Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Dua Versi Perkara Roy

Empat tersangka memberatkan peran Roy Marten dalam ”pesta” di Hotel Novotel. Hanya karena ingin sabu-sabu gratis.

26 November 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI ruang tahanan Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya, Kamis siang pekan lalu, Roy Marten uring-uringan. Aktor beken itu mengeluh pegal-pegal karena kurang berolahraga. Kepada penjaga, Roy memohon diizinkan berlari-lari di depan sel.

Sayang, permohonan itu tak dikabulkan. Alasannya sederhana: polisi khawatir Roy kabur. ”Lari-lari saja di dalam sel,” kata seorang petugas seraya melanjutkan mengontrol tahanan lain. Roy, 55 tahun, ditempatkan di sel blok A, bersama delapan tahanan lain dari berbagai kasus. Ukuran sel itu 18 meter persegi.

Pemeran utama Cintaku di Kampus Biru (1976) yang bebas dari penjara narkoba pada Oktober 2006 itu kini menanti serangkaian penyidikan aparat reserse kriminal. Ia akan dikonfrontasi dengan pengakuan empat peserta ”pesta” sabu-sabu di Hotel Novotel Surabaya, Selasa dua pekan lalu. Mereka adalah Haryanto alias A Hong, Didit Kesit Cahyadi, Freddy Matalula, dan Winda.

Peran Roy dan empat tersangka dalam kasus 1,5 ons sabu-sabu pada malam ”pesta” itu menjadi perhatian utama penyidik. Mereka ditahan di blok berbeda di markas kepolisian di Jalan Sikatan 1, Surabaya, tersebut. Menurut Kepala Satuan Reserse Narkoba, Polwiltabes Surabaya, Ajun Komisaris Besar Polisi Abi Darrin, keempat tersangka menyatakan Roy ikut menyedot sabu-sabu. ”Tapi Roy membantah,” kata Abi.

Kepada polisi, bintang idola kaum muda zaman dulu itu mengatakan, seusai acara kampanye antinarkoba di kantor Jawa Pos Surabaya pada 10 November, ia langsung ke Hotel Novotel di Jalan Ngagel untuk bertemu Freddy Matalula. Roy dan Freddy, 56 tahun, adalah kawan lama dan pernah sama-sama menjadi bintang model 1970-an.

Keduanya juga pernah mendekam di penjara Cipinang, Jakarta, dalam kasus narkoba. Ketika asyik mengobrol di kamar 668 di hotel itu, datanglah Didit Kesit Cahyadi dan A Hong. Pada sekitar pukul 01.00, mereka beranjak ke Hugos Cafe di Hotel Sheraton, Jalan Embong Malang, sekitar 6 kilometer dari Novotel. Mereka baru balik ke Novotel menjelang subuh.

Pada Ahad pukul 11.00, Roy bangun dan langsung check out. Ia mengejar pesawat ke Bandar Udara Juanda, Surabaya, untuk pulang ke Jakarta. Rupanya, sampai di bandara, Roy tak kebagian tiket pesawat. Ia memutuskan balik ke Novotel menempati kamar 465. Ia bertemu lagi dengan Freddy dan A Hong. Sedangkan Didit sudah pulang ke Jalan Paneleh, Surabaya.

Masih menurut versi Roy, Senin siang Didit datang lagi ke Novotel, disusul Winda, karyawan perusahaan jasa kehumasan ”pesanan” A Hong. Malamnya, mereka pergi ke Hugos Cafe hingga pukul 03.00. Sebelum ayam berkokok, mereka pulang ke hotel untuk tidur. ”Ketika saya bangun, sudah ada polisi,” Roy bercerita.

Pengakuan pemeran utama Badai Pasti Berlalu (1977) itu dibantah habis oleh A Hong, Didit, Freddy, dan Winda. Menurut mereka, Roy datang ke Novotel pada Sabtu sekitar 19.00. Malam itu mereka berlima menggelar ”pesta” sabu-sabu hingga larut. Sehabis teler, semua tertidur lelap.

Pada Senin siang, Didit datang membawa satu ons sabu-sabu seharga Rp 200 juta, yang hendak dijual ke A Hong. Sebelumnya, Didit sudah menyerahkan 0,5 gram sabu-sabu kepada bekas narapidana narkoba di penjara Madiun itu. Oleh A Hong, barang haram itu hendak dibeli Rp 60 juta.

Didit menjelaskan kepada A Hong, barang itu diperoleh dari Kamir Santoso, bandar narkoba yang kini mendekam di penjara Tangerang, Banten. Transaksi jual-beli disepakati. Pembayaran mundur, tapi Roy menjamin A Hong, karena dialah yang mempertemukan sang ”tauke” dengan Didit.

A Hong menyimpan sabu-sabu itu di dalam bagasi mobilnya. Untuk merayakan transaksi ini, mereka menggelar ”pesta” lagi hingga pukul 01.00. ”Motif Roy menjamin pembayaran hanya karena ingin memperoleh sabu-sabu gratis,” kata sumber Tempo yang ikut menginterogasi Roy. ”Karena itu ia bersekongkol dengan pengedar dan bandar.”

Keterangan empat tersangka yang memojokkan Roy itu dibantah Chris Salam, adik dan kuasa hukumnya. Menurut Chris, Roy tidak terlibat pesta sabu-sabu. Chris menyatakan, abangnya hanya berada di tempat dan waktu yang salah. ”Dia sudah menceritakan semuanya kepada saya,” kata Chris. ”Dia bersih.”

Adapun Anna Maria, istri Roy, tak yakin suaminya terjerumus ke jaringan pengedar narkoba begitu dalam. ”Bahwa dia memakai, ya,” kata Anna kepada Tempo. ”Tapi, kalau menjadi pengedar, saya tak percaya. Enggak mungkin itu.”

Bahwa Roy bakal kecempelung lagi ke jurang narkoba sudah diduga Alex Asmasoebrata, politikus Partai Demokrasi Indonesia era Orde Baru. Sehabis acara di Jawa Pos, sebetulnya Alex berusaha memaksa Roy balik ke Jakarta. Dalam perjalanan ke bandara, katanya, Roy ditelepon Freddy. ”Saya bilang sama Roy, hati-hati bergaul sama Freddy, entar kena lagi. Eh, ternyata benar,” tutur Alex kepada Tempo.

Adalah Alex yang mengajak Roy ke Surabaya untuk menyemarakkan kampanye antinarkoba di Jawa Pos itu. Ajakan ini atas undangan Badan Narkotika Nasional. Menurut jadwal acara, pukul 11.00 Roy Marten memberikan kesaksian bersama Alexandra Asmasoebrata, anak Alex yang dikontrak setahun menjadi ikon antinarkoba Badan Narkotika Nasional.

Alex menyesalkan keterjerumusan Roy kembali ke dunia narkoba. ”Dia dalam proses penyembuhan, dan sudah mengakui kesalahannya,” kata Alex.

Polisi juga memeriksa Kamir Santoso di penjara Tangerang. Sebab, menurut Didit, sabu-sabu yang ditawarkan ke A Hong berasal dari Kamir. ”Tapi Kamir membantah, bahkan menyatakan tak mengenal Didit,” kata Kepala Unit Satuan Reserse Narkoba Polwiltabes Surabaya, Komisaris Totok Sumaryanto.

Menurut Wawan Hermawan, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Tangerang, Kamir Santoso diperiksa polisi terkait dengan kasus Roy pada Rabu lalu. Kamir dihukum sembilan tahun penjara, dan sering merepotkan petugas. ”Di dalam selnya pernah ditemukan sepuluh telepon seluler,” kata Wawan.

Abi Darrin menegaskan, para tersangka terancam hukuman berat. Bagi yang berperan bandar, katanya, Undang-Undang Psikotropika telah mengatur hukuman 15 tahun penjara. Adapun pengguna yang bersekongkol dengan pengedar dan bandar, katanya, terancam lima tahun penjara.

Elik Susanto, Rika Panda, Kukuh S. Wibowo (Surabaya), Ayu Cipta (Tangerang)

Jaringan Cipinang-Madiun

TINGGINYA sekitar 165 sentimeter, berkumis tipis, berkulit putih, bermata sipit, dan rambut lurus. Itulah Kamir Santoso, 40 tahun. Ia diduga bandar yang menggerakkan roda bisnis narkoba dari dalam penjara. Barang dagangannya, 1,5 ons sabu-sabu, disita polisi di Hotel Novotel Surabaya, Selasa dua pekan lalu.

Kamir Santoso mengendalikan jaringannya dari balik jeruji penjara. Bisnisnya didukung oleh sepuluh telepon seluler dan sejumlah kaki tangan.

Peran Roy:

  • Pengguna
  • Penghubung antara pengedar narkoba Didit Kesit Cahyadi (jaringan Cipinang) dan bandar narkoba A Hong (jaringan penjara Madiun)
  • Menjamin pembayaran transaksi sabu-sabu antara Didit dan A Hong
  • Roy ingin memperoleh narkoba gratis

Sumber: Polwiltabes Surabaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus