Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Dilema sekolah guru

Sejarah berdirinya ikip dan sistem perkuliahan di ikip yang belum pas-belum memenuhi kebutuhan tenaga guru. ikip jakarta mencoba menyempurnakan kurikulum. (pdk)

7 September 1985 | 00.00 WIB

Dilema sekolah guru
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
IKIP Jakarta menyempurnakan kurikulum. Mulai semester ganjil tahun ini, awal September, kurikulum yang disempurnakan mulai diterapkan. "Sebelum meningkatkan kualitas SMP dan SMA, sebagai sumber pendidikan guru sekolah menengah, IKlP-lah yang sebenarnya perlu ditingkatkan mutunya terlebih dahulu," kata Jujun S. Suriasumantri, 45, pembantu rektor bidang akademis IKIP Negeri Jakarta. Jujun jelas-jelas menyarankan bahwa IKIP semestinya menghasilkan guru. Tapi itulah, dilema IKIP sejak beberapa saat ini: mencetak guru ataukah ilmuwan. Sejarah pendidikan tinggi guru sendiri tampaknya mencerminkan hal itu. Mula-mula berdiri PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) di Bandung, 1954. Pendirinya antara lain Prof. H. Soetan Adam Bachtiar, ayah Harsja Bachtiar, kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan Departemen P & K. Beberapa tahun kemudian lembaga ini di integrasikan ke universitas dan disebut Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Muncul persoalan, ketika Departemen P & K (waktu itu bernama Kementerian Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan) pecah menjadi dua: Kementerian Pendidikan Dasar dan Kebudayaan, dan Kementerian Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan. Sebagai lembaga perguruan tinggi, FKIP, yang mencetak guru untuk sekolah menengah, harus ikut siapa? Maka, muncullah keputusan presiden. FKIP dijadikan institut berdiri sendiri dengan nama Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). Menurut Harsja Bachtiar, perkembangan IKIP kemudian agak menyimpang. Kemudian IKIP, dalam upaya mendapatkan pengakuan akademis, berkiblat ke universitas. Akibatnya, kecenderungan lulusan IKIP untuk tak menjadi guru makin besar. Sudah bukan rahasia lagi bahwa sebagian mahasiswa IKIP pada mulanya tidaklah berniat kuliah di IKIP, apalagi bermaksud jadi guru. "Dulu saya maunya masuk Arsitektur UGM, tapi gagal," tutur Slamet Susanto, 35, mahasiswa IKIP Yogya Jurusan Biologi. Bila akhirnya ia terdampar ke institut keguruan, "Karena ongkos kuliahnya murah, daripada menganggur." Rata-rata, itulah jawaban mahasiswa IKIP. Repotnya lagi, pembagian fakultas dan jurusan yang mirip universitas, menurut Harsja pula, mengakibatkan lulusan jadi kaku. Maksudnya, yang dari Jurusan Biologi harus jadi guru biologi, yang Jurusan Sejarah harus mengajar sejarah. "Padahal, data kebutuhan guru SMA tak terinci sejauh itu," kata Harsja. Akibatnya, karena terpaksa, bisa jadi lulusan Jurusan Biologi IKIP mengajar matematika di SMA. Tidak salah, tapi, tentu saja, ada kurangnya. Yang parah yakni kualitas mahasiswa, dan juga lulusan IKIP, tak siap mengembangkan diri. Jujun Suriasumantri mengatakan, banyaknya mata kuliah membuka kecenderungan mahasiswa hanya menghafal, pengetahuannya jadi dangkal. Mungkin karena Ini, maka agak susah bila lulusan satu jurusan di IKIP harus berbelok sedikit dan menjadi guru bidang studi yang bukan spesialisasinya. Berangkat dari itulah IKIP Jakarta mencoba menyempurnakan kurikulum. Bentuk fisiknya, beberapa mata kuliah yang bisa digabung dijadikan satu. Keuntungannya, menurut Jujun, diperoleh jam kuliah yang panjang, dan penggabungan ini membuang hal-hal yang tidak pokok. Dengan kata lain, "Integrasi mata-mata kuliah lebih mementingkan pada konsepsi-konsepsi," kata Jujun. Yang dituju yakni mahasiswa menguasai metodologi pengetahuan, bukannya cuma menghafalkan ilmu. Yang diharapkan muncul yaitu lulusan yang "punya kemampuan memproses ilmu". Sebab, "Bagaimana seorang guru akan mengajarkan penalaran bila ia sendiri tak menguasainya?" kata Jujun. Maka, untuk melandasi semuanya itu di IKIP Jakarta ditambahkan mata kuliah filsafat ilmu. Dari ini semua diharapkan, misalnya, lulusan IKIP yang jadi guru siap mengembangkan ilmu tak hanya sesuai dengan jurusannya, tapi juga yang dekat dengan jurusan itu. Tampaknya, ini lebih realistis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus