Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Hakim pun digugat

Ramini, 40, warga desa martasinga, cirebon, menggugat ketua pengadilan negeri sumber, harold pohan. rumah dan tanahnya dilelang tanpa pemberitahuan. eksekusi lelang tak bisa batal. perlu peninjauan kembali.

15 April 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAKIM kini tak hanya diragukan keputusannya, tapi juga digugat ke pengadilan. Ramini, seorang penduduk Desa Martasinga, Cirebon, Jawa Barat, Senin pekan lalu menggugat Ketua Pengadilan Negeri Sumber dan menuntut ganti rugi Rp 102 juta lebih gara-gara rumah dan tanahnya dilelang. "Saya tak pernah berurusan dengan pengadilan, kok rumah dan tanah milik saya dilelang," kata janda tanpa anak bertubuh tinggi ramping ini. Akibat tindakan pengadilan itu, katanya, hidupnya kini menjadi terlunta-lunta. Suatu hari, cerita Ramini, 40 tahun, ia diajak pacarnya, Sadira, 45 tahun, ke Jakarta. Di Jakarta, Sadira yang pengangguran itu membawanya menemui temannya, Ismail. Ternyata Sadira punya utang kepada Ismail Rp 2,8 juta. Ketika itu Sadira memintanya menjaminkan rumahnya d Martasinga berikut tanahnya seluas 5,000 m2. Tentu saja Ramini menolak. "Kamu yang punya utang, masa saya yang harus bayar," kata Ramini. Tapi Sadira mengancam tak akan membiarkan Ramini pulang sebelum menandatangani surat kesediaan menjaminkan harta milik janda itu. Karena terpaksa, Ramini akhirnya menandatangani juga sebuah surat bersegel, berisi pernyataan bahwa ia bersedia menjaminkan tanahnya untuk utang Sadira. "Saya sendiri tak tahu isi pernyataan itu. Karena takut, langsung saja saya tanda tangani," ujarnya. Setelah itu, Sadira raib. Tapi bagi Ismail tak jadi soal. Bermodal surat tadi ia menggugat Sadira dan Ramini ke Pengadilan Negeri Sumber. Cuma tiga kali sidang tanpa dihadiri para tergugat, November 1984, Hakim Djumadi Notodihardjo mengabulkan gugatan Ismail. Hakim memutuskan rumah dan tanah Ramini disita untuk membayar utang Sadira. Utang yang semula hanya Rp 2,8 juta, pada 19 Desember 1988 lalu, berikut bunganya (5% sebulan) diperkirakan menjadi Rp 12 juta lebih. Anehnya, selama persidangan dan juga ketika rumah itu dilelang, Desember lalu, Ramini tak pernah dihubungi pengadilan. Padahal saya tak pergi ke mana-mana. Cuma ketika lelang berlangsung, saya sedang berada di Ambon," katanya. Lebih aneh lagi, di surat panggilan Pengadilan Negeri Sumber, Ramini dinyatakan tak jelas alamatnya. Padahal, "Selama persidangan berlangsung, Ramini tidak pernah meninggalkan rumah," kata empat pamong desa Martasinga. Toh pengadilan tetap melaksanakan eksekusi lelang. Tanpa dihadiri juru ukur dari PU atau juru taksir dari Agraria, tanah itu dilelang Rp 3.500/m2 dan bangunannya Rp 5 juta. "Padahal, harga pasaran tanah di situ Rp 10 ribu/m2," ujar Kepala Desa Martasinga, Mahfudz. Selesai lelang, Ramini pun diusir dari rumahnya. Ramini tentu saja menganggap tindakan pengadilan itu sewenang-wenang. Lewat penasihat hukumnya, Ricky Umar Angkawijaya, ia menggugat Ketua Pengadilan Negeri Sumber, Kepala Kantor Lelang Negara Cirebon, Ismail, Sadira, dan Maman (pemenang lelang). Ketua Pengadilan Negeri Sumber, Harold Pohan, tak keberatan digugat. "Silakan saja, itu haknya menggugat. Tapi jangan harap gugatan itu bisa membatalkan eksekusi lelang. Putusan itu sudah inkracht, punya kekuatan hukum," katanya enteng. Hakim digugat ternyata bukan di Cirebon saja. Bekas Ketua Pengadilan Negeri Simalungun, Sumatera Utara, Parluhutan Siregar, bersama hakim atasannya kini juga digugat keluarga almarhum Karmen Silitonga. Seperti juga Ramini, keluarga Karmen merasa diperlakukan sewenang-wenang karena tiba-tiba hartanya dieksekusi tanpa pernah mendengar vonis hakim. Wakil Ketua Mahkamah Agung Poerwoto S. Gandasubrata menegaskan bahwa hakim dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung 16 Desember 1976 -- tidak bisa digugat. Kecuali jika hakim itu secara pribadi terlibat utang-piutang, misalnya. "Kalau orang yang diberi tugas oleh negara untuk mengadili suatu perkara diadili lagi, kan nggak ada akhirnya nanti." Untuk kasus Ramini, Poerwoto memberikan jalan keluar. "Kalau dia merasa tidak pernah dipanggil, kan bisa menempuh upaya hukum peninjauan kembali (PK)."Hasan Syukur (Bandung), Muchsin L. (Jakarta), Irwan E.S. (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum