BEREDARNYA dolar palsu di Bali tampaknya meresahkan. Bahkan, yang menjadi korbannya antara lain Gubernur Ida Bagus Oka dan beberapa pejabat penting di Bali. Akhir tahun lampau Oka melakukan studi banding ke Singapura dan Bangkok. Dalam rombongannya ikut Sekwilda Bali Dewa Made Beratha dan Bupati Kelungkung Cokorda Gde Agung. Sebelum berangkat, ketiga pejabat itu menukarkan uang rupiahnya ke dolar, antara lain di Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali dan Bank Sari Partha. Gubernur, waktu itu, membawa US$ 3.000, Sekwilda menukar US$ 200, dan Bupati Kelungkung mengantungi US$ 400. Dolar tersebut ketahuan palsu ketika Oka membeli prada zat pewarna untuk merenda kain di sebuah toko suvenir di Bangkok. Waktu itu ia menyodorkan pecahan US$ 100 kepada pedagang di dekat hotel tempat rombongan menginap. Besoknya, pedagang itu mendatangi Oka di kamar hotelnya, dan menyatakan dolar yang diterimanya kemarin itu palsu. Gubernur Bali itu penasaran. Beberapa hari kemudian, ketika check out dari Grand Hyatt Hotel Singapura, ia menyodorkan kembali uang dolar yang ditolak di Bangkok itu. Nasibnya sama. "Untung, saya tidak dituntut. Kalau terjadi, sebagai gubernur tentu malu," cerita Oka pada Silawati dari TEMPO, pekan lalu. Pengalaman serupa dialami Dewa Made Beratha ketika di Jepang tahun lalu. Uang dolar pecahan seratus ditolak ketika Sekwilda Bali ini membayar rekening hotel. Alasan pihak hotel, uang seri dolar itu tidak berlaku lagi di Jepang. "Saya awam dalam hal mata uang dolar, dan tidak bisa membedakan yang palsu dan yang asli," katanya kepada wartawan TEMPO Putu Fajar Arcana. Peristiwa itu membuktikan peredaran dolar palsu di Bali menggelisahkan. Tenteram Wesnawa, Ketua Asosiasi Pedagang Valuta Asing Bali, memaparkan kegawatan itu. Diperkirakan, peredaran dolar palsu di Bali hingga saat ini sudah Rp 1,4 milyar. "Jumlah itu mungkin membengkak seandainya semua korban mau melapor," ujarnya. Ia tidak mengetahui sejak kapan dolar palsu ini ditemukan di Bali. Tapi beberapa pelaku telah dibekuk. Terakhir Lie Shin Hie, warga negara Singapura, ditangkap petugas dari Mabes Polri akhir Februari lalu di Kuta. Lie diduga menyebarkan dolar AS palsu bernilai Rp 350 juta. Pelaku lain adalah seorang warga Swiss. Sekitar enam bulan lalu, Tenteram menemukan sejumlah franc Swiss palsu di perusahaan jualbeli mata uang asing miliknya di Pantai Kuta. Kecurigaannya jatuh pada seorang wisatawan Swiss yang menginap di sebuah hotel. Begitu dilacak, tamu itu ketahuan meninggalkan hotel tersebut dua jam setelah check in. Setelah warga Swiss itu ditangkap, dari situ diketahui bahwa korbannya bukan hanya Tenteram. Ada lima pengusaha jualbeli mata uang asing yang menjadi korbannya. Hasil pengusutan menunjukkan bahwa ia punya jaringan di Bangkok. Berdasarkan laporan beberapa pedagang valuta asing di Bali, ternyata kini dolar AS yang paling banyak dipalsu. Kejahatan ini diduga diatur di Singapura. Salah satu indikasinya dengan tertangkapnya Lie yang disebut tadi, dan sekarang ditahan. Kini 6 dari 67 anggota Asosiasi Pedagang Valuta Asing di Bali telah melengkapi dirinya dengan alat detektor uang. Bila uang itu palsu, detektor akan menolaknya. Selain dengan alat ini, mereka juga melengkapi perusahaannya dengan sinar ultraviolet. Dengan memakai alat ini, akan cepat diketahui, warna uang palsu terlihat lebih kusam dari yang asli. Tapi, menurut Tenteram, yang lebih penting adalah pengalaman. Misalnya, dengan menggosok benang pengamannya. "Kalau benang pengaman pada dolar palsu itu digosok, tampak warnanya tak jernih," katanya. Pengalaman Gubernur Oka lain lagi. "Selain gambarnya lebih terang, kertas dolar palsu itu lebih tebal," ujarnya. Syahril Chili
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini