Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agung Y. Achmad
ANDAI saja semua karya tulis yang dipublikasikan (surat kabar, buku, novel, pamflet, teks pidato presiden, dan lain-lain) selalu berkarakter lugas, baku, dan indah. Maka, kapasitas berbahasa masyarakat kita akan terus terasah, selain kian pintar. Betapa tidak, karena setiap naskah akan menjadi media bacaan menarik, informatif, dan inspiratif.
Kelugasan sebuah tulisan mencerminkan kesederhanaan, kejujuran, dan ketulusan dalam berbagi informasi-pengetahuan kepada siapa saja. Berbahasa baku berarti melembagakan kesepakatan bersama: bahasa nasional. Dan, tulisan indah menggambarkan minat berkesenian melalui teks. Merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, lugas berarti: serba bersahaja; baku: tolok ukur yang berlaku untuk kuantitas atau kualitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
Selama ini, naskah-naskah berbahasa baku cenderung tidak lugas, dan kaku. Di lain pihak, tulisan bergaya lugas (populer) sering dianggap abai terhadap aturan resmi bahasa dan kesahihan data. Pada kasus yang lain lagi, sekadar contoh, saya pernah menjumpai sebuah makalah seminar yang kalimat-kalimatnya tak berspasi. Penulisnya seorang master bidang perbankan. Saya kira, ada persoalan mental di situ, bahasa belum dipahami sebagai simbol etika bersama bangsa. Si master tadi telah merampas hak orang untuk nyaman membaca.
Karya tulis berkarakter ”tiga yang menyatu” di atas memang mengandaikan kapasitas penulis (para pihak yang menghasilkan bahasa tulis) yang bukan hanya berwawasan luas dan berpengetahuan bahasa memadai. Tapi, karya itu juga mesti berambisi untuk menghasilkan karya-karya yang ”tanpa kelas” dan estetik. Dan, untuk itu, karya seperti ini telah melakukan riset serta membaca ulang naskah yang ia tulis.
Semua tulisan yang dipublikasikan semestinya merujuk kepada pedoman Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Selanjutnya, pilihlah kosakata baku yang variatif, susunlah struktur kalimat secara benar, dan gunakan gaya bahasa yang sederhana. Sehingga, seserius atau seringan apa pun sebuah tema tulisan, ia menjadi karya yang menarik, enak dibaca, dan berguna.
Tidak semua naskah bermutu memiliki tiga ciri itu, semisal karya akademik atau sastra. Karya sastra (selain prosa) tidak lugas lantaran mengutamakan nilai-nilai estetika dan pendekatan metaforis. Tidak ada yang salah dalam hal ini. Tetap saja diperlukan kapasitas tertentu agar kita bisa memahami karya sastra dan naskah akademik.
Tapi, teks kajian akademik pun tak harus angker. Sejumlah intelektual yang memiliki tradisi kepenulisan andal mampu melahirkan kalimat-kalimat sederhana yang mencerminkan keseriusan sebuah riset serta memuat analisis berbobot.
Dalam kesadaran semacam itulah, saya kira, bagaimana karya Deliar Noer (almarhum), Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (LP3ES, 1982), dilahirkan. Tanpa melihat judul naskah aslinya, pembaca tak akan percaya bahwa buku tersebut merupakan naskah desertasi di Universitas Cornell, Amerika Serikat. Buku babon untuk kajian politik Islam di Indonesia itu mencerminkan kapasitas akademik dan tradisi linguistik Noer. Karya tersebut terasa lugas meskipun terdapat banyak catatan kaki.
Kesan sederhana, bahkan indah, juga bisa dirasakan pada kalimat-kalimat panjang dalam buku yang ditulis Taufik Abdullah. Membaca karya sejarawan kondang ini, misalnya Sejarah Lokal di Indonesia (Gadjah Mada University Press, 1990), sebagaimana puluhan buah pena Kuntowijoyo dan Umar Kayam, umpamanya, serasa menikmati tulisan populer. Meski memuat banyak diksi dan istilah fakultatif, lantaran bergaya bahasa sederhana, tulisan mereka terasa ringan. Karya mereka reflektif.
Semangat berbahasa semacam itu belum tampak pada ranah birokrasi. Bahasa publikasi lembaga pemerintah umumnya kaku, bahkan acap tidak baku. Misalnya penulisan akronim BAPPENAS atau PAMSIMAS. Huruf-huruf kapital tersebut tidak mewakili satu kata tertentu sehingga harus ditulis Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) dan Pamsimas (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi berbasis Masyarakat).
Tradisi berbahasa lugas, baku, dan indah mencerminkan bangsa yang berkebudayaan: responsif terhadap wacana; bangga berbahasa ibu, menyukai karya indah. Situasi itu berlangsung, setidaknya akan dimulai, bila masyarakat tidak lagi membeda-bedakan karya nonfiksi dan fiksi, akademik dan populer, sebagai naskah penting-serius dan tidak serius. Simaklah karya Voltaire (sastrawan Prancis) dan Bertrand Russel (pengarang dan filsuf Inggris), umpamanya, baik yang fiksi maupun nonfiksi, yang ternyata menjadi sumber rujukan penting dalam kajian filsafat, sastra, sosial, budaya, dan politik.
Spirit seperti itu bisa dibaca pada hampir semua karya Karen Armstrong seperti Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis atau Sejarah Tuhan. Ditulis dalam bahasa yang ringan dan segar, karya tersebut bisa kita baca sembari menikmati secangkir kopi di sore hari. Mungkin dahi Anda baru akan berkerut setelah usai membaca karya bekas biarawati itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo