden ini menyebutkan dana tersebut dihimpun dari pungutan ekspor produk kelapa sawit. Besarannya bervariasi tergantung pergerakan harga pasar.

Pasal 11 Peraturan Presiden Nomor 61 menyatakan dana itu digunakan secara terbatas untuk keperluan pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi, peremajaan, serta perbaikan sarana dan prasarana kebun sawit. Tapi, meski tak disebut dalam daftar penerima insentif, dalam praktiknya penikmat terbesar dana tersebut adalah produsen biodiesel. Pada 2021, BPDPKS mengumpulkan tak kurang dari Rp 51 triliun.

Sofyan Djalil menjelaskan, waktu itu pemerintah memilih skema subsidi untuk menyelamatkan perekonomian negara. Pada tahun tersebut, dia mengungkapkan, ekspor produk sawit berlimpah, tapi harganya anjlok. Pemerintah mendorong agar sebagian produk sawit dialihkan untuk campuran bahan bakar solar guna mengurangi emisi karbon. “Untuk menutup biaya produksi yang tinggi, bantuan pembiayaan diambil dari dana pungutan ekspor BPDPKS,” ucapnya.

Besaran subsidi diambil dari selisih harga indeks pasar (HIP) biodiesel dan harga indeks produksi solar. Penentuan HIP menggunakan rumus: harga CPO + faktor konversi lalu dikali 870 kilogram per meter kubik + ongkos angkut. Adapun angka 870 merupakan patokan konversi dari kilogram liter. Dalam Peraturan Presiden Nomor 66, ongkos angkut dan faktor konversi ditentukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Dadan Kusdiana, pada 2022 menjabat Direktur Jenderal Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi, mengatakan lembaganya kerap diundang membahas kebijakan strategis dalam rapat bersama Komite Pengarah BPDPKS. Penerapan Peraturan Presiden Nomor 66 tak selalu mulus. Dalam praktiknya, dia melanjutkan, penentuan ongkos produksi acap kali diinterupsi oleh pengusaha. Kementerian, ucap Dadan yang kini Sekretaris Jenderal Kementerian Energi, pernah mengusulkan nilai konversi US$ 80 per ton minyak sawit mentah. Sementara itu, asosiasi mengusulkan agar nilai konversi US$ 100 per ton.

Masalahnya, nilai konversi berubah setiap bulan selepas pembahasan pemerintah bersama asosiasi petani sawit. Kajian dalam jurnal Integritas yang diterbitkan Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan penentuan faktor konversi bermasalah karena tak memiliki rujukan yang ajek. Akibatnya, ada potensi kerugian negara Rp 4,2 triliun dari penentuan HIP dan Rp 2,4 triliun dari ongkos angkut. Nilai itu bisa bertambah jika denda bayar turut dihitung.

Perbandingan ongkos angkut dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 182K/10/MEM/2020 setidaknya menguatkan indikasi itu. Dalam lampiran aturan tersebut, tarif angkut Surabaya-Gresik antara Pertamina dan Wilmar ditetapkan Rp 130 per liter. Sementara itu, ongkos PT AKR Corporindo dan PT Bata Elok Semesta Terpadu untuk rute yang sama berlaku Rp 70 per liter. Artinya, ada selisih sebesar Rp 60 per liter.

Masalah lain muncul lantaran alokasi kuota penerima subsidi juga tak memiliki dasar. Keputusan Menteri ESDM Nomor 195K/10/MEM/2020 hanya memuat data perusahaan penerima kuota biodiesel sebanyak 9,5 juta kiloliter. Tak ada penjelasan alasan penentuan kuota. Dari angka itu, sebanyak 2,7 juta kiloliter diberikan kepada Wilmar Group lewat dua anak perusahaannya, PT Wilmar Bioenergi dan PT Wilmar Nabati.

Akibat keputusan ini, pada 2021 Wilmar menerima subsidi biodiesel sebesar Rp 22,1 triliun. Sementara itu, pungutan pajak ekspor yang mereka setor kepada BPDPKS hanya Rp 7,7 triliun. Alokasi subsidi lain yang cukup besar diterima oleh Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BU BBN) di bawah Musim Mas Group sebesar Rp 11,1 triliun, Royal Golden Eagle Rp 6,2 triliun, Sinar Mas Rp 5,4 triliun, Permata Hijau Group Rp 5,4 triliun, dan Darmex Agro Rp 5,3 triliun.

Tempo berusaha meminta konfirmasi ihwal penetapan harga dan penentuan kuota kepada Wilmar Group. Surat permohonan wawancara yang dikirim ke beberapa pejabat Wilmar Group di Indonesia dan surat elektronik kepada kantor Wilmar Group di Singapura tak kunjung berbalas. Pesan yang dikirim lewat aplikasi WhatsApp kepada Public Relations Assistant Manager PT Wilmar Nabati Indonesia Alina Musta’idah pun tak kunjung direspons.

Kejanggalan penerapan subsidi biodiesel ini menjadi salah satu obyek penyidikan di Kejaksaan Agung. Dokumen penyidikan mencantumkan pembayaran subsidi kepada BU BBN diduga tak sesuai prosedur. Menurut aturan, pencairan subsidi baru bisa dilakukan setelah PT Pertamina Patra Niaga, penerima dan pengolah biodiesel, mendapatkan laporan hasil pemeriksaan dari PT Surveyor Indonesia. Laporan itu lalu mereka tembuskan kepada Kementerian Energi sebagai dasar pencairan subsidi.

Dalam pelaksanaannya, BPDPKS menjalankan begitu saja perintah pembayaran tanpa memastikan ketaatan prosedur verifikasi perusahaan sawit. Proses ini dianggap penting karena PT Surveyor Indonesia digandeng Kementerian Energi untuk memeriksa kandungan fatty acid methyl ester (FAME), kandungan asam yang terbentuk dari proses perubahan kimiawi minyak nabati dalam biodiesel, sudah sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan.

Seseorang yang mengetahui proses penyidikan di Kejaksaan Agung mengatakan PT Pertamina Patra Niaga sebenarnya berulang kali memprotes penetapan harga HIP biodiesel. Mereka memprotes pemberlakuan harga yang tak sesuai dengan nilai keekonomian. Pertamina Patra melakukan itu karena sebelumnya punya pengalaman ketika menggunakan FAME lewat proses pengadaan. Tapi, karena PT Pertamina Patra Niaga dianggap terlalu vokal, Komite Pengarah BPDPKS menyingkirkannya.

Ketika dimintai konfirmasi, Direktur Pembayaran Dana BPDPKS Edi Wibowo mengaku tak mengetahui alasan Pertamina Patra tak lagi menjadi produsen biodiesel. Dia meyakini pembayaran subsidi biodiesel sudah sesuai dengan prosedur. “Kami cairkan setelah ada verifikasi dari Kementerian ESDM,” tuturnya. Kepala Hubungan Masyarakat PT Surveyor Indonesia Linda Adela belum bersedia memberi penjelasan. “Kami koordinasikan dulu,” katanya.

Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting membenarkan kabar bahwa perusahaannya berperan dalam rapat penentuan harga. Namun ia tak mengetahui secara persis alasan Komite Pengarah BPDPKS tak lagi melibatkan Pertamina dalam urusan biodiesel. “Fokus kami sebenarnya bukan di HIP FAME, melainkan HIP biosolar yang digunakan sebagai dasar pembelian FAME oleh Pertamina,” ujarnya. Saat ini, dia menjelaskan, HIP solar ditentukan oleh Kementerian Energi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Fajar Pebrianto berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dana Sawit Mengalir sampai Luhur"

Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus