Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Orang Sekampung Pun Tunjuk Tangan

Di pati dan kudus tercatat 5 pencuri mati dikeroyok oleh penduduk, merupakan ekses dari solidaritas (menurut ahli psikologi). (krim)

16 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEGITU petugas ronda berteriak, "maling . . .!" penduduk kampung di Desa Srihardono menghambur ke luar rumah. Mereka tak lupa membawa golok atau sedikitnya pentungan. Yang mereka kejar... dua orang pencuri ayam. Yang seorang lolos. Tapi temannya tertangkap dan tak ampun lagi: dihajar habis-habisan sampai matl. Sampai pekan lalu, Jadi hampir sebulan, penduduk Srihardono dan pedukuhari lain di Bantul, Yogyakarta, memberlakukan jam malam. Selain takut kawanan pencuri membalas dendam, "belakangan ini di daerah kami memang sering terjadi pencurian," kata seorang penduduk. Tapi penduduk desa lain di Kabupaten Pati dan Kudus, Jawa Tengah, tak merasa perlu memberlakukan jam malam, meski dalam empat bulan terakhir tercatat: ada 5 orang mati dikeroyok! Mereka itu Sujadi, Sarwi, Tugiran, Kaswadi, dan Supaat. Sujadi, 22 tahun, mati dikeroyok penduduk Rogomulyo, 25 Maret lalu. Ia kepergok penduduk dan lari menuju empang sesaat setelah membunuh Kepala Desa H. Abdul Rajak, 73 tahun, dan menganiaya istrinya dengan menggunakan linggis dan bambu runcing. Apa pasalnya, belum jelas. Tapi, begitu kepala Sujadi nongol dari air, batu-batu beterbangan, disusul hantaman kayu dan ayunan senjata tajam dari puluhan lelaki beringas yang dikuasai dendam. Dalam sekejap tubuh Sujadi sudah tak keruan bentuknya. "Mengerikan," komentar Karlan, ayah korban, dengan perasaan yang sulit dibayangkan. Keadaan Sarwi, yang mati dikeroyok di Tagalwera, Desember lalu, tak jauh beda. Begitu pula keadaan Kaswadi, asal Desa Wergu Wetan, Kudus, dan Supaat yang Februari lalu dihabisi di Desa Gibrig. Ketiganya menjadi tumpahan amarah penduduk karena kepergok mencuri. Cerita tentang Tugiran, 37 tahun, lain lagi. Anggota marinir yang melakukan desersi itu dibenci penduduk Desa Besito, Kudus, karena berlagak jagoan. Lagaknya dinilai begitu memuakkan, sampai akhirnya - Desember lalu - terjadi pengeroyokan atas dirinya. Ia meninggal sebelum polisi datang. Yang beritanya hampir saja hilang tanpa bekas, ialah terbunuhnya Bandol, 27 tahun, dua bulan sebelumnya ti Desa Tayem Cilacap. Lama menghilang dari desa, lelaki yang dikenal suka mencuri dan berperangai buruk itu muncul di rumah Sarnarja, ayahnya. Ia - untuk kesekian kalinya mengancam akan membunuh ayahnya, karena tak diberi uang untuk biaya kawin. Apa pula yang hendak diberikan Sarnarja, seorang petani miskin, lagi tua? Dimotori Djajasumarta, komandan Hansip, penduduk yang pernah disakiti kemudian meringkusnya. Dan ketika Bandol mencoba lari, penduduk yang beringas mengeroyoknya sampai mati. Malam itu juga mayatnya dikuburkan di pemakaman desa itu. Pekan lalu, Djaja dan 9 orang lain yang diduga terlibat perkara itu, ditahan polisi. Sarnarja sendiri, yag sejak lama sudah diblkin susah oleh Bandol, tampak pasrah. "Apa lagi yang mesti disesali - dia sudah mati," ujar Sarnarja sendu. Peristiwa pengeroyokan sampai mati, apa pun kesalahan si korban, bukan hanya musim belakangan ini saja. Sejak dahulu, bila ada tersangka pelaku kejahatan tertangkap, masyarakat memang cenderung menghabisinya. Perbuatan itu, menurut Muhammad Mustofa dari Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia (LKUI), "merupakan refleksi budaya kekerasan pada masyarakat." Budaya kekerasan itu sendiri, tak lain adalah, "sisa-sisa dari kebudayaan yang belum berkembang, yang lebih mengandalkan kekuatan daripada menyelesaikannya secara hukum." Tak heran bila pelaku pengeroyokan, kata dosen FIS-UI itu, tidak merasa menyesal atau bersalah meski korban menemui ajalnya. Ahli sejarah, Dr. Onghokham, berpendapat bahwa orang desa yang kelihatannya adem ayem atau tenang-tenteram bisa betindak agresif, karena sebenarnya mereka memendam sejumlah ketegangan. Misalnya karena melihat jurang yang lebar antara kaya dan mishn, sulit mendapat pekerJaan, atau tanah yang terasa kian menyempit. Orang desa, katanya, juga masih memegang kuat konsep: siapa warga desa dan warga luar desa. Maka bila ada orang luar melakukan intervensi, "dianggap sebagai musuh." Musuh itu akhirnya menjadi pelampiasan rasa jengkel. Sebab, kata Prof. Dr. Mulyono Gandadiputra, guru besar Psikologi di UI, "emosi akan lebih bicara ketimbang rasio." Memang, kata Prof. Mulyono, "tindak pengeroyokan tak lain adalah ekses dari rasa solidaritas." Bila ada anggota masyarakat yang terkena sasaran kejahatan, semua ikut merasa menJadi korban. Berbeda dengan Muhammad, Prof. Mulyono dan Dr Ong berpendapat, tindakan main hakim sendiri bukanlah karenamasyarakat kurang percaya terhadap aparat penegak hukum. Tapi, bila sampai terjadi penjahat dikeroyok sampai mati, yang repot biasanya polisi. "Kalau polisi mau mengusut, penduduk satu kampung tunjuk tangan minta diperiksa, karena semua merasa ikut bertanggung jawab," kata Komandan Kepolisian Pati Kol. Pol. Harsono. Dan bila nanti ada yang dihukum, dikhawatirkan partisipasi masyarakat menjaga keamanan lingkungannya, akan mengendur. Maka, jangan heran, bila banyak kasus pengeroyokan - apalagi pelakunya orang sekampung - perkaranya jarang yang sampai ke pengadilan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus