GAGASAN agar hakim tidak lagi berada di bawah dua instansi - "perutnya" di Departemen Kehakiman dan "kepalanya" di Mahkamah Agung - Rabu pekan lalu dijawab tuntas Menteri Kehakiman Ismail Saleh dalam bentuk pengajuan dua rancangan undang-undang. Dalam dua RUU, tentang Mahkamah Agung dan Peradilan Umum, selain dipertahankan sistem yang lama juga ditegaskan bahwa hakim adalah pegawai negeri. Menurut Ismail Saleh, selain pegawai negeri, hakim juga penegak hukum. "Dalam kedudukannya sebagai pegawai negeri, seorang hakim adalah abdi negara dan abdi masyarakat. Sedangkan sebagai penegak hukum, hakim adalah abdi hukum dan pemutus keadilan," ujar Ismail Saleh, dalam sidang yang dipimpin wakil ketua DPR Kharis Suhud. Namun, kata bekas jaksa agung itu, kekuasaan kehakiman yang merdeka tetap dijamin. "Artinya, kekuasaan kehakiman itu adalah kekuasaan yang terlepas dari kekuasaan pemerintah sebagaimana diamanatkan UUD 45," katanya. Sebab itu, ketentuan lama dari undang-undang 13/1965, yang mengizinkan presiden mengintervensi proses persidangan, dihapuskan oleh RUU ini. Kecuali itu, Menteri Ismail Saleh menggarisbawahi beberapa kemajuan dari rancangan barunya itu. Antaranya, ketentuan tentang jabatan hakim - termasuk hakim agung - sebagai hakim karier. Padahal, menurut undang-undang lama, seorang hakim hanya disyaratkan mempunyai pengalaman 10 tahun dalam bidang hukum. Itu sebabnya di Mahkamah Agung, kini, beberapa anggota berasal dari luar jajaran kehakiman. Reaksi, mudah diduga, bermunculan menyusul pengajuan kedua RUU itu. Peradin, salah satu organisasi advokat, akhir Agustus lalu menyambut RUU itu dengan sebuah diskusi panel. Selain mempersoalkan kebebasan hakim, para advokat itu merasa - jika RUU itu diundangkan apa adanya - kebebasan profesi mereka akan dikebiri. Sebab selain pengawasan oleh Mahkamah Agung, dalam RUU baru itu dicantumkan pengawasan para penasihat hukum dilakukan juga oleh ketua-ketua pengadilan negeri. Ketua umum Peradin, Harjono Tjitrosoebono, menilai bahwa dalam RUU itu terlihat peranan Mahkamah Agung semakin kecil sebagai pengawas hakim. Sebab, selain berwenang melakukan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan, Menteri Kehakiman juga berhak mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian hakim. Padahal, menurut undang-undang yang lama, Mahkamah Agunglah yang berhak mengusulkan pemecatan hakim. "Habis sudah peranan hakim yang bebas dan merdeka," tambah Harjono. Rekannya, Adnan Buyung Nasution, pun berkata senada, "Struktur hakim dengan dua induk itu tidak bisa dibiarkan kalau kita memang mau memperbaiki kesalahan Orde Lama." Alasannya, tidak seorang manusia pun, termasuk hakim, yang bisa memisahkan antara kepala dan perutnya. "Kalau kedua hal itu dicampuradukkan, kita tidak akan pernah mencapai kekuasaan kehakiman yang merdeka," tambah Buyung. Sebab itu pula, baik Buyung maupun Harjono mengkhawatirkan penyerahan wewenang pengawasan pengacara kepada hakim yang tegas-tegas dinyatakan sebagai pegawai negeri. Bukan hanya para pengacara yang berpendapat demikian. Organisasi hakim, Ikahi, Mei lalu mengagetkan banyak pihak ketika muncul di DPR menuntut agar jajaran hakim tidak lagi diurus dua instansi seperti selama ini. "Sebaiknya soal administrasi, organisasi, dan finansial hakim diurus Sekretariat Negara - seperti lembaga nondepartemental lainnya," ujar ketua Ikahi, Soed jadi, ketika itu. Kecuali soal induk, dalam kesempatan itu juga Ikahi menuntut agar hakim tidak lagi berstatus pegawai negeri, tapi "pejabat negara" sebagaimana anggota DPR. Tuntutan itu, menurut Ikahi, erat pula hubungannya dengan kebebasan hakim. Sebab, kata pimpinan organisasi itu, pengawasan bagi hakim di daerah sekarang ini menjadi simpang siur setelah terbentuknya kanwil-kanwil (kantor wilayah) departemen kehakiman, di samping pengadilan tinggi yang sudah ada sebelumnya. Kecuali itu, Ikahi melihat ada pibak-pihak yang mencoba mengusut, bila seorang hakim membebaskan atau menghukum berat seorang terdakwa (TEMPO, 8 Juni). Suara lantang Ikahi itu segera reda setelah ketua Mahkamah Agung Ali Said menganggap aneh tuntutan itu. Bahkan pimpinan Ikahi meminta maaf setelah merasa "kelepasan" kata. Persoalannya, kini, benarkah kebebasan hakim terhalang bila urusan perutnya ditangani Departemen Kehakiman. BEKAS ketua Mahkamah Agung (1966-1968), Soerjadi, membenarkan bahwa dualisme dalam pembinaan peradilan itu menimbulkan banyak kesulitan di dalam penyelenggaraan peradilan. Selain itu, ia mengkritik kata "membina" dalam RUU. "Kata-kata itu, dalam pelaksanaannya, muda menjurus ke arah campur tangan secara tak langsung atau terselubung," ujar Soerjadi. Bekas petinggi hukum itu juga tidak setuju dengan ketentuan hakim itu harus pegawai negeri. "Yang penting, hakim itu harus mempunyai kemampuan profesional, kepribadian, dan moral yang tanpa cacat," ujar Soerjadi. Sebaliknya, ketua Mahkamah Agung (1968-1974) Soebekti justru menganggap tepat hakim-hakim itu berada di dua atap. "Agar ada imbangan. Yang penting, hakim masih bisa mandiri," katanya. Guru besar berbagai perguruan tinggi ini juga tidak berkeberatan dengan ditetapkannya hakim sebagai pegawai negeri. "Itu tidak soal. Hakim agung, misalnya, walau pegawai negeri 'kan diangkat DPR. Jadi, tidak mungkin dipecat menteri kehakiman," tambahnya. Ia juga tidak khawatir terjadi campur tangan eksekutif dalam tugas-tugas peradilan. "Itu baru satu kemungkinan. Kemungkinan itu bisa tidak terjadi bila hakim mempunyai integritas dan keberanian," ujar Soebekti. Guru besar tata negara Universitas Padjadjaran di Bandung, Sri Sumantri, sependapat dengan Soebekti. Keberanian semacam itu, menurut Sumantri, sudah diperlihatkan hakim-hakim selama ini. Contohnya, kata Sumantri, adalah vonis bebas dari Pengadilan Tinggi Jawa Barat dalam kasus Joni Sembiring yang kontroversial baru-baru ini. Karni Ilyas Laporan Biro Jakarta dan Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini