Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berdebat dengan ahli a de charge atau yang meringankan terdakwa Rosalina. Rosalina merupakan General Manager Operasional PT Tinindo Inter Nusa yang terjerat kasus dugaan korupsi timah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hakim ketua Eko Aryanto mulanya bertanya mengenai Pasal 14 Undang-Undang Tipikor kepada Eva Achjani Zulfa selaku ahli a de charge Rosalina sekaligus pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia. Untuk itu, Eko membacakan bunyi pasal tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Gini: 'Jika ada pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran tersebut merupakan tindak pidana korupsi, maka berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Tipikor.' Benar seperti itu ya?" tanya Eko di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Senin, 2 Desember 2024.
Eva pun membenarkan. Eko bertanya lagi, apakah bunyi pasal tersebut sudah jelas. Lagi-lagi Eva membenarkan.
"Apabila di dalam ketentuan itu disebut tindak pidana korupsi, maka berlaku ketentuan dalam Undang-undang Tipikor?" cecar Eko.
Eva menjawab, "Iya."
"Berarti Undang-Undang Tipikor bisa masuk ke situ atau tidak?" tanya Eko lagi.
Akhirnya, Eva pun menjawab "Tidak." Eko lantas bertanya lagi karena menurutnya bunyi Pasal 14 UU Tipikor sudah jelas.
"Sekarang buktinya begini, sebagai realitanya, ada berapa ketentuan dalam undang-undang yang kemudian disebut secara tegas tindak pidana korupsi?" tanya Eko.
Eva menjawab, "Hanya satu, pajak, seingat saya."
Padahal, Eko melanjutkan, aspek yang diatur oleh negara dalam pergaulan hidup manusia, apakah perdata atau pidana, itu banyak. "Buktinya cuma satu yang disebut. Pandangan Anda bagaimana?"
"Saya kira tadi, ini memang buat saya--"
Eko memotong ucapan Eva. Ia kembali mengingatkan bahwa Pasal 14 UU Tipikor sudah jelas.
"Sebagai contoh, sekarang Undang-undang Pertambangan tidak menyebut itu bukan merupakan tindak pidana korupsi," kata Eko. "Sekarang, apakah bisa Undang-undang Tipikor masuk ke situ (kasus timah)?"
Eva berkukuh, "Tidak bisa, Yang Mulia."
Eko lantas bertanya apa alasannya. Menurut Eva, alasannya adalah rumusan Pasal 14 UU Tipikor.
"Sekarang ada politik-hukum bahwa tipikor adalah extraordinary crime (kejahatan luar biasa)," ucap Eko.
Ia pun menyoroti kerugian negara akibat kasus korupsi timah yang banyak. Laporan hasil audit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan kerugian negara dari perkara ini mencapai Rp 300 triliun. Sedangkan perhitungan ahli lingkungan Institut Pertanian Bogor atau IPB University menyentuh Rp 271 triliun.
"Kalau kena Undang-Undang Pertambangan cuma dihukum berapa? Coba, bagaimana?" tanya Eko sembari terkekeh.
Eva pun menjawab "Tadi saya katakan Yang Mulia, buat saya, asas lex certa atau asas legalitas itu harus kita jaga."
Eko menanggapi memang untuk hukum pidana tidak boleh menggunakan penafsiran analogi. Asas legalitas juga harus dijunjung tinggi. "Kan gitu?"
"Iya, karena itulah yang given Yang Mulia," jawab Eva.
Menurutnya, norma dalam Pasal 14 itu sudah dirumuskan seperti itu dan menjadi rambu-rambu hukum.
Dalam tanya jawab antara Eva dengan penasihat hukum Rosalina sebelumnya, ahli itu menyoroti asas lex consumen derogate legi consumte. Asas tersebut mengutamakan undang-undang khusus berdasarkan fakta-fakta yang dominan dalam suatu perkara.
Ia menjelaskan, dalam hukum pidana, boleh saja menafsirkan unsur kaidah suatu pasal. "Tapi tidak boleh dalam kaidah hukum yang berbeda," katanya.
Pilihan Editor: Anak Bunuh Ayah dan Nenek di Lebak Bulus Jadi Tersangka