BARU kali ini ada polisi menolak disidangkan di praperadilan. Letkol Ansyar Roem, kapolres Tapanuli Selatan, bersama empat orang anak buahnya menolak diperiksa Hakim Djauti Purba, dengan alasan belum melihat surat izin Pengacara Alifuddin Nur dari LBH Medan, yang memperkarakannya. Urusan jadi terkatung-katung. Perwira menengah polisi itu tetap ngotot menolak diadili, walau Hakim Djauti yang sebelumnya sudah mengecek ke Pengadilan Tinggi - meyakinkan bahwa izin praktek Alifuddin masih berlaku. Rupanya, kepala Satserse Polres Tapanuli Selatan, Letnan Dua Hasanuddin, yang mewakili Ansyar di persidangan ketiga, dua minggu lalu, tidak mempercayai ucapan hakim itu. "Yang bernama Alifuddin bisa beribu orang di Medan. Pokoknya, kami baru mau disidangkan bila surat izin itu sudah diperlihatkan kepada kami," ujar Hasanuddin. Hakim Djauti tidak punya cara lagi untuk meyakinkan polisi itu. Ia terpaksa mengundurkan sidang sampai waktu yang tidak ditentukan. Celakanya, sesuai dengan hukum acara pidana (KUHAP), sidang praperadilan harus selesai dalam waktu tujuh hari. Padahal, sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Padangsidempuan itu sudah dimulai 8 Desember lalu. Dan, sampai pekan lalu belum bisa dibuka kembali, karena, seperti dikatakan ketua Pengadilan Negeri Padangsidempuan, Yus Mukmin Siregar, perlu waktu untuk meminta salinan izin praktek Alifuddin dari Pengadilan Tinggi Sumatera Utara di Medan. Yus Mukmin Siregar mengakui, sesuai dengan ketentuan, "Seharusnya perkara praperadilan itu sudah gugur demi hukum." Tapi hakim itu tetap mengundurkan sidang, agar pemohon tidak dirugikan. "Sebab, terlalainya praperadilan itu bukan karena kesalahan pemohon," ujar Yus. Pemohon yang dimaksud Yus adalah Ramlan Lubis. Pegawai penyalur mobil itu sempat ditahan polisi selama dua hari, Oktober lalu, dituduh bersama majikannya, Haji B.P. Ritonga, merampas kendaraan Daihatsu Delta dari tangan Safaruddin Situmeang. Penangkapan itu dianggap Ramlan, 31, tidak sah. Sebab, katanya, ia mengambil mobil itu atas perintah majikannya karena Situmeang dianggap tidak mampu membayar cicilan mobil sesuai dengan perjanjian kredit antara Ritonga dan Situmeang. Di dalam tahanan, seperti terbaca dari gugatan Alifuddin, Ramlan sempat pula mengalami siksaan dari polisi. Ia baru bisa keluar tahanan, konon, setelah seorang saudaranya membayar Rp 70 ribu. Selain itu, Ramlan juga diharuskan menandatangani surat pernyataan bahwa ia tidak pernah ditahan polisi, tidak akan menuntut balik, dan tidak akan melarikan diri. Berdasarkan semua itu, Ramlan meminta Alifuddin dari LBH Medan mengurus perkara ke praperadilan. Untuk itu, Alifuddin memberikan kuasa pengganti kepada Adamsyah di Padangsidempuan. Tapi, seperti ternyata, persidangan itu menjadi terkatungkatung akibat polisi mempertanyakan kuasa Alifuddin, perrgacara yang tidak hadir di persidangan itu. Kasus praperadilan itu semakin menghebohkan karena belakangan Kapolres Ansyar Roem menangkapi wartawan-wartawan Padangsidempuan yang memberitakan perkara itu. Dua orang wartawan kota itu, Jonathan dari Mingguan Dobrak dan Ali Rakhman dari Mercu Suar, pertengahan bulan lalu ditangkap dengan tuduhan mengganggu ketertiban umum. Akibat penangkapan itu, tiga wartawan lainnya melarikan diri ke Medan, karena merasa ikut memberitakan praperadilan itu (TEMPO, 29 Desember). Bukan hanya itu ulah sang kapolres. Pada sidang-sidang permulaan praperadilan itu, Adamsyah, yang mewakili Alifuddin, terpaksa memprotes kepada hakim karena banyaknya polisi yang dikerahkan menghadiri persidangan. Bahkan sebagian anak buah Ansyar itu membawa senjata api. Menurut sumber TEMPO, protes itu diteruskan Pengadilan Negeri Padangsidempuan kepada Pengadilan Tinggi Sumatera Utara. Konon, setelah Polda Sum-Ut yang dihubungi Pengadilan Tinggi menegur Ansyar, barulah persidangan berlanjut tanpa dikerumuni anggota polisi. Letkol Ansyar Roem tentu saja membantah tuduhan-tuduhan itu. Ia juga menyangkal menyiksa Ramlan di tahanan polisi. Di kantornya, pekan lalu, Ansyar tenang-tenang saja melihat reaksi atas tindakan-tindakannya. Ia, katanya, ingin melihat keberanian hakim melanjutkan sidang praperadilan yang seharusnya telah gugur demi hukum. "Lihat saja nanti," ujar Ansyar kepada TEMPO. Tapi, agaknya, pengadilan akan tetap melanjutkan persidangan itu. Wakil ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, R. Samsudi Kantaatmaja, membenarkan sikap Pengadilan Negeri Padangsidempuan yang ingin melanjutkan praperadilan itu. "Menurut KUHAP, seharusnya sidang itu sudah gugur, tapi ketentuan hukum itu 'kan harus supel dan tidak merugikan orang," ujar Samsudi. Apalagi, kata Samsudi, surat izin Alifuddin yang diragukan Ansyar - setelah dicek - ternyata masih berlaku sampai 1985. Entah, kalau Ansyar mempunyai dalih baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini