Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Tangerang - Majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan vonis 13 bulan penjara kepada 17 terdakwa kasus bom ikan, Kamis, 2 Juli 2020. Majelis hakim yang diketuai Sucipto membacakan secara maraton tiga amar putusan dengan tiga nomor perkara dalam sidang yang berjalan secara virtual.
"Menjatuhkan pidana satu tahun satu bulan penjara dan tetap dalam kurungan. Terdakwa bersalah melanggar Pasal 1 ayat (1) UU Darurat RI No. 12 Tahun 1951 jo 55 ayat (1) ke 1 KUHP," kata Sucipto.
Pasal ini menyebut tentang perbuatan enam terdakwa yang telah menyimpan bom rakitan. Putusan ini diperuntukkan bagi mantan dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) Abdul Basith dan lima terdakwa lain, seperti Sugiono alias La Ode, Lao Ode Nadi, La Ode Samiun, La Ode Aluani, dan Jaflan Raali.
Adapun 11 terdakwa lain diantaranya Soni Santoso disebut melanggar pasal 169 ayat (1) KUHP tentang perkumpulan untuk melakukan kejahatan. Mereka divonis 1 tahun 1 bulan penjara.
Atas putusan itu Abdul Basith dan terdakwa lainnya yang menyimak persidangan dari dalam Lapas Pemuda Kelas 2A menyerahkan kepada penasihat hukum. Penasihat hukum Abdul Basith, Gufron, menyatakan pikir-pikir atas putusan tersebut.
"Harapan kami selaku penasihat Abdul Basith dkk sesuai dengan nota keberatan yang kami ajukan, tentunya klien kami diputus tidak bersalah dan dinyatakan bebas dari segala tuntutan JPU," kata Gufron usai persidangan. Dalam pleidoi setelah tuntutan beberapa waktu lalu Abdul Basith meminta agar nama baiknya direhabilitasi.
Tak hanya pengacara Abdul Basith yang pikir-pikir, pengacara Sony Santoso Alkatiri juga menyatakan hal sama. Dia sempat berucap Innalilahi saat vonis 1 tahun 1 bulan putusan bui bagi kliennya.
Menurut Gufron, Abdul Basith dan terdakwa lainnya sudah mencabut berkas perkara pada sidang pemeriksaan saksi mahkota. Gufron menyebutkan pada sidang sebelumnya para terdakwa mencabut berita acara pemeriksaan (BAP) dengan alasan proses pemeriksaan diawali dengan penyiksaan oleh penyidik. Tak hanya Abdul Basith, Tempo mencatat terdakwa lain termasuk Mulyono dan Okto Warsono juga menyatakan mencabut berkas perkara.
Gufron mengatakan selain mencabut berkas, Abdul Basith menyatakan dengan lugas di hadapan majelis hakim kalau dia mengalami penyiksaan selama dalam penyidikan di Polda Metro Jaya.
"Penyidik menurut Basith telah menganiaya memukul bahkan menutup kepala dengan kantong plastik hitam. Tapi itu sebelum didampingi penasihat hukum. Saya sendiri melihat bibirnya lebam. Tapi kami tidak bisa visum bahkan mendokumentasikan karena dalam penyidikan penasihat hukum tidak boleh membawa telepon genggam," kata Gufron.
Gufron juga menyatakan banyak kejanggalan menyangkut kliennya. Abdul Basith tidak pernah merakit bom ikan. "Barang bukti bom molotov (bom ikan) itu tidak ditemukan di rumah di Bogor," kata dia.
Ia menyebut fakta persidangan jaksa penuntut tidak bisa menunjukkan barang bukti (bom ikan). Menurut dia, satpam yang menjadi saksi hanya melihat tujuh bekas botol kratingdaeng dan itu bukan bom seperti yang didakwakan.
Sementara jaksa penuntut umum Masdalianto menyatakan banding. Sebab tim JPU telah menuntut hukuman dua tahun penjara. Putusan hakim itu lebih rendah dari tuntutan JPU. "Kami banding," ujar JPU.
Sebelumnya polisi menangkap dan menetapkan 17 terdakwa, termasuk Abdul Basith, dalam kasus bom ikan. Mereka disebutkan berencana meledakkan bom ikan dengan mendompleng Aksi Mujahid 212 pada 28 September 2019. Namun dalam persidangan mereka membantah telah bersekongkol hendak meledakkan bom ikan.
AYU CIPTA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini