Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Imigrasi menangkap sendiri

Ditjen imigrasi menangkap 12 warga sri lanka di sebuah rumah kontrakan di bogor. ijin tinggal mereka sudah lewat waktu. dubes sri lanka minta menko pol kam sudomo menyelidiki.

14 Maret 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIREKTORAT Jenderal Imigrasi bikin gebrakan lagi. Setelah kasus pemulangan bocah cilik Samantha Deborah ke Negeri Belanda (TEMPO, 8 Februari 1992), dan sibuk akan mendeportasi Di Pinto Guiseppe, warga Italia yang sedang rebutan anak dengan penyanyi Betty Bariati di Solo, sekarang petugas Imigrasi menangkap sendiri sejumlah warga negara Sri Lanka di sebuah rumah kontrakan di Bogor. Dan sebagian dari mereka juga telah dipulangkan. Menurut siaran pers Direktorat Jenderal Imigrasi akhir Februari lalu, tindakan tersebut diambil berdasarkan informasi dari seorang warga Bogor. Ia mencurigai sebuah rumah kontrakan di Jalan Panaragan Kidul di Kota Hujan itu, karena tiga belas penghuninya yang berasal dari Sri Lanka tinggal di situ sudah lewat waktu (overstay). Tanpa menjelaskan dari mana sang warga mengendus urusan hangus tidaknya batas menetap orang asing tersebut di sini, di baris kalimat yang sama juga ditambahkan kecurigaannya mengenai adanya surat sponsor palsu, tentang manipulasi visa, pengiriman tenaga kerja ke negara lain secara ilegal, dan menjual obat-obatan. Dengan bekal "info komplet" itu pihak Direktorat Jenderal Imigrasi segera meluncurkan petugasnya, pertengahan Februari silam. "Saya cuma diberi tahu akan ada penangkapan warga Sri Lanka di wilayah saya," kata Nur Amin kepada Taufik Abriansyah dari TEMPO. Menurut Kepala Kantor Imigrasi Bogor itu, warga yang mempunyai info tadi langsung memberikannya kepada Direktorat Jenderal Imigrasi di Jakarta. Dan menurut siaran pers tersebut, di rumah itu benar saja ditemukan surat sponsor yang diajukan PT Indeco Duta Utama (IDU), yang beralamat di Jalan Kunir, Jakarta Kota, ditandatangani Drs. Abu Sujak. Pihak Imigrasi melakukan konfirmasi kepada perusahaan tersebut, tapi seorang karyawan IDU menyatakan tidak tahu-menahu mengenai adanya warga Sri Lanka di Bogor itu. Tidak dibantahnya, kertas surat itu memang berasal dari PT IDU, cuma Abu Sujak sudah tak mempunyai hubungannya dengan mereka. "Saya pernah ada kontrak dengan PT IDU sebagai konsultan untuk 3,5 bulan," kata Abu Sujak, 59 tahun. Menurut pensiunan pegawai Departemen Pertanian ini, ia kebetulan saja berkenalan dengan Renzi Premalal, 26 tahun, warga Sri Lanka, di sebuah tempat fotokopi di Bogor. Dan sejak itu mereka sering ketemu. Renzi mengajaknya berniaga batu mulia (gem). Tapi, karena merasa awam dan tidak punya modal, Abu Sujak mengaku tidak ada urusan bisnis dengan Renzi. Lalu, pada suatu hari, Renzi minta dikawani ke Kantor Imigrasi Bogor. "Ya, saya antar, sekalian bikin surat permohonan perpanjangan visa buat dua temannya lagi," cerita Abu Sujak. Dan untuk praktisnya, kemudian ia menggunakan kop surat PT IDU. "Itu saya beritahukan pada dirutnya. Tak ada masalah, wong niat saya cuma menolong, kok jadinya begini," katanya. Ketika ternyata surat itu memuat perpanjangan untuk sembilan orang, Abu Sujak menaruh syak ada yang memalsukannya. "Entah siapa yang melakukannya," ujarnya. Akibatnya, Abu Sujak pernah pula didatangi petugas Imigrasi, tapi aman saja. "Saya nggak tahu apa-apa," katanya lagi. Karena ada dokumen yang menurut pihak Imigrasi tidak beres itulah kemudian para warga Sri Lanka itu ditangkap dan dibawa ke karantina Imigrasi Kalideres, Cengkareng, Jakarta Barat. Mulanya ditangguk sebelas orang, dan besoknya dua. Penangkapan ini kemudian diberitahukan kepada kedutaan besar Sri Lanka di Jakarta. "Saya kecewa dengan pemberitaan media yang kontradiktif," komentar Jaya Peri Sundaran, dubes Sri Lanka untuk Indonesia. "Ada yang bilang illegal entering, ada yang menyebut overstay, ya, karena visa habis. "Juga soal black list, itu cuma saya baca di koran, sedangkan pihak Imigrasi tidak pernah memberi tahu kami," kata Sundaran kepada Nunik Iswardhani dari TEMPO. Tidak lama setelah menerima surat Direktur Jenderal Imigrasi, pihak kedutaan besar Sri Lanka menerima kiriman sembilan tiket dari seseorang untuk warga Sri Lanka yang tertangkap itu. Mereka sudah kembali ke negaranya. "Tinggal tiga yang di karantina. Jadi, yang benar semua adalah 12, bukan 13," kata Dubes Sundaran. Lebih jauh diungkapkannya, "Kami minta ada penyelidikan lewat Menko Polkam Sudomo. Seharusnya Imigrasi lebih hati-hati membuat pernyataan. Untuk menyebut orang masuk ilegal atau terlibat bisnis obat terlarang, tentu harus ada penyelidikan lebih dulu," katanya. Warga negara Sri Lanka itu masuk ke Indonesia sejak pertengahan tahun lalu. Seperti diceritakan Gamidi Wiekrmasathe, 32 tahun, satu dari tiga warga Sri Lanka yang kini berada di karantina Kalideres, mereka ke Indonesia hanya singgah. Maksudnya, ada pialang yang menjanjikan pekerjaan di Jepang, tapi syaratnya harus datang ke Indonesia dulu. "Yang menjanjikan itu Vithanage Somasiri alias Nalin dan Ir. Nuri, orang Indonesia," katanya. Namun, sempat dua kali ia memperpanjang visa, karena tertarik dengan peluang bisnis di sini. "Di Sri Lanka mutu barang tidak sebagus buatan Indonesia," tuturnya. Di Bogor Gamidi tinggal bersama Nalin saat ini belum tertangkap dan warga Sri Lanka lainnya, yang katanya sudah lebih dulu ada di situ. Selain menunggu keberangkatan ke Jepang serta riset bisnis itu, Gamadi menolak tuduhan pihak Imigrasi. "Saya orang Budha, tak pernah berurusan dengan obat terlarang," ujarnya. Juga julukan tenaga kerja ilegal disanggahnya. "Kami datang dengan paspor dan visa. Membayar dengan uang sendiri. Apa itu ilegal?" katanya. Urusan visa hangus juga dibantahnya, sebab batas waktunya masih sampai 27 Februari 1992, sementara ia sudah dikarantina pertengahan Februari lalu. Meski baru beberapa bulan di sini, Gamidi terbilang fasih bicara bahasa Indonesia. "Kalau mau bisnis, kan lebih bagus tahu bahasanya," ujarnya sambil menampik dakwaan lainnya. "Sindikat? Tidak ada itu. Tidak ada organisasi, kami hanya saling menolong," katanya. Dan dengan wajah letih ia menyatakan kini bangkrut. "Seratus juta uang saya habis. Tapi sudah risiko. Saya tahu, ini karena ada yang cemburu pada bisnis saya," keluhannya. Boleh jadi begitu. "Saya curiga bahwa mereka ini jadi korban suatu sindikat yang terorganisir secara internasional," kata Dubes Sundaran. Sebab, beberapa bulan silam ada enam warga Sri Lanka mengadu padanya bahwa sudah membayar US$ 20.000 sampai US$ 50.000 untuk dapat bekerja di negara lain, tetapi telantar sampai di sini. Dubes Sundaran lalu menemui pihak pialang itu di Jakarta. "Dia orang Indonesia, yang bisa saja kerja sama dengan orang Sri Lanka atau warga negara lain," tuturnya. Sebagian uang dikembalikan, dan sebagian lagi, menurut si pialang, berada pada kongsinya di Sri Lanka. Akan halnya kasus 13 warganya barusan, Dubes Sundaran tidak tahu pasti apa ada kaitannya dengan sindikat tersebut. "Saya hanya diberi tahu Imigrasi bahwa mereka overstay, dan diminta mengurus kepulangannya. Tidak ada informasi lain," katanya. Ed Zoelverdi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus