Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Hakim Mahkamah Konstitusi Suhartoyo mengakui MK memiliki pertimbangan yang amat berat dalam menguji formil Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU KPK hasil revisi. Sebab, KPK pun sudah bekerja berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2019 itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Ini juga merupakan pertimbangan yang luar biasa berat bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan ini, karena sudah banyak tindakan KPK yang didasarkan pada UU sekarang ini," kata Suhartoyo dalam sidang uji formil UU KPK, Rabu, 24 Juni 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Suhartoyo pun mempertanyakan konsekuensi hukum jika nantinya Mahkamah memutus UU KPK hasil revisi itu cacat formil. Dia mengatakan, komisioner dan Dewan Pengawas KPK periode ini sudah mengeluarkan banyak produk-produk yudisial.
Tindakan-tindakan itu misalnya upaya paksa, pemanggilan, hingga perampasan kemerdekaan tersangka. Dia mempertanyakan apakah tindakan-tindakan ini pun bisa dibatalkan jika UU KPK dinyatakan batal demi hukum.
"Kalau kita kaitkan akibat hukum dari sebuah UU bisa dikatakan batal demi hukum, sesungguhnya kemudian akan menghadapi persoalan yang cukup pelik," ujar dia.
Pakar hukum dari Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto yang hadir menjadi saksi ahli mengatakan, putusan MK bersifat final dan mengikat sejak diucapkan. Dari sini, dia memaknai bawah konsekuensi hukum itu baru terjadi setelah adanya putusan MK. "Setelah diputuskan baru tidak mempunyai dampak hukum ke depan. Jadi tidak berlaku ke belakang," kata Aan.