Sudah empat bulan pengadilan niaga melakukan darmabaktinya. Namun, pengadilan kepailitan versi baru ini ternyata tak laku di mata kreditur, yang kebanyakan perusahaan asing. Dulu, sewaktu peraturan baru kepailitan masih berupa peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu)—yang "dipaksa" lahir karena desakan Dana Moneter Internasional (IMF) pada 22 April 1998—petisi kepailitan terhadap debitur (perusahaan pengutang) di Indonesia disebut-sebut bisa menumpuk sampai 1.600 kasus.
Memang benar, hadirnya perangkat hukum baru bidang kepailitan, sebagai pengganti aturan warisan Belanda Faillissementsverordening tahun 1905, diharapkan akan memberikan kepastian hukum bagi piutang kreditur. Sebab, perpu kepailitan menjamin bahwa kepailitan (kebangkrutan) debitur akan divonis pengadilan paling lambat 30 hari. Dengan demikian, aset debitur bisa segera dijual untuk melunasi utang kepada kreditur.
Namun, setelah pengadilan niaga dioperasikan, sejak 1 September 1998, bahkan perpu kepailitan kemudian disempurnakan sebagai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, ternyata sampai akhir tahun 1998 hanya ada 30 perkara kepailitan. Dari jumlah itu pun (lihat tabel), tuntutan kepailitan terhadap debitur yang disetujui pengadilan cuma tujuh perkara. Enam perkara kepailitan lainnya ditolak pengadilan, sedangkan tujuh perkara divonis menjadi penundaan utang.
Semula, jumlah gugatan pailit yang sedikit itu diduga karena para kreditur lebih suka menunggu efektif tidaknya pengadilan niaga, yang cuma satu-satunya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kemungkinan pula, "Selain merasa belum familiar dengan cara peradilan di sini, para kreditur asing masih merasa bahwa peradilan belum bersih," tutur ahli hukum ekonomi Dr. Sutan Remy Sjahdeini.
Tapi, setelah berbagai vonis diketuk hakim niaga—yang jumlahnya hanya 17 orang—kesangsian tentang mutu vonis pun mencuat. Contohnya perkara kepailitan PT Karabha Digdaya. Hakim memutuskan penundaan pembayaran utang Karabha kepada PT Jaya Obayashi dan PT Nusa Raya. Namun, hakim tak lupa menetapkan bahwa honor pengurus aset debitur adalah lima persen dari total aset debitur. Karena aset Karabha Rp 1,3 triliun, honor pengurus itu mencapai Rp 65 miliar. Padahal, utang Karabha hanya Rp 1,5 miliar.
Lain lagi perkara kepailitan PT Ometraco, yang berutang US$ 200 juta atau sekitar Rp 1,5 triliun—berdasarkan kurs Rp 7.500 per dolar AS—kepada Bank American Express dan 12 bank lainnya. Sesampai perkara itu di Mahkamah Agung, hakim memutuskan bahwa debitur tak terbukti mengemplang utang. Bahkan, menurut hakim agung, utang debitur baru jatuh tempo pada 3 Desember 1998.
Perkara kepailitan PT Modern Land Realty lebih janggal lagi. Hakim memailitkan pembangun apartemen golf di Tangerang, Jawa Barat, itu akibat tuntutan dari dua orang konsumennya. Padahal, uang muka yang ditagih kedua konsumen cuma Rp 94 juta. Hebatnya, hakim menganggap uang muka sebagai utang. Untung, pada 2 Desember 1998, Mahkamah Agung meralat vonis itu dan menolak petisi pailit terhadap Modern Land Realty.
Kendati terjadi beberapa vonis kontroversial, Ketua Pengadilan Niaga Sihol Sitompoel berpendapat bahwa para hakim sudah berupaya memutus yang terbaik dan tak sampai 30 hari. Persoalannya, kata Sitompoel, lebih karena pengadilan kepailitan terhitung barang baru, sehingga menimbulkan perbedaan penafsiran. "Mungkin paling lama setahun, setelah ada yurisprudensi tetap dari Mahkamah Agung, baru terbentuk kristalisasi hukumnya," ujar Sitompoel.
Namun, menurut Remy Sjahdeini, tak efektifnya pengadilan niaga juga karena Undang-Undang Kepailitan dibuat terburu-buru, sehingga mengandung banyak kelemahan. Contohnya soal ketentuan batas waktu 30 hari, yang dianggap terlalu sempit buat debitur yang mau menyelamatkan perusahaannya. Lantas, petisi pailit yang diajukan kreditur berpiutang sedikit, seperti pada perkara Modern, bisa merugikan kreditur berpiutang besar yang tak mengajukan perkara pailit. Perlindungan kreditur yang memegang hak hipotek atau tanggungan—utang dengan jaminan—juga terlibas oleh Undang-Undang Kepailitan.
Tidak berlebihan jika Remy Sjahdeini berharap Undang-Undang Kepailitan segera disempurnakan. Masalah restrukturisasi utang, sebagaimana ketentuan Chapter 11 di Amerika, kata Remy, mesti dimuat pula dalam undang-undang yang baru. Tentu saja, pada prakteknya kelak, debitur yang diberi kesempatan merestrukturisasi utang juga harus melakukan restrukturisasi usaha. Tujuannya jelas, agar piutang kreditur tak dikemplang lagi.
Happy Sulistiyadi, Hendriko L. Wiremmer, dan Ali Nur Yasin
Perkara Kepailitan
Status/vonis |
Jumlah perkara |
1. Kepailitan dikabulkan 2. Kepailitan ditolak 3. Penundaan utang 4. Dicabut/gugur 5. Masih diproses | 7 6 7 4 6 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini