KONON, patah tumbuh hilang berganti. Tiga orang penegak hukum senior, pekan lalu, resmi menduduki kursi hakim agung dan ketua Mahkamah Agung yang lowong, setelah meninggalnya Mudjono serta dua orang anggotanya, Kurdi dan Sudjono. "Dengan demikian, susunan keanggotaan lembaga ini menjadi lengkap kembali," ujar ketua Mahkamah Agung yang baru, Ali Said, ketika melantik dua hakim agung, Bismar Siregar dan Iman Anis. Sehari sebelumnya Ali Said resmi memangku jabatan ketua di lembaga peradilan tertinggi negara itu dengan penyematan tanda jabatan oleh bekas ketua Mahkamah Agung, Oemar Senoadji. Ketiga hakim itu tidak sekadar melengkapi jumlah hakim agung kembali utuh menjadi 51 orang. Biasanya serombongan hakim agung diangkat dari berbagai unsur, seperti DPR dan kejaksaan. Tapi ketiga hakim agung ini benar-benar "hakim karier" dan cukup dikenal pula. Bismar Siregar dan Iman Anis, kedua-duanya bekas ketua pengadilan tinggi, adalah hakim-hakim senior yang sudah lebih dari 20 tahun mengabdikan diri di bidang peradilan. Sementara itu, Ali Said, bekas menteri kehakiman, adalah hakim militer yang menjatuhkan palu hukuman mati bagi tokoh PKI Nyono dan bekas wakil perdana menteri Subandrio. Karena itu pula kesan bahagia dan semangat tinggi terungkap dari ketiga hakim agung baru itu. "Jabatan itu dambaan semua hakim, tapi tidak semua bisa sampai ke hakim agung," ujar Bismar Siregar. Dilahirkan di Sipirok, Sumatera Utara, Bismar mengaku waktu kecil tidak bercita-cita menjadi hakim. Sebab itu, ketika menamatkan FH UI, 1956, Bismar memulai kariernya sebagai jaksa. Tapi empat tahun kemudian, 1960, ia pindah profesi menjadi hakim. "Saya tidak suka dengan garis komando yang ada pada kejaksaan. Karena profesi hakim bebas, saya lebih menyukai," ujar Bismar, yang kini berusia 54 tahun. Kebebasan hakim, yang memang dijamin undang-undang, kemudian dimanfaatkan Bismar dalam putusan-putusannya. Selama sepuluh tahun menjadi ketua di Pengadilan Negeri Jakarta Utara/Timur, sejak 1970, Bismar Siregar menjadi hakim yang sangat terkenal dengan putusan-putusannya yang kontroversial. Ia bahkan berani mengambil keputusan-keputusan yang bertentangan dengan surat edaran Mahkamah Agung - seperti dalam kasus lembaga sandera untuk orang berutang. Beberapa putusannya malah boleh dibilang melampaui undang-undang. "Keadilan tidaklah semata-mata berlandaskan bukti yang diatur undang-undang.Tapi juga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa," ujar Bismar, pekan lalu. Di tempat barunya, Mahkamah Agung, Bismar, yang juga terbuka untuk dikritik, mengatakan akan tetap memegang prinsip-prinsip keadilan seperti yang diyakininya. Rekan Bismar, Iman Anis, juga hakim senior yang cukup dikenal. Bahkan Iman Anis, yang juga tamatan FH UI, telah memulai kariernya sebagai hakim sejak 1958. Hakim kelahiran Tegal itu banyak disebut-sebut ketika menjadi hakim tinggi merangkap humas Pengadilan Tinggi Jakarta. Sebab, banyak putusan Pengadilan Tinggi Jakarta, ketika itu dipimpin D.J. Staa, menjadi sorotan masyarakat. Di antaranya keputusan-keputusan yang membebaskan para penyelundup eks Operasi "902" dan menghukum ringan penjahat narkotik. Ketika Opstib mengobrak-abrik lembaga peradilan, 1981, ditandai dengan penindakan terhadap empat hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Ketua Pengadilan Tinggi, Staa, Iman Anis dimutasikan ke Departemen Kehakiman. Barulah akhir 1982, Iman. Anis diaktifkan kembali, bahkan dipromosikan menjadi ketua Pengadilan Tinggi Lampung di Tanjungkarang. Tapi masa nonaktif sebagai hakim itu membawa hikmah baginya. "Saya bisa naik haji," kata Iman Anis, 53, di rumahnya, pekan lalu. Keputusan Presiden yang mengangkatnya menjadi hakim agung itu disyukuri Iman Anis. "Jabatan baru ini adalah kebanggaan moril bagi saya," ujar hakim yang mengaku dilahirkan oleh seorang ibu yang juga hakim di pengadilan agama itu. Di atas kedua hakim agung baru itu, tokoh yang paling utama yang akan mewarnai putusan-putusan Mahkamah Agung pada masa mendatang tidak lain dari ketua yang baru, Ali Said. Dengan pengalaman "segudang", sebagai hakim Mahmilub, jaksa agung muda, Jaksa agung, menteri kehakiman, Ali Said, 57, memang pilihan satu-satunya untuk jabatan tertinggi di lembaga yudikatif itu. Tokoh yang dikenal jago bersilat lidah dan kocak bila diwawancarai wartawan itu menjanjikan akan meneruskan kebijaksanaan pendahulunya, Almarhum Mudjono. Terutama meneruskan kerja besar: Operasi Kikis untuk menggusur tunggakan perkara yang "numpuk" di Mahkamah Agung. Lebih dari itu, ia berjanji pula akan meningkatkan kualitas keputusan-keputusan peradilan tertinggi itu. "Kalau Operasi Kikis sudah selesai, tahun depan, hakim agung yang 51 orang itu mau diapakan? Tentu saja perbaikan kualitas bisa dilakukan," ujar Ali Said. Mengaku tidak pernah bercita-cita menjadi ketua Mahkamah Agung, Ali Said menyadari beratnya tugas baru yang kini diembannya. "Sampai hari ini masih terdengar nyaring jeritan manusia yang menuntut keadilan, di tengah gegap gempitanya berita dan upaya pembangunan. Pada para hakim agunglah tuntutan dan harapan pencari keadilan itu tertumpu," ujar Ali Said.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini