Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Ganja dicari, emas dirampok ganja dicari, emas dirampok

3 oknum ABRI: serda Winando Sianipar, Serda Julianer Sinaga, Serda Hannas Subarkati divonis penjara oleh Mahmilti Sumatera Utara terbukti melakukan percobaan perampokan, pembunuhan dan desersi.

12 Maret 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA bintara TNI Angkatan Darat, Serda. Winando Sianipar, Serda. Hannas Subarkati, dan Serda. Julianer Sinaga, Senin pekan lalu, dinyatakan Mahkamah Militer Sumatera Utara terbukti telah melakukan percobaan perampokan, pembunuhan, dan desersi. Sebab itu, Winando dan Hannas, selain dihukum masing-masing 5 dan 3 tahun penjara juga dipecat mahkamah dari dinas ABRI. Sedangkan Julianer, yang dalam kejahatan itu dianggap berperan kecil, hanya diganjar 6 bulan penjara tanpa pemecatan. "Mereka telah menodai Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Karena itu, tidak layak lagi di kedinasan ABRI," kata ketua majelis, Letkol. Kusnindar. Winando, 32 tahun, yang dianggap mahkamah sebagai otak komplotan itu, tidak bergeming mendengar vonis majelis. Ia tetap tegak di tempatnya dengan kepala mendongak ke atas. Kedua rekannya, Hannas, 31 tahun, dan Julianer, 29 tahun, tertunduk kuyu dan sekali-sekali menyeka air matanya. Malam itu, 3 Juni 1986, sekitar pukul 10 malam, sebuah mobil pikap BK 1624 yang dikemudikan Dasuki terseot-seot dalam perjalanan dari Tapaktuan, Aceh Selatan, menuju Medan. Pemilik mobil, Dedy Suwanto, 27 tahun, mengantuk duduk di sampingnya. Di Desa Sidiangkat, Sidikalang, sekitar 200 km sebelum sampai di Medan, empat lelaki, bagai polisi, menyetop kendaraan itu. Mendadak Dasuki menginjak rem. Salah seorang dari keempat orang, yang menghadang pikap itu, memakai sebo (penutup kepala penahan dingin), membentak Dasuki. "Tunjukkan surat-suratmu," kata orang itu, yang belakangan diketahui bernama Walden Sinaga, 31 tahun, preman Sidikalang. Ketiga temannya tak lain dari ketiga oknum bintara tadi. Deddy segera menunjukkan surat mobilnya. Walden dan ketiga temannya tampak kecewa karena surat mobil itu ternyata lengkap. Tapi Walden belum kehabisan akal. Kali ini, ia membentak lebih keras. "Kalian bawa ganja, ya?" Dasuki dan Dedy, keduanya keturunan Cina, saling memandang. "Tidak," kata Dasuki. Tinju Walden segera melayang menghajar wajah sopir itu. Berikutnya, Dedy mengalami nasib serupa. Mereka disuruh Walden mengaku telah membawa ganja. Setelah puas menghajar pesakitan, komplotan itu kemudian memeriksa seluruh isi mobil. Di jok belakang mobil, mereka menemukan sebuah tas kecil, milik Dedy, yang pedagang mebel. Isinya dua batang emas lantakan, masing-masing 1OO gram, dan uang Rp 2,1 juta segera dikuras kawanan tadi. Mereka juga melucuti kantung Dasuki, yang berisi uang Rp 300 ribu, berikut jam tangan sopir itu. "Ini hasil penjualan ganja kalian, ikut kami ke kantor," kata Walden, walau tak selembar daun ganja pun dijumpai di mobil itu. Kedua orang lelaki malang itu kemudian digiring komplotan tadi kembali ke mobil. Julianer di belakang kemudi, Hannas dan Winando menjaga pesakitan. Sementara itu, Walden dengan sepeda motor menguntit kendaraan itu dari belakang. Setelah berjalan sekitar 8 km, mobil itu berhenti di sebuah tempat pembuangan sampah. Di tempat itu, karena tetap tidak mengaku pedagang ganja, kedua korban dipukuli lagi. Kedua orang itu hanya bisa menangis. "Minta tolong pun tak ada gunanya," kata Dedy kepada TEMPO. Tempat itu memang sepi dan tak berpenduduk. Menurut Oditur Mayor Subiranto, di tempat itu, Winando menawarkan perdamaian. Kedua emas lantakan itu untuk mereka, semua uang dikembalikan ke korban. Tawaran itu ditolak. "Kami hanya rela Rp 100 ribu," kata Dedy. Winando menolak usul itu. Karena tidak ada kecocokan, kata Subiranto, timbul niat Winando menghabisi kedua korban. Ia memerintahkan Julianer membawa Dedy dan Dasuki ke jembatan Lau Renun, kira-kira 2 km dari tempat tadi. Kemudian Hannas memerintahkan Dedy terjun dari jambatan ke sungai. Dedy tentu saja ketakutan karena di bawah Jembatan penuh batu-batu besar. "Kalau terjun, risikonya mati," kata Dedy di persidangan. Tapi komplotan itu memaksa. Dedy mencoba berpegang erat-erat ke besi Jembatan ketika Hannas dan Walden menariknya agar jatuh. Lama-lama tenaga lelaki muda itu habis, dan tubuhnya terjungkal menuju dasar sungai. Dasar belum ajal, ketika tubuhnya melayang, tangannya sempat menyentuh rangka-rangka besi di bawah jembatan. Dia memegang besi, sementara kakinya terayun-ayun. Ia selamat. Setelah tahu Dedy selamat, "entah mengapa saya jadi takut," kata Hannas. Ia meminta Winando menghentikan perbuatan itu. Dedy kembali diangkat ke mobil dan dibawa menuju Sidikalang. "Kami belum tahu rencana Winando selanjutnya," kata Hannas. Tapi di tengah perjalanan, ketika para pengawalnya lengah, Dedy dan Dasuki melompat. Dan kabur ke tengah kerumunan orang yang sedang melayat. "Rampok, rampok," teriak Dedy. Penduduk mengamankan kedua orang itu dan di subuh itu juga menyerahkan mereka ke Polsek setempat. Setelah itu satu per satu anggota komplotan itu digulung yang berwajib. Ketiga bintara tadi diseret ke mahkamah militer sementara rekannya, Walden, April 1987, divonis Pengadilan Negeri Sidikalang 5 tahun penjara. Menurut Hannas, di sidang, sebenarnya malam itu mereka diajak Winando menangkap penjudi di Desa Sidiangkat dengan harapan mendapat sogokan. Tapi sial, bagi mereka, tak ada orang berjudi. Akhirnya, mereka berlagak sebagai polisi lalu lintas, menyetop kendaraan yang melintas di sana. Lagi-lagi sial, merek cuma disuap Rp 2.500,00 oleh tiga orang sopir yang lewat. Ketika itulah Dasuki dan Dedy lewat, dan malapetaka menunggunya. Winando di sidang mengakui kesalahannya. "Saya butuh uang membeli obat istri saya yang sakit paru-paru basah," kata Winando. Begitu pula komplotannya. Mereka menyesal. Hannas, misalnya, sampai-sampai mencium kaki Dedy di sidang untuk memohon maaf dari korban. Tapi tindakan mereka rupanya tidak termaafkan oleh majelis. Sapta Marga dan Sumpah Prajurit memang harus tegak. Monaris Simangunsong & Mukhlizardy Mukhtar (Biro Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus