Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Terbunuhnya pengusaha tambak

Budi santoso,pengusaha tambak,bersama istri,anak dan pembantunya dibunuh di desa dauh waru,jembrana. pelakunya masri, sa'i, ho dan chi sing mengaku suruhan hanjoyo. tapi hanjoyo membantah.

14 Juli 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUJAN tengah malam itu membuat warga Desa Dauh Waru, Jembrana, segan keluar rumah. Tapi Masri, Sa'i dan Ho, justru berhujan-hujan ke rumah Budi Santoso. Tiba di rumah yang dituju, Ho mengetuk pintu, dan dibukakan Chi Sing, salah seorang penghuni. Setelah menyuruh Sa'i menunggu di ruang tamu, Ho dan Chi langsung ke kamar belakang. Tiba-tiba Nyonya Budi Santoso keluar dari kamarnya menuju ke ruang tamu. Kehadiran nyonya rumah itu langsung disambut Sa'i dengan getokan batu beton di kepala, dan ibu satu anak tersebut langsung terhuyung. Lalu Sa'i menghunjamkan pisaunya di leher korban, dan korban tewas seketika. Suara gaduh di ruang tamu itu membuat Budi terbangun. Tapi belum sempat tuan rumah itu berdiri, Sa'i -- yang sudah masuk di kamar tidur korban -- langsung menerkamnya. "Lehernya saya sembelih hingga nyaris putus," kata Sa'i. Setelah itu, Saui kembali ke ruang tamu. Ternyata, Chi dan Ho -- yang baru saja menghabisi nyawa Ni Ketut Tantri, pembantu di rumah itu -- sudah ada di situ. Tiba-tiba Ayub (anak tunggal Budi), 2 tahun, terbangun dan menuju ruang tamu sembari menangis. Chi langsung memelintir kepala keponakannya itu, dan anak itu tewas seketika. Semua berlangsung cepat. Setelah itu, ketiganya langsung menghambur ke luar. Sa'i kecewa ketika tak menjumpai Masri, yang menunggu di teras. Padahal, kata Sa'i lebih lanjut, Masri telah menjanjikan upah Rp 2 juta untuk keempat nyawa di rumah keluarga pengusaha tambak tersebut. Sa'i pulang ke desanya, Rogojampi, Banyuwangi, dengan kesal. Empat hari setelah pembantaian, seorang tetangga mencium bau busuk yang menyengat dari rumah Budi, dan melaporkannya kepada Ketua RT setempat. Mereka kaget ketika menemukan keempat mayat membusuk itu. "Semula saya tak curiga, karena keluarga itu sering bepergian," kata seorang tetangga almarhum. Hasil visum dokter memperkirakan pembunuhan terjadi 27 April 1989 dini hari. Kalau saja Hanjoyo, adik Budi, tak menerima sepucuk surat tanpa identitas pengirim, yang kemudian diserahkannya kepada Polres Jembrana, barangkali polisi menemui banyak kesulitan dalam menyingkap tabir pembunuhan tersebut. Dari surat kaleng itu, polisi mendapat nama Sa'i dan kedua temannya. Melihat bentuk tulisan, polisi mencurigai Masri sebagai pengirim surat. Ketika diperiksa polisi, 18 Juni lalu, ia mengakui perbuatannya. Dua hari setelah Masri ditangkap, menyusul Sa'i. Sedangkan Ho dan Chi tertangkap akhir Juni lalu. Keempat tersangka mengaku membunuh Budi sekeluarga atas suruhan Hanjoyo. Ceritanya: Hanjoyo bertekad menghabisi Budi, yang dinilainya sudah banyak menghabiskan uang keluarga untuk usaha tambak di Jembrana, tapi belum kelihatan hasilnya. Hanjoyo, bungsu dari 10 bersaudara, mencurigai uang keluarga tersebut dihabiskan kakaknya untuk foya-foya. Ia lalu menyuruh Masri, buruh tambak kakaknya, mencari pembunuh bayaran ke Rogojampi. Masri, entah siapa memberi tahu, menemui Sa'i, calo barang-barang antik di Pasar Banyuwangi. Setelah diiming-iming dengan bayaran Rp 2 juta, Sa'i menyatakan kesanggupan menghabisi keluarga Budi. "Saya tergiur karena saya perlu uang untuk menghidupi keluarga." katanya. Lalu Sa'i, bapak enam anak, berangkat ke Dauh Waru, dan ditunggu Masri di terminal. Ikut kemudian bersama mereka: Ho. Motif ketiga tersangka pembunuh, menurut polisi, bukan perampokan. Tak satu pun harta keluarga Budi yang mereka sabet. Betulkah Hanjoyo dalang pembunuhan yang dilakukan Sa'i dan kawannya? Menurut polisi, Hanjoyo ditangkap karena pengaduan Masri. Ia diduga, selain otak pembunuhan, juga sebagai konseptor surat kaleng tadi. "Dari hasil pemeriksaan, ada tanda-tanda dia mau mengaku," kata polisi. Hanjoyo membantah tegas tuduhan yang dialamatkan kepadanya. "Saya ini belum gila, Mas. Masa saya tega membunuh kakak sendiri," katanya. "Saya ingin membantu polisi dengan memberikan surat kaleng itu, kok malah balik dituduh." Gatot Triyanto dan Joko Daryanto (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus