MENTERI Kehakiman Ismail Saleh telah berada di gedung DPR pukul 08.30, atau setengah jam sebelum rencana sidang dibuka, Rabu lalu. Hari itu ia memang mempunyai acara penting: mengajukan dua RUU terpenting untuk jajaran Kehakiman dan Mahkamah Agung. Tapi ia terpaksa menunggu sejam, sebelum mengucapkan pidatonya. Sebab, banyak di antara anggota DPR, bahkan pimpinan, yang muncul setelah lewat pukul 09.00. Selesai pidato, Menteri langsung meninggalkan sidang. Tapi, sebelum kembali ke Departemen Kehakiman, ia menyempatkan diri menerima Eko Yoeswanto dari TEMPO. Berikut ini wawancaranya: Dengan penegasan bahwa hakim adalah pegawai negeri, di dalam RUU itu, bukankah berarti pemerintah menegaskan dualisme dalam pengurusan hakim-hakim? Itu bukan soal baru. Lihat saja di Undang-Undang Kepegawaian - jelas disebutkan bahwa hakim itu pegawai negeri. Hanya hakim-hakim agung yang ditetapkan sebagai pejabat negara. Tapi, dengan status pegawai negeri, dapatkah hakim bebas dari kekuasaan lain? Itu bukan hanya terjadi di Indonesia. Seorang hakim, bila memakai toga di persidangan, ia adalah hakim yang merdeka. Tapi, bila toganya dilepas, ia adalah pegawai negeri yang harus mengabdi kepada negara dan masyarakat. Departemen Kehakiman hanya akan mengurus ia sebagai pegawai negeri dalam hal administrasi, gaji, dan kenaikan pangkat seperti selama ini. Mengapa urusan seperti itu tidak diserahkan saja ke Mahkamah Agung? Urusan Mahkamah Agung sudah banyak. Perkara-perkara yang masuk ke Mahkamah Agung setiap hari sangat banyak. Dan, ingat, dalam hal memindahkan hakim dan sebagainya, kami selalu berkonsultasi dengan Mahkamah Agung. Tapi bagaimana dengan tuntutan Ikahi berapa waktu yang lalu, yang meminta hakim-hakim tidak lagi diurus Departemen Kehakiman agar tidak ada dualisme? Ah, itu 'kan kata koran. Sekarang sudah tidak ada persoalan lagi. Semuanya sudah beres. Baiklah, tapi bagaimana mungkin seorang hakim dalam praktek bisa memisahkan antara ia sebagai hakim dan ia sebagai pegawai negeri? Bukankah ketentuan RUU itu hanya melanjutkan undang-undang yang lama? Tidak. Justru RUU yang baru ini memurnikan UUD 1945. Buktinya, di dalam undang-undang lama ada pasal yang bertentangan dengan UUD 1945, seperti wewenang presiden untuk campur tangan dalam proses peradilan. Sekarang semua ketentuan itu dihapuskan. RUU yang baru mencantumkan pula hakim-hakim tinggi dan hakim agung harus hakim karier. Bagaimana penjelasannya? Selain prestasi, juga ditentukan umur. Misalnya seorang hakim agung hendaknya, telah berusia 50 tahun. Jadi, kalau bisa, hakim agung itu yang rambutnya sudah memutih (sambil mengusap rambutnya sendiri). Jadi, pengalamannya sudah banyak. Jangan seperti selama ini, hanya karena mempunyai pengalaman 10 tahun di bidang hukum padahal belum pernah menjadi hakim, eh jadi hakim agung (tertawa).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini