SUARA takbir menyambut Idul Adha terdengar bersahut-sahutan di Kampung Gunungkembang, Pagelaran, Cianjur, Jawa Barat. Esok penduduk akan membantai kurban. Tapi sejumlah warga justru mengintai kurban yang lain: Jaja bin Dahrim -- yang dicurigai penduduk sebagai tukang teluh. Ketika warga itu mengendap-endap mendekati rumah korban, Jaja, orang yang dicari, justru sedang mengaji. Jaja mungkin tak menyangka kajinya akan tamat pada Senin malam pekan lalu itu. Tapi ia, seperti diceritakan keluarganya, tahu ada orang yang mengintai rumahnya. Maka, ketika dua bayangan berkelebat di balik gedek dinding rumahnya, ia langsung berhenti mengaji. "Mau ngapain kalian," teriaknya. Tiba-tiba hening. Tak lama kemudian, terdengar kresek-kresek suara orang lari. Buru-buru Jaja keluar rumah. Tapi pengintai lenyap ditelan gelapnya malam. Setelah itu Jaja masuk ke rumah, dan mengaji lagi. Waktu menunjukkan pukul 20.30 ketika Rohina, istri Jaja, menyambangi suaminya. "Ada apa, Pak," tanya Rohina. "Nggak ada apa-apa, cuma seperti ada orang lari," jawab Jaja. Kakek seorang cucu, meski usianya baru 42 tahun, itu lantas menutup Quran yang dibacanya, dan kemudian bergolek di tikar. Tapi, belum sempat matanya terpejam tiba-tiba terdengar suara benda jatuh di samping rumahnya. Jaja keluar lagi. Kali ini, yang dijumpainya sebuah batu sebesar kelapa. Lalu sepi lagi. Jaja yang berusaha menyigi ke sekeliling rumahnya tak melihat apa-apa. Merasa tak ada apa-apa, Jaja masuk lagi ke rumah. Baru sebelah kakinya masuk ke rumah, terdengar lagi gedebuk batu jatuh. Jaja melompat ke halaman. Di bukit dekat rumahnya, Jaja melihat dua orang tetangganya, Samhud dan Nana. "Ngapain kamu melemparin batu," katanya. Tapi Nana bukan menjawab pertanyaan Jaja. "Kami sedang ronda," ujarnya. Perang mulut akhirnya tak terhindari. Tetangga lain diam saja. Lalu muncul Kandi, juga tetangga Jaja, dan mencoba melerai pertengkaran ketiga orang itu. "Kalau begini terus nggak selesai. Ayo, ke punduh (kepala kampung) saja. Kita selesaikan di sana," kata Kandi seraya menyuruh memanggil petugas hansip. Tak lama kemudian, muncul anggota hansip yang dipanggil: Turi. Sementara itu, tetangga lain ikut mengerubungi Kandi, Jaja, Samhud, dan Nana. Mereka: Tarji, Maman, Ahmad, dan Asum. Karena tak juga dicapai kata sepakat, Turi mengajak mereka yang bertengkar ke rumah Kepala Kampung. Jaja setuju. Jaja, yang hanya memakai sarung, celana pendek, dan kaus hitam, mengikuti Turi ke rumah Sutar. Rohina, yang mencemaskan nasib suaminya, langsung menyuruh menantunya, Misran, menyusul. "Ikuti bapakmu, saya khawatir terjadi apa-apa," kata Rohina. Tahu ada ramai-ramai, dalam perjalanan ke rumah Sutar, bergabung pula Royani, Midin, dan Herman. Sementara itu, Kandi berjalan di belakang dari jarak sekitar 30 meter. Di tengah perjalanan, mulut usil bercelotehan terhadap Jaja -- bahkan di antaranya ada yang bernada menuduh. "Hei, tukang teluh, jangan macam-macam di kampung ini, ya," ujar Nana. Mendengar umpatan Nana itu, Jaja langsung naik pitam, dan bergerak untuk memukul Nana. Tapi belum sempat tangan Jaja melayang, sepotong kayu di tangan Samhud langsung mendarat di jidat kakek itu. Ia hanya sempat mengaduh, dan kemudian roboh. Hansip Turi mencoba melerai. Tapi ia didorong beramai-ramai oleh pengiring. "Jangan ikut campur," sergah mereka. Setelah itu, mereka menghajar Jaja lagi hingga babak Helur. Melihat darah keluar dari hidung dan mulut Jaja, Misran langsung pingsan. Kandi lari pulang ke rumah, dan langsung tidur karena ketakutan. Tapi pengeroyok justru seperti orang kesurupan. Mereka mencopot sarung Jaja, dan kemudian mempergunakannya untuk menyeret korban ke hutan bambu, yang berjarak sekitar 1,5 km dari tempat kejadian. Ternyata, di hutan bambu itu telah siap lubang berdiameter 50 cm dengan kedalaman 80 cm. Tiba di sana, Jaja sudah dalam keadaan sekarat. Lalu terdengar suara dari seorang pengiring: "Potong kemaluannya. Di situ kekuatan teluhnya." Entah siapa yang jadi algojo, tahu-tahu alat kelamin Jaja sudah terpenggal. Ketika Jaja dalam keadaan sekarat pengeroyok mengangkat tubuh korban, dan kemudian memasukkannya ke lubang dengan posisi kepala ke bawah. Karena lubang tak dalam, kaki Jaja menjulur ke atas. Tapi pengeroyok tak kurang akal: kaki itu mereka tekuk -- dan tentu saja patah. Setelah itu, lubang tempat menanam korban mereka timbuni dengan daun, dan kemudian diuruk dengan tanah. Seusai salat Idul Adha, sekitar pukul 9.30, lubang maut di hutan bambu itu ditemukan keluarga Jaja. Sorenya, jasad korban dikuburkan di pemakaman umum. Beberapa jam kemudian, polisi menahan 15 warga Kampung Gunungkembang. Esok paginya, seorang tersangka pengeroyok, Midin, menyerahkan diri ke polisi. Ia membantah mencoba melarikan diri. "Kemarin, saya lagi nganterin obat buat keluarga istri saya di desa lain," katanya. Ternyata, orang-orang yang ditahan itu tak menyulitkan polisi. Samhud, menurut polisi, mengaku terus terang merencanakan pembunuhan itu sejak beberapa waktu lalu -- setelah beberapa warga Kampung Gunungkembang jatuh sakit gara-gara berselisih mulut dengan Jaja. Mengenai dipilihnya Senin malam itu sebagai saat untuk mengeksekusi Jaja, menurut Samhud, entah benar atau tidak, malam tersebut merupakan hari sial tukang teluh. Betulkah Jaja tukang teluh? Tak ada penduduk Kampung Gunungkembang bisa memastikan. Mereka cuma menduga-duga musibah yang menimpa mereka dengan kejadian sebelumnya. "Sebelum istri saya meninggal, saya bertengkar dengan Jaja," ujar Kandi. Mei lalu, cerita Kandi, ia menjual genting kepada Jaja. Tapi tak pernah dibayar. Setiap ditagih, Jaja selalu mengelak. Lalu mereka ribut. Dua hari setelah pertengkaran itu, leher istri Kandi mendadak sakit, dan kemudian menjalar ke dadanya. Tiga hari berselang, istri Kandi meninggal. Warga lain yang juga mencurigai Jaja tukang teluh adalah Uep. Keduanya pernah ribut mulut gara-gara tukar tambah kebun dengan mesin jahit. Suatu hari, Jaja menjual secara tukar tambah sebidang kebunnya dengan sebuah mesin jahit milik Uep. Entah bagaimana, setelah mesin jahit ada di rumah Jaja, tiba-tiba Uep membatalkan kesepakatan itu sehingga Jaja marah besar. Uep, menurut Rohina, menginginkan mesin jahit itu lagi, tapi Jaja menolak mengembalikannya. "Mesin jahit itu jangan di ke mana-manakan. Nanti saya tebus lagi," kata Uep. Tak puas dengan penolakan itu, Uep mengingatkan lawannya jika dirinya sakit nanti setelah mereka bertengkar pasti akibat teluh dari Jaja akan dilaporkannya ke polisi setiap ada warga Kampung Gunungkembang terkena penyakit "aneh", cerita Rohimah, tak pelak lagi Jaja dituding sebagai penenungnya. "Tuduhan itu tak berdasar. Itu fitnah saja," ujar Rohina. Setelah dua hari dikuburkan, mayat Jaja digali untuk divisum. Sabtu pekan lalu, jenazah tersebut dikuburkan kembali. Sementara itu, dari 15 warga Kampung Gunungkembang yang diperiksa polisi, setelah dua hari di tahanan, sebanyak enam orang yang tak terbukti ikut menganiaya korban dibebaskan. Mereka yang dibebaskan, di antaranya, Kandi dan Misran. Sedangkan mereka yang masih mendekam di sel tahanan Polres Cianjur adalah Samhud, Nana, Tarji, Ahmad, Asum, Herman, Maman, Midin, dan Royani. Jaja telah mati. Sejumlah tersangka pembunuh telah ditahan. Tapi isu tukang teluh di Kampung Gunungkembang belum akan terkubur bersama korban. Widi Yarmanto (Biro Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini