TIDAK ada seorang narapidana pun yang semalang Go Sie Tjiak alias si Gendut. Awal Oktober lalu, ia dihukum 1 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang yang diketuai Soegijo Soemardjo, karena terbukti merampok sebuah toko emas. Tapi putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum itu - karena diterima Gendut dan Jaksa - belakangan di batalkan oleh pengadilan. Dan dengan majelis hakim yang lain, yang di ketuai Krestijani Dullah, dua pekan lalu Gendut dihukum 5 tahun penjara untuk kasus yang sama. Gendut, yang hadir di sidang ulangan itu dengan pakaian seragam narapidana, biru-biru, dengan berang menolak putusan hakim itu. Sebelum hakim menanyainya, ia lebih dulu menyemburkan kekesalannya: "Saya tidak menerima putusan itu, karena saya sudah punya vonis yang sudah saya jalani. Karena itu pula saya tidak akan naik banding. "Awal Oktober lalu, Gendut, 36, diajukan Jaksa Harnop Mujenan ke persidangan dengan tuduhan - bersama tiga temannya merampok emas bernilai Rp 400 juta dari Toko Emas Sriwijaya di Semarang. Persidangan itu berjalan lancar karena Gendut mengakui semua kesalahannya. Hari itu juga ia divonis Hakim Soegijo dengan hukuman 1 tahun lebih rendah dari permintaan Jaksa yang sebelumnya menuntut 2 tahun penjara. Persoalan menjadi tambah gampang, karena Gendut dan Jaksa sepakat menerima vonis itu. Tapi, sial bagi Gendut, vonis yang sudah diterimanya itu dinyatakan "batal demi hukum". Sebab, hakim yang mengadilinya, Soegijo, yang juga ketua d pengadilan itu, sudah pensiun sejak 1 Oktober, atau sehari sebelum ia menjatuhkan vonis. Hanya saja, karena tidak beresnya administrasi peradilan, serah terima jabatan Soegijo terlambat 14 hari. "Kesempatan" itu dimanfaatkan Soegijo untuk memutuskan beberapa perkara, termasuk perkara si Gendut itu. Penjabat ketua pengadilan yang baru, Wieke S. Kumawati, secara resmi membatalkan vonis Soegijo, November lalu, dan menunjuk majelis baru untuk mengadili Gendut dengan Krestijani sebagai hakim. Bahkan status Gendut yang sudah narapidana itu pun diubah hakim menjadi tahanan. "Persidangan terpaksa dibuka lagi karena orang yang memvonisnya bukan lagi hakim. Karena itu, putusannya tidak sah," begitu alasan Wieke. Penetapan Wieke itu didukung atasannya, baik yang di Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung. "Kalau secara administrasi hakim itu pensiun, tentu saja demi hukum vonisnya batal," ujar Ali Said, ketua Mahkamah Agung, awal bulan lalu. Tapi persidangan yang dibuka Krestijani itu sarat dengan protes. Misalnya Gendut, ayah tiga anak, selama tujuh kali sidang selalu berpakaian narapidana. Ia juga tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan hakim. Pembelanya, Nyoman Sarekat Putrajaya, berkali-kali meminta hakim agar memperkuat saja keputusan hakim sebelumnya. "Sebab, yang pensiun kan hanya ketua majelis, hakim-hakim anggota tidak," begitu alasan Nyoman. Protes yang lebih keras datang dari Jaksa Harnop. Jaksa itu menolak perintah hakim untuk membacakan tuduhannya. "Saya tidak akan menuduh untuk kedua kalinya," ujar Harnop yang, anehnya, tetap hadir di persidangan. Harnop juga menolak membacakan tuntutannya. Majelis hakim rupanya tidak peduli dengan aksi "mogok" para pihak yang seharusnya berhadapan di persidangan itu. Berlangsunglah sebuah sidang pengadilan pidana yang aneh: tanpa jaksa membacakan surat tuduhan dan tuntutan. BAIK Jaksa Harnop maupun Gendut tidak menanggapi putusan hakim itu. . Sampai batas waktu banding, pekan lalu, kedua pihak tidak mengajukan keberatan. Pengacara Nyoman, Rabu pekan lalu, mengaku belum mendapat kuasa dari Gendut untuk banding. "Saya masih tidak mengerti kenapa hakim menghukum lebih berat, padahal seharusnya kesalahan administrasi itu tidak boleh memberatkan terhukum," ujar Nyoman. Harnop tidak banyak komentar atas putusan itu. "Yang penting, saya tidak menuduh dan menuntut terdakwa untuk kedua kalinya," kata Harnop. I:)i persidangan ia menuntut agar pembatalan keputusan sebelumnya dikeluarkan secara resmi oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung. Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang Pidana, Adi Andojo Sutjipto, membenarkan tindakan-tindakan Hakim Wieke. "Tapi dalam masalah ini Mahkamah Agung belum turun tangan, karena proses perkaranya masih berjalan. Kita tunggu saja proses banding dan kasasinya," ujar Andi Andojo. Seandainya jaksa dan terhukum bersikap pasif, menurut hakim agung itu, "Berarti menerima putusan itu. Sebab, kalau hanya tidak menerima tanpa memohon banding, tidak ada artinya." Hakim Agung itu tidak sependapat dengan Jaksa Harnop yang menuntut pembatalan keputusan Hakim Soegijo dilakukan Mahkamah Agung dengan penetapan. "Batal demi hukum itu tidak perlu berbentuk surat keputusan, sebab vonis itu dianggap tidak pernah ada," ujar Adi Andojo. Ia mengakui, persoalan itu belum diatur suatu hukum acara. "Karena itu, kita serahkan kepada praktek hukum yang berkembang," katanya. Artinya, nasib Gendut memang tidak bisa diubah lagi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini