BEGITU petugas ronda berteriak, "maling . . .!" penduduk kampung
di Desa Srihardono menghambur ke luar rumah. Mereka tak lupa
membawa golok atau sedikitnya pentungan. Yang mereka kejar...
dua orang pencuri ayam.
Yang seorang lolos. Tapi temannya tertangkap dan tak ampun lagi:
dihajar habis-habisan sampai matl. Sampai pekan lalu, Jadi
hampir sebulan, penduduk Srihardono dan pedukuhari lain di
Bantul, Yogyakarta, memberlakukan jam malam. Selain takut
kawanan pencuri membalas dendam, "belakangan ini di daerah kami
memang sering terjadi pencurian," kata seorang penduduk.
Tapi penduduk desa lain di Kabupaten Pati dan Kudus, Jawa
Tengah, tak merasa perlu memberlakukan jam malam, meski dalam
empat bulan terakhir tercatat: ada 5 orang mati dikeroyok!
Mereka itu Sujadi, Sarwi, Tugiran, Kaswadi, dan Supaat.
Sujadi, 22 tahun, mati dikeroyok penduduk Rogomulyo, 25 Maret
lalu. Ia kepergok penduduk dan lari menuju empang sesaat setelah
membunuh Kepala Desa H. Abdul Rajak, 73 tahun, dan menganiaya
istrinya dengan menggunakan linggis dan bambu runcing. Apa
pasalnya, belum jelas. Tapi, begitu kepala Sujadi nongol dari
air, batu-batu beterbangan, disusul hantaman kayu dan ayunan
senjata tajam dari puluhan lelaki beringas yang dikuasai dendam.
Dalam sekejap tubuh Sujadi sudah tak keruan bentuknya.
"Mengerikan," komentar Karlan, ayah korban, dengan perasaan yang
sulit dibayangkan.
Keadaan Sarwi, yang mati dikeroyok di Tagalwera, Desember lalu,
tak jauh beda. Begitu pula keadaan Kaswadi, asal Desa Wergu
Wetan, Kudus, dan Supaat yang Februari lalu dihabisi di Desa
Gibrig. Ketiganya menjadi tumpahan amarah penduduk karena
kepergok mencuri.
Cerita tentang Tugiran, 37 tahun, lain lagi. Anggota marinir
yang melakukan desersi itu dibenci penduduk Desa Besito, Kudus,
karena berlagak jagoan. Lagaknya dinilai begitu memuakkan,
sampai akhirnya - Desember lalu - terjadi pengeroyokan atas
dirinya. Ia meninggal sebelum polisi datang.
Yang beritanya hampir saja hilang tanpa bekas, ialah terbunuhnya
Bandol, 27 tahun, dua bulan sebelumnya ti Desa Tayem Cilacap.
Lama menghilang dari desa, lelaki yang dikenal suka mencuri dan
berperangai buruk itu muncul di rumah Sarnarja, ayahnya. Ia -
untuk kesekian kalinya mengancam akan membunuh ayahnya, karena
tak diberi uang untuk biaya kawin. Apa pula yang hendak
diberikan Sarnarja, seorang petani miskin, lagi tua?
Dimotori Djajasumarta, komandan Hansip, penduduk yang pernah
disakiti kemudian meringkusnya. Dan ketika Bandol mencoba lari,
penduduk yang beringas mengeroyoknya sampai mati. Malam itu juga
mayatnya dikuburkan di pemakaman desa itu. Pekan lalu, Djaja dan
9 orang lain yang diduga terlibat perkara itu, ditahan polisi.
Sarnarja sendiri, yag sejak lama sudah diblkin susah oleh
Bandol, tampak pasrah.
"Apa lagi yang mesti disesali - dia sudah mati," ujar Sarnarja
sendu.
Peristiwa pengeroyokan sampai mati, apa pun kesalahan si korban,
bukan hanya musim belakangan ini saja. Sejak dahulu, bila ada
tersangka pelaku kejahatan tertangkap, masyarakat memang
cenderung menghabisinya. Perbuatan itu, menurut Muhammad Mustofa
dari Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia (LKUI),
"merupakan refleksi budaya kekerasan pada masyarakat." Budaya
kekerasan itu sendiri, tak lain adalah, "sisa-sisa dari
kebudayaan yang belum berkembang, yang lebih mengandalkan
kekuatan daripada menyelesaikannya secara hukum." Tak heran bila
pelaku pengeroyokan, kata dosen FIS-UI itu, tidak merasa
menyesal atau bersalah meski korban menemui ajalnya.
Ahli sejarah, Dr. Onghokham, berpendapat bahwa orang desa yang
kelihatannya adem ayem atau tenang-tenteram bisa betindak
agresif, karena sebenarnya mereka memendam sejumlah ketegangan.
Misalnya karena melihat jurang yang lebar antara kaya dan mishn,
sulit mendapat pekerJaan, atau tanah yang terasa kian menyempit.
Orang desa, katanya, juga masih memegang kuat konsep: siapa
warga desa dan warga luar desa. Maka bila ada orang luar
melakukan intervensi, "dianggap sebagai musuh." Musuh itu
akhirnya menjadi pelampiasan rasa jengkel. Sebab, kata Prof. Dr.
Mulyono Gandadiputra, guru besar Psikologi di UI, "emosi akan
lebih bicara ketimbang rasio." Memang, kata Prof. Mulyono,
"tindak pengeroyokan tak lain adalah ekses dari rasa
solidaritas." Bila ada anggota masyarakat yang terkena sasaran
kejahatan, semua ikut merasa menJadi korban.
Berbeda dengan Muhammad, Prof. Mulyono dan Dr Ong berpendapat,
tindakan main hakim sendiri bukanlah karenamasyarakat kurang
percaya terhadap aparat penegak hukum. Tapi, bila sampai terjadi
penjahat dikeroyok sampai mati, yang repot biasanya polisi.
"Kalau polisi mau mengusut, penduduk satu kampung tunjuk tangan
minta diperiksa, karena semua merasa ikut bertanggung jawab,"
kata Komandan Kepolisian Pati Kol. Pol. Harsono. Dan bila nanti
ada yang dihukum, dikhawatirkan partisipasi masyarakat menjaga
keamanan lingkungannya, akan mengendur.
Maka, jangan heran, bila banyak kasus pengeroyokan - apalagi
pelakunya orang sekampung - perkaranya jarang yang sampai ke
pengadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini