Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Eksekusi Dari Sebuah Masjid

Kapi, 70, tewas dibantai puluhan pemuda di dusun babakan, Jatimulyo, Kec. Lebaksiu, Tegal.Mereka menuduh kakek itu dukun santet. Padahal ia men-adi imam musala secara rutin.

7 Oktober 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK masuk akal, memang, pembunuhan direncanakan di sebuah masjid. Tapi itulah yang dilakukan sekitar 16 orang perantau Dusun Babakan, Jatimulyo, Kecamatan Lebaksiu, Kabupaten Tegal, di Jakarta. Di sebuah masjid di Kampung Warakas, Tanjungpriok, Jakarta, belasan pemuda, yang sehari-hari bekerja sebagai buruh kasar, memutuskan eksekusi terhadap Kapi, 70 tahun, warga kampung mereka sendiri. Kakek itu mereka tuduh menjadi dukun santet. Begitulah, pada Minggu sore pekan lalu, dengan menumpang kereta api, ke-16 perantau itu mudik ke kampungnya. Dari stasiun Prupuk, Slawi, sekitar 10 kilometer dari Babakan, mereka langsung meluncur ke dusunnya, dan mengontak lima pemuda lain. Lalu mereka bergerak menuju sasaran. Ketika itu azan isya sudah lama terdengar. Kapi, yang tinggal sendirian, baru saja pulang setelah menjadi imam di musala sebelah rumahnya. Ia segera mencium bahaya begitu melihat beberapa orang mengepung rumahnya. Cepat-cepat kakek tua renta ini masuk dan menutup pintu rumahnya. Tapi anak-anak muda itu mendobrak pintu rumah dan menyergap Kapi. Sebentar kemudian, azab pun datang. Leher Kapi dijerat tali plastik. Ia diseret ke halaman, dan orang ramai itu menggebukinya dengan kayu, batu, dan batu bata. Habislah riwayat Kapi. Kepalanya pecah, darahnva meluber dan wajahnya remuk tak bisa dikenali. Tapi belum cukup. Kawanan pembunuh itu, kemudian, mengarak mayat itu keliling dusun. Anehnya, tak satu pun penduduk menyaksikan adegan yang mengerikan itu. Hanya Nur Rochim, seorang guru SD, yang rumahnya berdekatan dengan Kapi, mencoba keluar karena mendengar suara ribut-ribut. Ketika tahu Kapi diseret, Rochim mencoba membantu. "Tapi kami dicegah Soleh, disuruh masuk rumah," ujar Rochim, menyebut nama seorang pembantai itu. Soleh juga melarang Milchatun Nasicha, cucu Kapi yang tinggal di sebelah rumah kakeknya, ke luar rumah. Nasicha lalu membangunkan suaminya, Tojib, untuk melihat apa yang terjadi di luar. "Kami kaget, kakek Kapi tak ada di rumah dan pintu rumah terbuka," tutur Nasicha pada TEMPO. Tojib bersama Kusnadi, anak Kapi satu-satunya, kemudian dengan obor mencari Kapi ke sawah, ke kebun di belakang dan ke mana saja. Kapi sudah tak ada. Mereka hanya menemukan tetesan darah. Kusnadi segera melapor ke pamong desa, Abdul Djalal. Melalui pengeras suara di masjid, Djalal mengumumkan agar penduduk laki-laki segera berkumpul. Ia juga melapor ke polisi. Sebelum penduduk berkumpul, mayat Kapi sudah diantarkan pembunuh ke rumahnya. Jenazah itu mereka letakkan di atas lincak (tempat duduk) di halaman rumahnya: Sebelum meninggalkan mayat itu, mereka sempat berteriak-teriak. Kami yang membunuh .... Ia meresahkan masyarakat. " Malam itu juga semua pembunuh tersebut ditangkap polisi. Mereka memang mengaku terus terang menghabisi Kapi karena menduga kakek itu dukun teluh. "Sudah banyak korbannya," ujar seorang dari mereka. "Kami memang sepakat membunuh hama dusun itu," kata Makmuri, otak pembunuhan berencana itu, kepada TEMPO: Pasalnya, baru 40 hari Syamsuri, seorang saudara Makmuri, meninggal dunia konon akibat teluh Kapi. Seminggu sebelumnya, memang ada keributan kecil antara Kapi dan Syamsuri. Gara-garanya, Syamsuri yang sedang punya hajat menyetel pengeras suara terlalu kencang. Entah kenapa, esoknya Syamsuri jatuh sakit. Perutnya kembung dan menjelang ajal ia muntah darah. Berita kematian Syamsuri yang dibawa oleh Makmur itulah yang membuat geram para perantau itu. Tapi benarkah Kapi mempunyai ilmu teluh yang disebut lebon waluh ireng di daerah itu? "Bukti nyatanya tak ada. Yang jelas bapak menjadi imam musala secara rutin," kata Kusnadi. Tapi eksekusi yang dilaksanakan hanya berdasarkan dugaan itu telah terlanjur terjadi. Toriq Hadad dan Bandelan Amarudin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus