Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POLAH Semion Tarigan mengundang ger-geran sejumlah pengunjung sidang. Kamis pekan lalu itu dia tengah menjadi saksi dalam sidang perkara dugaan manipulasi pajak Asian Agri Group dengan terdakwa Suwir Laut di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tatkala kuasa hukum Suwir mendapat giliran bertanya kepada Semion, tiba-tiba telepon seluler Semion berdering. Direktur utama di lima anak perusahaan Asian Agri Group itu gelagapan. Dengan cepat tangannya ke sana-kemari meraba kantongnya mencari sumber bunyi itu. Melihat itu, salah satu pengacara Suwir, Mohammad Assegaf, buru-buru mengingatkan. ”Matikan..., matikan teleponnya,” kata Assegaf. Bunyi itu mati sebelum telepon diangkat.
Sepuluh menit berselang, kejadian itu berulang. Telepon Semion kembali menjerit-jerit. Alih-alih mematikan, ia justru menerima panggilan itu. Tiga jaksa di persidangan itu hanya bisa geleng-geleng kepala melihat adegan itu. Adapun para pengacara Suwir hanya tersenyum kecil. Aksi Semion baru berhenti ketika ketua majelis hakim Martin Ponto Bidara angkat bicara. ”Tolong, hormati sidang, matikan handphone-nya,” kata Martin.
Dalam sidang itu jaksa sempat dibuat kesal ketika Semion memberikan kesaksian berbeda dengan berita pemeriksaan. Ini menyangkut soal tanda tangan Semion di surat pemberitahuan (SPT) pajak Asian Agri Group pada 2002-2005. Kepada penyidik, menurut salah satu penuntut umum, Hendro, Semion membantah itu tanda tangannya. Di persidangan, ia mengakui tanda tangan itu. Jaksa lalu menunjukkan bukti bahwa empat tanda tangan itu berbeda. Disudutkan seperti itu, Semion menjawab secara berkelakar. ”Berbeda karena ada yang dibuat ketika saya sedang marah, sedih, atau sedang santai....”
Kendati menjadi saksi fakta atau saksi dari jaksa, kesaksian Semion lebih banyak menguntungkan Suwir, 50 tahun. Sebagai Tax Manager Asian Agri Group kantor Jakarta, Suwir Laut alias Liu Che Sui alias Atak didakwa melakukan pidana perpajakan dengan cara memanipulasi SPT 14 perusahaan Asian Agri Group, aliansi perusahaan milik taipan Sukanto Tanoto. Di antaranya PT Dasa Anugrah Sejati, PT Raja Garuda Mas Sejati, PT Rantau Sinar Karsa, PT Inti Indo Sawit Subur, dan PT Gunung Melayu. Akibat manipulasi itu, menurut jaksa, negara rugi Rp 1,25 triliun. Ini, kata Hendro, belum termasuk denda empat kali lipat. Suwir, yang kini tampil dengan janggut dan cambang yang dibiarkan panjang, terancam hukuman maksimal enam tahun penjara.
Tak hanya menyangkal tuduhan manipulasi pajak, Semion menunjuk bekas atasan Suwir, Vincentius Amin Sutanto, sebagai orang paling tahu urusan pajak Asian Agri. Seperti mendapat celah, pengacara Suwir segera mencecar Semion soal peran Vincent. Sebelumnya, hal yang sama terjadi tatkala bekas Tax Manager Asian Agri kantor Medan Yoe Gie bersaksi.
Melihat gejala tak beres itu, jaksa Hendro buru-buru mencegah. ”Itu tidak terkait dengan pokok perkara,” katanya. Kepada Tempo pekan lalu, Vincent mengatakan Suwir memang otak di lapangan. ”Suwir yang mengatur teknisnya,” kata bekas Group Financial Controller Asian Agri itu.
Terbongkar berkat ”nyanyian” Vincent pada akhir 2006, skandal pembobolan pajak yang disebut-sebut paling besar dalam sejarah republik ini baru mengantar satu tersangka ke meja hijau. Padahal penyidik Direktorat Jenderal Pajak yang menangani perkara itu sudah melimpahkan sepuluh tersangka ke Kejaksaan Agung. Menurut jaksa peneliti perkara itu, Arief Indra, kejaksaan masih meminta penyidik pajak melengkapi berkas sembilan tersangka lainnya. Mereka antara lain Deputi Chief Executive Officer Asian Agri Lee Boon Heng serta dua Direktur Asian Agri, Eddy Lukas dan Linda Raharja. ”Perkara tersangka lain masih terkendala barang bukti,” kata Arief.
RAPAT yang disebut tax planning meeting itu digelar di kantor Asian Agri Jakarta dan Medan. Dilakukan empat kali dalam kurun waktu Agustus-Desember 2002, rapat itu dihadiri sejumlah petinggi dan kepala wilayah Asian Agri, antara lain Lee Boon Heng, Eddy Lukas, Vincentius Amin Sutanto, dan Yoe Gie. ”Rapat ini untuk menekan pembayaran pajak,” kata Vincent.
Dari rapat itu, kata Vincent, formula ”penghematan” pajak pun dibuat (lihat ”Boleh Lebih, Tak Bisa Kurang”). Hasil rapat itu, ujar Vincent, lalu diolah Suwir ke dalam SPT. Empat belas perusahaan diminta memberi dukungan data. Barulah kemudian, kata Vincent, biaya-biaya fiktif dicatat dengan cara menciptakan transaksi ”seolah-olah”. Untuk meyakinkan petugas pajak, Suwir melampirkan laporan keuangan yang sudah diaudit kantor akuntan publik. Keterangan Vincent ini juga diungkap di persidangan. Suwir membantah keterangan bekas atasannya itu. ”Semua harus persetujuan dia,” kata Suwir dengan suara meninggi sembari menunjuk Vincent.
Empat tahun berselang, patgulipat itu terbongkar. Vincent sendiri yang membuka borok perusahaannya. Pengakuan Vincent muncul setelah ia lelah melarikan diri karena ketahuan membobol brankas Asian Agri di Bank Fortis Singapura senilai US$ 3,1 juta. Karena kasus ini, Vincent divonis sebelas tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Vonis itu sudah dikuatkan hingga tingkat peninjauan kembali. Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum memberi perhatian besar terhadap kasus Vincent dan dugaan manipulasi pajak Asian Agri ini. Salah seorang anggota Satgas, Denny Indrayana, misalnya, kerap hadir dalam persidangan kasus ini. Vincent kini juga mendapat perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Di persidangan Suwir, pengakuan Vincent tentang kiat Asian Agri menekan pajak dikuatkan kesaksian dua auditor yang mengaudit laporan keuangan perusahaan itu. Auditor pertama adalah Indrajuwana Komala Widjaja dari Kantor Akuntan Publik Purwantono, Sarwoko, dan Sandjaja, yang mengaudit laporan Asian Agri pada 2002-2003. Auditor kedua Hidayat Rahardjo dari Kantor Akuntan Publik Paul Hadiwinata, Hidayat, Arsono, dan Rekan, yang mengaudit laporan Asian Agri Group periode 2002-2003. Soal kiat ”penghematan” ini juga diurai dalam dakwaan jaksa.
Menurut Indra, timnya memang menemukan perbedaan harga penjualan minyak sawit mentah (crude palm oil atau CPO) kepada sejumlah perusahaan mitra Asian Agri. Caranya, Asian Agri menjual CPO di bawah harga pasar. Selisih harga dibuktikan faktur. Hidayat Rahardjo juga mengaku memperoleh temuan itu. Keterangan keduanya itu menguatkan biaya hedging fiktif Asian Agri, seperti diutarakan dalam dakwaan jaksa. Perusahaan seolah-olah membuat kontrak ekspor CPO ke Hong Kong. Sebelum jatuh tempo, dilakukan pembelian kembali dengan harga tinggi. Menurut Indra, pihaknya pernah menyarankan ada koreksi pembayaran pajak atas selisih harga itu.
Soal biaya fiktif management fee, Indra juga mengaku timnya tidak menemukan bukti jasa yang dicatat, seperti jasa teknologi informasi, biaya hubungan masyarakat, dan konsultasi perkebunan. Biaya itu, kata Indra, menjadi faktor pengurang pajak. Fakta lain yang diungkap Indra adalah soal kepemilikan Asian Agri. Menurut Indra, struktur Asian Agri jika ditelusuri akan sampai ke Sukanto Tanoto, yang bertindak sebagai beneficial owner atau pemilik sesungguhnya. Hidayat juga membenarkan soal ini. ”Itu ada dalam laporan keuangan.”
Kendati nama Sukanto Tanoto sudah disebut-sebut di persidangan, penuntut umum tidak akan memanggil Sukanto menjadi saksi. Menurut Hendro, hubungan perkara itu ke orang terkaya se-Indonesia pada 2006 versi majalah Forbes tersebut terlalu jauh. ”Kami juga tidak memiliki bukti kuat,” katanya. Saat ini, kata dia, pihaknya akan terus menghadirkan saksi fakta. Salah satunya Eddy Lukas, yang sudah mangkir dua kali dari panggilan. Fakta persidangan, ujar Arief Indra, bisa menjadi amunisi baru untuk membawa tersangka lain ke meja hijau.
Menurut pengacara Suwir, Mohammad Assegaf, tuduhan terhadap kliennya itu keliru. ”Suwir bukan orang yang bertanggung jawab atau error in persona,” katanya. Adapun kesaksian Vincent, menurut Assegaf, itu lebih bernuansa balas dendam.
Assegaf dengan keras juga membantah kesaksian dua auditor di persidangan. Kesaksian mereka, ujarnya, otomatis terbantahkan karena dua kantor akuntan publik kedua auditor tersebut sudah memberi peringkat wajar tanpa pengecualian terhadap laporan keuangan Asian Agri. ”Auditor tidak pernah menyebut ada rekayasa,” kata Assegaf.
Anton Aprianto, Iqbal Muhtarom
Boleh Lebih, Tak Bisa Kurang
BERADA di bawah bendera Asian Agri Group, 14 perusahaan perkebunan kelapa sawit itu dibebani target tambahan. Perusahaan yang tersebar di Medan, Riau, dan Jambi itu diminta direksi ”menghemat” pembayaran pajak. Boleh lebih dari target, tapi tidak bisa kurang.
2002
4 Agustus—19 Desember
Tax planning meeting di kantor Asian Agri Jakarta dan Medan. Rapat merencanakan penciutan nilai pajak. Caranya:
2006
13 November
Vincentius membobol brankas Asian Agri US$ 3,1 juta.
18 November
Pembobolan tercium perusahaan, Vincentius lari ke Singapura.
Awal Desember
Vincentius melaporkan penggelapan pajak Asian Agri ke Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK mendatangi Vincentius di Singapura.
2007
Medio Januari
KPK melimpahkan kasus itu ke Direktorat Jenderal Pajak.
15 Mei
Tim pajak menggerebek ruko data Asian Agri di Duta Merlin. Tim menyita dokumen dala 1.373 kotak di sembilan kontainer.
Mei
Perkara masuk tahap penyidikan. Kerugian negara diduga Rp 1,25 triliun.
Mei-Desember
Direktorat Jenderal Pajak menetapkan 12 tersangka. Sembilan di antaranya petinggi perusahaan dan tiga lainnya anggota staf Asian Agri Group.
2008
25 April
Berkas dilimpahkan ke Kejaksaan Agung. Karena dua tersangka kabur ke luar negeri, Kejaksaan menindaklanjuti 21 dari 25 berkas untuk 10 tersangka.
2010
13 Agustus
Berkas Suwir Laut dinyatakan lengkap (P21). Sembilan berkas tersangka lain masih bolak-balik dari Kejaksaan ke Ditjen Pajak.
16 Feb
Persidangan Suwir Laut digelar.
Mengecilkan penjualan
Transfer pricing
Ekspor ke negara pembeli (end buyer) dibuat seolah-olah melalui perusahaan di Hong Kong, Makau, dan British Virgin Islands, yang sebenarnya hanya paper company.
Menggelembungkan biaya
- Biaya Jakarta
Menciptakan biaya lapangan fiktif seperti biaya pendalaman parit atau rehab gorong-gorong. Padahal biaya itu masuk rekening pejabat Asian Agri (atas nama Haryanto Wisastra dan Eddy Lukas di Bank Permata, atas nama Eddy Lukas dan Djoko Soetanto Utomo di Bank Bumiputera). Setelah itu dikonversi ke dolar dan dikirim ke perusahaan afiliasi Asian Agri di Hong Kong. - Biaya hedging fiktif
Perusahaan seolah-olah membuat kontrak ekspor CPO ke Hong Kong. Sebelum jatuh tempo, dilakukan pembelian kembali dengan harga tinggi. Selisih harga jual dan harga beli dibebankan ke biaya hedging loss. Pajak terutang menjadi lebih kecil.
Management fee
Biaya fiktif yang dibebankan pada biaya umum dan administrasi. Padahal tidak pernah ada kegiatannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo