Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Gagal Hentikan Konsolidasi MIT, Pemerintah Diminta Evaluasi Satgas Tinombala

Khairul mempertanyakan ribuan personil TNI-Polri yang sudah diterjunkan bertahun-tahun di Satgas Tinombala

2 Desember 2020 | 06.18 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar
Seorang anggota polisi berjaga di sekitar perkampungan warga yang menjadi lokasi penyerangan yang diduga dilakukan kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora, di Dusun Lewonu, Desa Lemban Tongoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Selasa, 1 Desember 2020. Hingga kini, aparat TNI dan Polri yang tergabung dalam Satgas Tinombala terus berupaya melakukan pengejaran untuk menangkap para pelaku. ANTARA/Rahman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai pemerintah perlu mengevaluasi kinerja Satuan Tugas Operasi Tinombala atau Satgas Tinombala.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Yang kita pertanyakan efektivitas dari operasi Tinombala yang digelar 4 tahun lebih," kata Khairul dalam diskusi di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa, 1 Desember 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Khairul mempertanyakan ribuan personil TNI-Polri yang sudah diterjunkan bertahun-tahun memburu kelompok Mujahidin Indonesia Timur yang jumlahnya tidak sampai 20 orang, tetapi tidak selesai. "Apa hanya kendala medan, sarana dan prasarana?" kata dia.

Menurut Khairul, kemunculan Kelompok MIT yang ditengarai sebagai dalang insiden pembunuhan satu keluarga dan pembakaran rumah ibadah di Lembantongoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, menandakan bahwa Satgas Tinombala gagal menghentikan konsolidasi dan eksistensi MIT.

Mestinya, kata dia, Satgas Tinombala memanfaatkan krisis kepemimpinan Mujahidin Indonesia Timur sewaktu pimpinannya, Santoso dibunuh dan Basri ditangkap. "Mereka tercerai berai dan itu waktu yang sangat menguntungkan operasi ini sebenarnya untuk bergerak lebih maksimal sebelum mereka berhasil melakukan konsolidasi lagi," katanya.

Apalagi, Khairul mengaku sempat khawatir ketika Satgas Tinombala sempat hibernasi dan akhirnya mengakibatkan organisasi MIT bisa berkonsolidasi dan kembali eksis. Hal itu pun terbukti dalam kasus di Lembantongo yang terjadi Jumat pekan lalu itu.

"Artinya dengan jumlah yang sangat kecil, mereka kembali menjalankan aksinya, meski kita sudah mencoba memutus jalur suplai logistik dan sumber daya. Nyatanya mereka tetap survive," ujarnya.

Meski begitu, Khairul menyatakan tak perlu berdebat soal Perpres pelibatan TNI dalam penanganan terorisme. Yang perlu dilakukan sekarang adalah menyiapkan skema yang tepat untuk menyelesaikan masalah MIT yang sudah berlarut-larut. Sebab, tanpa Perpres TNI tangani terorisme, koordinasi penegakan hukum dan kedaulatan masih bisa berjalan seperti Satgas Tinombala.

"Peraturan didiskusikan saja terus sampai ketemu formula yang pas. Jangan sampai operasi memburu para pengganggu keamanan ini terhambat," kata Khairul.

FRISKI RIANA

Friski Riana

Friski Riana

Lulus dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana pada 2013. Bergabung dengan Tempo pada 2015 di desk hukum. Kini menulis untuk desk jeda yang mencakup isu gaya hidup, hobi, dan tren. Pernah terlibat dalam proyek liputan Round Earth Media dari International Women’s Media Foundation dan menulis tentang tantangan berkarier para difabel.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus