Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAPAT pada Kamis malam dua pekan lalu itu berlangsung alot. Bertempat di lantai sepuluh Hotel Manhattan di kawasan Kuningan, Jakarta Pusat, panitia seleksi pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi bertahdid memilih dua dari tujuh nama yang sudah tersaring.
Data yang dikumpulkan Dunamis, lembaga konsultan manajemen dan kepemimpinan, sudah menumpuk di meja 13 anggota panitia. Dua nama akan dilaporkan ke Presiden esok paginya, lalu diteruskan ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dipilih.
Sepeninggal Antasari Azhar, yang masuk penjara karena terlibat kasus pembunuhan, kursi Ketua Komisi lowong. Setelah itu, hanya empat pemimpin yang bekerja. Itu pun tak maksimal karena dua pentolannya, Bibit Samad Rianto dan Chandra Martha Hamzah, terbelit isu rekayasa dan makelar kasus. Praktis, dalam dua tahun terakhir, kerja Komisi pun sendat.
Dari hampir 300 pendaftar, yang diseleksi panitia sejak tiga bulan lalu, muncullah tujuh nama. Panitia menyatakan tujuh orang ini mumpuni—dari segi pengalaman kerja, karier, dan penguasaan hukum—jika memimpin Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ketujuh orang itu adalah bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, bekas Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas, aktivis Bambang Widjojanto, pengacara Melli Darsa, bekas Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah Inspektur Jenderal Chaerul Rasjid, jaksa Sutan Bagindo Fachmi, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah, I Wayan Sudirta.
Memilih dua nama merupakan kerja terakhir panitia yang dipimpin Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar. Anggotanya meliputi banyak tokoh dengan beragam latar belakang. Mereka berembuk untuk memilih dua nama yang akan ditapis oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Seleksinya cukup ketat karena ada tiga nama yang punya skor tinggi, yakni Jimly, Busyro, dan Bambang.
Nama-nama lain cukup mudah dirontokkan dengan melihat data yang disodorkan Indonesia Corruption Watch atau Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia. Dua lembaga ini memang dilibatkan untuk memasok data calon yang masuk seleksi akhir. Misalnya, ada calon yang berkali-kali naik haji dibiayai perusahaan. ”Calon ini mati-matian merasa tak bersalah dengan fasilitas itu,” kata Agi Rahmat, Senior Associate Dunamis.
Ada tiga tes yang harus dijalani setiap calon: membuat makalah dan mengikuti tes tertulis lain agar diketahui konsistensinya, diskusi kelompok, dan wawancara. Dalam diskusi kelompok, mereka diberi soal ”bagaimana memperlakukan kasus Bank Century”. Dari diskusi ini, panitia menilai kepemimpinan setiap calon, kerja sama dengan calon lain, dan pengetahuan hukumnya.
Kecuali tiga nama yang punya nilai tertinggi, para calon menganggap kasus Bank Century merupakan pelanggaran dan bisa diperiksa secara hukum. Jimly, Bambang, dan Busyro berkutat di konstruksi dan analisis hukum kasus ini. Umumnya mereka berkesimpulan harus dibuktikan dulu secara hukum apakah kasus ini bisa diperiksa atau tidak. ”Mereka beralasan tak bisa masuk ke kasusnya karena belum masuk ke KPK,” kata Agi.
Tapi justru alasan inilah yang membuat panitia kepincut, ketimbang opini yang mencerminkan keberanian tapi serampangan pertimbangan hukumnya. Bagaimanapun, kata Agi, KPK merupakan lembaga hukum yang tak boleh terpeleset menafsirkan aturan sehingga tak adil menghukum orang. ”Yang terpenting juga soal kerja sama,” katanya.
Dari diskusi itu terlihat siapa calon yang terbuka menerima pendapat calon lain dan mau mendengarkan. Soalnya, satu calon yang terpilih nanti, suka atau tak suka, mesti bekerja sama dengan empat pejabat lama Komisi, dan keputusan pimpinan bersifat kolegial. Tanpa kemauan mendengarkan dan menerima pendapat orang lain, para pemimpin tak akan bisa kompak.
Jimly lagi-lagi mendapat nilai tertinggi karena mengajukan sebuah proposal menarik tentang masa depan KPK. Menurut Agi, guru besar tata negara itu punya konsep juru kampanye antikorupsi di tiap departemen dengan memberdayakan pegawainya. Jimly tak tertarik membuat kesepakatan dengan lembaga-lembaga negara karena sering tak efektif mencegah korupsi. ”Dan dibanding calon lain, dia memang punya kemampuan melobi karena pengalamannya,” kata Agi.
Tapi Bambang dan Busyro juga membetot perhatian karena keberanian dan keteguhan sikap. Dalam tes konsistensi, kata Agi, dua orang ini punya nilai paling tinggi, meski skor untuk pengambilan keputusan masih kalah dibanding Jimly. Maka, dengan segala kelebihan dan kekurangan itu, panitia seleksi berpaling kembali ke profil data para calon.
Jimly, misalnya, tercatat pernah memakai dana abadi umat ketika bekerja di Sekretariat Negara untuk umrah bersama istrinya. Dalam sesi wawancara, Jimly tak memungkiri informasi itu. Tapi ia mengaku baru tahu bahwa ongkos ke Mekah itu diambil dari pos di Departemen Agama, yang seharusnya tak dibagi-bagi ke pejabat. Ia kemudian mengganti duit itu.
Ada juga beberapa isu menyangkut duit ketika ia menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi. Misalnya soal imbalan memutus perkara sengketa wilayah di Bangka Belitung. Mendapat pertanyaan itu, kepada Erwin Dariyanto dari Tempo, Jimly hanya berujar, ”Astagfirullah, rusak negara ini karena terlalu banyak orang munafik.”
Namun poin yang membuat wibawanya runtuh adalah ketika dia menyatakan bersedia masuk Komisi jika pasti terpilih menjadi ketua, bukan sekadar komisioner, yang kedudukannya sama dengan pemimpin lain. ”Rupanya, panitia seleksi terganggu dengan kesombongan saya ini,” katanya. Rhenald Kasali, salah seorang anggota panitia, mengakui sikap Jimly ini membuat panitia tak memilihnya.
Akhirnya, ketika hari telah bergeser ke Jumat pagi, panitia seleksi bulat memutuskan memilih Busyro dan Bambang sebagai dua calon yang akan dilaporkan ke Presiden. ”Kami semua memberi penilaian tertinggi untuk keduanya,” kata Rhenald. Latar belakang Bambang dan Busyro sudah dipastikan bersih dari soal suap-menyuap.
Pilihan terhadap keduanya juga menunjukkan kombinasi yang unik. Bambang orang muda—baru 51 tahun—yang dikenal tegas dan berani. Sebagai pengacara, ia tak pernah membela koruptor. Karier hukum peraih gelar master dari London University ini lebih banyak di lembaga bantuan hukum. Ia lama membangun kariernya sebagai Direktur Lembaga Bantuan Hukum Irian Jaya. Ketekunannya membela hak asasi manusia berbuah penghargaan Robert F. Kennedy Human Rights Award.
Busyro, 58 tahun, dinilai bersih dan berhasil memimpin Komisi Yudisial. Dosen hukum di Universitas Islam Indonesia ini lebih banyak berkutat di bidang akademik sehingga terisolasi dari koneksi politik yang bisa membuatnya sulit menangani kasus korupsi. ”Dua-duanya punya kelebihan dan kekurangan,” kata Agi Rahmat. ”Tapi, untuk memimpin KPK, mereka mumpuni, seperti dua gelas penuh.”
Dalam bahasa Rhenald Kasali, guru besar Universitas Indonesia dan pakar manajemen, satu dari dua calon ini bisa menjadi lokomotif yang mampu kembali menghela laju Komisi, mencambuk pemimpin lain, dan memberikan kepercayaan diri kepada para penyidik. ”Siapa pun yang terpilih, kapasitasnya mencukupi,” katanya.
Bagja Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo