KUBUR Bharatu Sulaeman, yang ditimbun hampir tiga tahun lalu, diungkit kembali. Semula, kematian anggota Brimob Bekasi, Jakarta, itu dianggap wajar: karena kecelakaan lalu lintas. Ternyata, hasil autopsi atas kerangka mayat Almarhum, yang dilakukan oleh LKUI belum lama ini, memperlihatkan bukti adanya luka bukan karena kecelakaan lalu lintas. Menurut hasil pemeriksaan, korban diduga dihantam kepalanya dengan potongan besi, sebelum nyawanya berpisah dengan tubuh tanpa sempat mengerang lebih lanjut. Karena itu, tepatlah dugaan Peltu Polisi (purnawirawan) Abbas Abdul Hamid, 58, ayah si korban, maupun Kapolres Bekasi Letkol Haryono Santoso bahwa Sulaeman tewas secara tidak wajar. Tiga orang tersangka, sejak awal Oktober lalu, telah ditahan dan terus diperiksa secara intensif. Mereka, ternyata, memberikan keterangan yang bertentangan, atau tidak cocok satu sama lain. Padahal ketiganya diketahui ada bersama-sama korban, saat Sulaeman, 24, tewas. Keterangan dari Chotib, Rohili, dan Rasid yang bertentangan itu, mau tak mau, jadi memperkuat dugaan bahwa korban tewas akibat pembunuhan. Beberapa waktu sebelum putranya tewas, Abbas mengaku pernah mendapat surat kaleng yang menyatakan bahwa Sulaeman akan dibunuh, dan ia sendiri akan dimasukkan ke rumah tahanan militer Guntur. Surat ancaman itu diperoleh karena, ketika itu, Abbas tengah bersengketa soal tanah dengan beberapa orang. Dan Sulaeman cukup gigih membela ayahnya. "Ketika itu saya menganggap surat kaleng cuma untuk menggertak saja," kata Abbas. Nyatanya, pada 31 Maret 1983 malam, ia mendapat kabar bahwa Sulaeman meninggal akibat kecelakaan - tertabrak truk. Beberapa jam sebelumnya korban, yang sedang berada di warung sate, dijemput Chotib. Berdua mereka mengendarai sebuah jip tua. Itulah saat terakhir korban diketahui masih dalam keadaan hidup. Saat diperiksa, menurut sumber TEMPO, Chotib menyatakan bahwa dalam perjalanan ke Cikampek, jip tua yang dikemudikannya mogok. Dalam mobil itu ada dua orang lain, yaitu Rohili dan Rasid. Korban turun, membuka kap mesin, dan mulai mengotak-atik. Saat itulah, dari arah depan, meluncur sebuah truk Colt diesel. Korban tertabrak dan tewas seketika. Tapi, menurut Rohili, ketika itu korban sama sekali tidak membetulkan mesin jip yang mogok. "Ia berada jauh dari mobil, dan mengatur lalu lintas agar tidak macet. Saat itulah ia tertabrak truk," ujar Rohili. Rasid menurut sumber TEMPO, memberikan keterangan lain lagi, yang intinya justru menambah kabur tentang bagaimana kecelakaan itu sebenarnya terjadi. Padahal, kata sumber yang tadi, "Bila kita pergi bersama-sama dan salah seorang di antara kita tewas, kita tentu akan selalu ingat bagaimana persisnya kecelakaan itu terjadi." Agak aneh memang bila ketika orang itu memberikan keterangan yang berbeda-beda. Karena itu, Abbas yakin bahwa anaknya bukan tewas akibat kecelakaan lalu lintas, tapi dibunuh. Keyakinannya diperkuat karena seseorang yang dijumpainya memberi keterangan bahwa di malam tanggal 31 Maret 1983, orang itu mengaku melihat ada seseorang tengah dikeroyok. Pengeroyokan itu terjadi di tepi jalan dekat Karang Kitri - tempat perkemahan - di Bekasi. "Orang itu kayaknya dibegal. Karena takut, saya terus lari," katanya. Dan di tempat "pembegalan" terjadi, samar-samar ia melihat ada sebuah jip tua nongkrong. Jadi, menurut dugaan Abbas, korban dianiaya di Karang Kitri itu dan setelah tak berdaya ia dibawa ke tempat lain dan mungkin - dibentur-benturkan ke truk yang sudah disediakan. Bukti-bukti makin menguatkan dugaan Chotib yang menjadi pelaku utama pembunuhan tersebut. Tatkala Sulaeman diminta turun untuk membantu memperbaiki mobil yang mogok, saat itu jugalah Chotib menghantam kepalanya dengan besi yang mungkin sudah dipersiapkan. Kabarnya, mulut Rohili dan Rasid sempat "disumpal" dengan lembaran Rp 500 ribu agar mereka tidak menceritakan kasus ini kepada siapa pun. Menurut sumber TEMPO, peristiwa yang dialami Abbas itu sangit mirip dengan yang menimpa teman dekatnya, Kopral Dua TNI-AD Sutikno Wibowo, yang bertugas di Brigif 202, Bekasi. Kematiannya, ketika itu, juga disebut-sebut karena ia tertabrak truk tanah di perbatasan Pondok Ungu-Kranji, masih di daerah Bekasi. Kala menghadiri pemakaman Sulaeman, Wibowo dikabarkan tampak geram dan gregetan. Ia menyatakan akan mencari tahu sebab kematian Sulaeman, yang dinilainya aneh. Ternyata, sepekan kemudian, ia juga tewas. "Rasanya memang ada yang ganjil pada kematian Bowo," ujar seorang rekannya. Tapi, entahlah. Sebab, terhadap kematian Wibowo tampaknya tidak - atau belum dilakukan penyidikan untuk mengetahui penyebab kematian yang sebenarnya. "Kami memang tidak melakukan pengusutan, karena dia dari kesatuan lain," ujar Letkol Haryono. SULAEMAN, yang bertubuh tinggi besar itu, adalah anak ketiga dari enam bersaudara. Ia hanya sekolah sampai kelas II SMA, karena keburu tergiur untuk menjadi polisi, mengikuti jejak sang ayah. Prestasinya sebagai anggota Polri dinilai cukup baik. Dialah yang ditunjuk mewakili rekan-rekannya untuk dilantik secara simbolis oleh Kapolri Jenderal Anton Soedjarwo, setelah selesai mengikuti pendidikan kepolisian. Yang pasti, selain Sulaeman dan Bowo, sudah ada dua korban lainnya yang jatuh. Kematian mereka pun dinilai tak wajar. Kopral Dua TNI-AD Ramlan bin Nurdin juga anggota Brigif 202, misalnya. Tubuhnya ditemukan terkapar tanpa nyawa lagi dengan luka bekas penganiayaan permulaan tahun 1982. Begitu pula halnya dengan H. Djalil, warga Pondok Gede, Bekasi. Korban didapati di dalam mobilnya yang terhunjam di sebuah jurang, pertengahan 1983. Di badannya menganga luka hasil tikaman benda tajam. Sayangnya, nasib mereka tak sebaik Sulaeman. Sampai saat ini tidak terdengar upaya untuk mengusut perihal kematian mereka. Bahkan Bowo sudah ditinggal kawin istrinya dengan pria lain. Adakah mereka juga hasil perbuatan "mafia-mafia tanah" di Bekasi? Mungkin Chotib bisa menjawabnya. Surasono dan James R. Lapian Laporan Happy Sulistyadi & Bunga Surawijaya (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini