SESUDAH kumpul kebo, kini ada lagi kata ajaib yang bisa dipakai orang dewasa untuk mengejek kaum remaja. Breakdance. Orang dewasa pula yang memberinya beberapa nama baru, semuanya dengan konotasi negatif tari kejang, tari robot, bahkan dansa kesurupan. Istilah-istilah yang bisa memberikan beban psikologis. Padahal, orang dewasa yang membuat cap itu mungkin sekali dulu jago gengsot dengan irama twist, yang saat itu pun dicap sebagai jingkrak-jingkrak dekaden. Mereka adalah generasi yang mencuri lagu Beatles dari Radio Malaysia yang ketika itu diharamkan untuk didengar. Saling tuding begini memang tidak akan ada habisnya. Generasi breakdance inipun 15 tahun lalu akan menjadi generasi yang mencaci maki kultur baru berikutnya. Tiap generasi memang mempunyai ciri, misteri, dan elannya sendiri. Breakdance, menurut seorang menteri, adalah perbuatan yang tidak terpuji. Tetapi koran yang sama pada hari yang sama juga memuat berita bahwa gubernur DKI, Soeprapto, dalam rapat Muspida telah memutuskan untuk menunjuk tempat khusus sebagai gelanggang breakdance, agar para remaja itu tidak perlu mengganggu lalu lintas. Masalah ini dibicarakan sekaligus dengan masalah penertiban becak. Rasionalnya pun mungkin sama: jalan raya adalah DBB daerah bebas becak dan sekaligus bebas breakdance. Dua-duanya hanya bisa ditertibkan, karena dua-duanya sulit dipunahkan berhubung tiadanya alternatif pemecahan yang lebih tuntas. Karena itu, para breaker tidak perlu merasa terhina kalau mereka dibicarakan setingkat dengan tukang becak. Gubernur Soeprapto juga mengatakan bahwa tarian itu sendiri sebetulnya memerlukan fisik yang hebat, karena merupakan perpaduan olah raga dan pantomim yang dibarengi gerak dan lagu. "Yang menimbulkan ekses itu bukan tariannya, tetapi penontonnya," kata Gubernur. Karena itu, ia lalu menginstruksikan aparatnya untuk mencegah ekses itu terjadi, termasuk ekses pemakaian minuman keras dan barang terlarang lain. "Tetapi para breaker itu tidak mungkin bisa melakukannya dalam keadaan teler," kata Loes Coldenhoff, Kakanwil Departemen P & K DKI Jakarta. "Untuk menarikannya dibutuhkan fisik yang benar-benar fit dan tegar," tambahnya. Wah, Ibu Loes sudah bisa breakdance? Pejabat pendidikan dan kebudayaan ini ternyata cukup berhati-hati dalam melakukan penilaian, agar tidak terjebak dalam pembuatan keputusan atau pernyataan tentang hal yang belum diketahuinya bulat-bulat. Suatu hari Loes mengundang beberapa breaker untuk mempertunjukkan kebolehan di kantor Kakanwil P & K DKI. "Biasanya murid hanya datang ke kantor ini untuk mendapat peringatan terakhir sebelum dikeluarkan dari sekolah," kata Loes. Hari itu mereka malah diumbar. Mereka menebar koran sebagai alas dansa, kemudian menghidupkan radio kaset yang mereka tenteng. Kaki mereka terloncat-loncat cepat, dan terlipat-lipat bagai tak bertulang, mengikuti irama musik berdentam-dentam. Mereka memang tidak mendemonstrasikan gerak berputar dengan poros ubun-ubun. Begitu saja Loes sudah ngeri ketika melihat mereka menggasing tubuh berporoskan bonggol pundak. Lalu Loes pun menjadi tahu, breakdance adalah sejenis olah raga berat. Loes tahu bahwa gemetaran tubuh para breaker ketika menari bukanlah karena ganja, tetapi karena ketegangan yang terkonsentrasi. (Cobalah sendiri menegangkan tubuh Anda!). Loes pun kemudian tahu bahwa breaker yang tidak mengikat tali sepatunya adalah yang sudah kelas tinggi. Sardono W. Kusumo, penari dan penata tari yang menjadi dosen IKJ, juga berpendapat bahwa breakdance jelas bukan untuk mereka yang teler, mabuk, ganjais, dan narkotik. Tari ini menurut dia, bahkan menuntut dan mengajarkan kesadaran atleis dan akrobatis, sehingga diperlukan kesegaran jasmani. "Seluwes Arjuna, sekuat macan tutul," katanya menggambarkan prasyarat penari breakdance. Suatu teknik memecah tubuh menjadi mosaik gerak-gerak kecil, setiap bagian tubuh hidup sendiri-sendiri. Loes juga melihat adanya beberapa gerak "kejang" pada breakdance yang juga tampak nyata pada jaipongan. Seperti juga Sardono melihat persamaannya dengan tari Baris Bali yang tidak sekadar tegang, tetapi memuat nuansa halus dan luwes. Tetapi, mengapa sih breakdance tetap perlu dilarang? Tanpa dilarang pun, kita tahu, gelombang pasang ini sebentar lagi akan surut sendiri. Beberapa orang mengkhawatirkan penari breakdance akan menderita cedera karena beberapa gerak yang dianggap berbahaya. "Belum ada breaker di Indonesia yang mati, Om. Tenang-tenang aja, de," kata seorang remaja. "Olah raga babe-babe justru lebih berbahaya. Berapa banyak babe yang mati karena jantungnya copot selagi bergelut dengan teman tidur yang .... ?" tuduhnya balik. Loes menarik lacinya, dan mengeluarkan sebuah buku tentang breakdance. Sudah dalam bahasa Indonesia! Sebuah petunjuk lengkap teknik breakin', top spin, dan sebagainya itu. "Ini 'kan lucu," kata Loes sambil menunjuk buku. "Breakdance mau dilarang, tctapi bukunya diperjualbelikan secara bebas. Di Ratu Plaza pun orang bisa bcbas membeli perlengkapan breakdance." Loes Coldenhoff, akhirnya, tcrperanjat sendiri ketika kemudian ia bertanya dari mana anak-anak mengenal breakdance. "Lho, 'kan disiarin TVRI," jawab mereka serempak. "Kami lihat pada acara Dunia dalam Berita. Kami tertarik. Lalu kami mencari lebih lanjut." Jadi, semua pus-pas ini justru gara-gara Dunia dalam Berita TVRI? Cut! Sampai di sini saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini