JUMAT pagi pekan lalu, di Jalan Ganeca, Bandung, banyak orang tertegun. Sekitar 100 mahasiswa ITB meneriakkan yel-yel "Hidup ITB", sementara yang lain menyanyikan lagu Halo-Halo Bandung. Puluhan poster bermunculan. Di antaranya memuat tulisan mirip judul film: Oh, Rektor, Secangkir SK Pahit Cermin Janji Palsumu Saat-saat SK Berbaring diDadaku Maju SK, Mundur SK, Diam juga SK. Dengan tertib mereka berjalan menuju kantor rektor di Jalan Tamansari - yang hanya berjarak kurang dari 1 km. Mereka bermaksud meminta penjelasan mengenai penundaan pelayanan akademis kepada 34 mahasiswa dari berbagai jurusan yang menyelenggarakan Orientasi Studi. Akhirnya, rektor ITB, Hariadi Soepangkat, menerima 14 wakil mereka selama satu jam. Tapi Hariadi tetap pada pendiriannya: Melarang Orientasi Studi dan tetap menjatuhkan sanksi akademis. Ceritanya bermula awal Agustus lalu. Pada awal tahun kuliah baru itu, lebih dari separuh himpunan jurusan (ada 22 jurusan di ITB) menyeleng-garakan acara penerimaan mahasiswa baru. Orientasi Studi itu sebenarnya sudah dilarang sejak 1978, ketika konsep Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) diterapkan. Maka, beberapa himpunan pun menyelenggarakan Orientasi Studi di luar, misalnya di Taman Ganeca, persis di depan hidung kampus. Sampai tahun lalu, kegiatan seperti itu masih tampak. Tapi tahun ini agaknya pimpinan ITB lebih ketat. Sabtu 10 Agustus lalu, misalnya, Rektor turun tangan membubarkan sendiri acara Orientasi Studi yang sedang berlangsung di sebuah kawasan terbuka di belakang kampus, tak jauh dari rumah makan Babakan Siliwangi. "Rektor meminta kartu tanda mahasiswa, baik dari panitia Orientasi Studi maupun yang sekadar menonton, dan menyuruh mereka bubar," tutur Ridwan Djamaluddin, ketua pelaksana Orientasi Studi Himpunan Mahasiswa Geologi tahun ini. "Padahal, kami melakukan acara Orientasi Studi itu di luar kampus dan pada saat libur pula," tambah mahasiswa geologi angkatan 1982 itu. Setelah tindakan Rektor membubarkan Orientasi Studi di Babakan Siliwangi itu, masih ada beberapa himpunan jurusan yang terus menyelenggarakan kegiatan yang sama. Akhirnya, Hariadi Soepangkat menjatuhkan sanksi akademis terhadap 34 mahasiswa tadi. Sanksi akademis itu berupa penundaan pengambilan dan pengisian formulir rencana studi (FRS) untuk semester I tahun ajaran 1985/1986, yang dijadwalkan 27-31 Agustus pekan lalu. "Sanksi itu berlaku sampai mereka secara pribadi minta maaf," kata seorang mahasiswa mengutip sikap Rektor. Hariadi Soepangkat sendiri enggan menyatakan sikapnya secara terbuka kepada TEMPO. Setelah sanksi jatuh, upaya Forum Ketua Himpunan Jurusan untuk menemui Rektor, setidaknya sampai dua kali, tidak berhasil. Itu sebabnya mereka lantas ke Jakarta menemui Menteri P & K, Rabu pekan lalu. "Kami bermaksud menemui Menteri P & K bukan untuk mengadu. Sanksi Rektor ITB hanya sebagai titik tolak saja untuk membicarakan masalah kemahasiswaan secara luas," kata Wisnubroto, salah seorang rombongan yang gagal bertemu dengan Menteri itu. Yang dimaksud dengan masalah kemahasiswaan secara luas itu antara lain: kegiatan ekstrakurikuler yang dewasa ini dikesampingkan. "Perguruan tinggi merupakan wadah pembentukan watak, seperti kepekaan terhadap masalah kemasyarakatan. Karena itu, kegiatan ekstrakurikuler mutlak dalam proses pendidikan. Dan eksistensi himpunan jurusan merupakan pendukung kegiatan ekstrakurikuler itu," kata Wisnu lagi. Sekalipun tak ada komentar dari pihak Rektor, protes mahasiswa ITB ini, menurut Arifin Wardiman, dosen senior yang pernah menjadi ketua Badan Masalah Kemahasiswaan (kini disebut Purek Bidang Kemahasiswaan), tak perlu terjadi. "Sanksi akademis itu saya nilai benar. Dalam suatu lembaga pendidikan, ada hal yang boleh dilakukan ada yang tidak. Orientasi Studi di luar kampus itu toh tetap membawa nama ITB. Sementara itu, mahasiswa yang menuntut kelonggaran ekstrakurikuler juga benar. Masalahnya hanya karena kurangnya komunikasi. Dialog tak resmi antara mahasiswa dan pimpinan ITB saya lihat kurang dimanfaatkan," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini