Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga jam lebih menyimak dakwaan jaksa, Inspektur Jenderal Djoko Susilo mengakhiri sidang dengan komentar singkat. "Saya tak mengerti, Pak Hakim," katanya. Tapi majelis hakim tak percaya begitu saja. "Jangan dibuat-buat," ujar ketua majelis Suhartoyo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa sore pekan lalu.
Suhartoyo lantas menanyakan bagian mana dari dakwaan yang tak dipahami bekas Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI itu. "Saya enggak ngerti dengan dakwaannya, juga dengan perlakuan dan penerapÂan pasalnya," kata Djoko. Suhartoyo pun meluruskan jawaban terdakwa, "Tak setuju berbeda dengan tak mengerti." Hakim kemudian mempersilakan Djoko membela diri dalam sidang berikutnya bila ada keberatan terhadap tuduhan jaksa.
Siang itu, sejak pukul 12.30 sampai pukul 15.50, untuk pertama kalinya Djoko duduk di kursi pesakitan. Dia menjadi terdakwa dalam kasus korupsi pengadaan simulator mengemudi. Dia didampingi 13 pengacara, antara lain Juniver Girsang, Hotma Sitompoel, dan Tengku Nasrullah. Puluhan polisi pun terus berjaga-jaga sepanjang sidang yang diliput media dalam dan luar negeri itu.
Di pengadilan, delapan jaksa KPK bergiliran membacakan berkas dakwaan setebal 135 halaman. Jaksa mendakwa Djoko secara berlapis. Dalam dakwaan pertama, jaksa menjerat Djoko dengan Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Bila terbukti bersalah, Djoko diancam hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Djoko pun harus menyerahkan harta hasil korupsinya kepada negara.
Pengadaan 700 unit simulator mengemudi kendaraan roda dua dan 556 unit untuk roda empat itu baru dimulai pada 2011. Tapi, menurut jaksa, jauh-jauh hari Djoko sudah mengarahkan agar panitia lelang memenangkan PT Citra Mandiri Metalindo Abadi, perusahaan milik Budi Susanto. "Ted, nanti Ndoro Budi saja yang mengerjakan," kata jaksa Kemas A. Roni, menirukan ucapan Djoko kepada Teddy Rusmawan, ketua panitia pengadaan simulator, dalam pertemuan pada akhir Desember 2010.
Bersama Budi Susanto, Djoko pun diduga telah menggelembungkan harga simulator. Mereka menetapkan harga perkiraan simulator roda dua Rp 79,9 juta dan roda empat Rp 258,9 juta per unit. Padahal, dalam kontrak dengan PT Citra Mandiri, harga riil simulator roda dua hanya Rp 42 juta dan roda empat Rp 80 juta. Harga terakhir itu termasuk biaya pengiriman, pemasangan, dan pelatihan personel.
Dalam kasus ini, Djoko diduga menerima uang Rp 32 miliar. Menurut jaksa, ada juga aliran dana ke Primer Koperasi Polri Rp 15 miliar dan ke tim Inspektorat Pengawasan Umum Polri Rp 1,5 miliar. Gara-gara bancakan itu, negara merugi sekitar Rp 145 miliar—cukup untuk membangun 300-an puskesmas di pedesaan.
Pada bagian lain dakwaannya, jaksa menjerat Djoko dengan Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Pencucian Uang. Ancaman hukuman maksimal bagi Djoko adalah 20 tahun penjara dan denda Rp 20 miliar. Pasal pencucian uang tercantum dalam dakwaan kedua dan ketiga.
Dalam dakwaan kedua, jaksa KPK hanya mencantumkan dugaan pencucian uang sepanjang 2010-2012. Total harta yang dibeli Djoko pada periode ini sekitar Rp 42,9 miliar. Jaksa KPK menduga harta itu dibeli dengan uang hasil korupsi selama Djoko menjabat Kepala Korps Lalu Lintas Polri (sejak 15 September 2010) dan Gubernur Akademi Kepolisian (sejak 23 Februari 2012 sampai menjadi tersangka).
Dalam dakwaan ketiga, jaksa menyebutkan Djoko mencuci uang sejak 2003 sampai 2010. Pada rentang waktu itu, total aset yang dibeli Djoko sekitar Rp 53 miliar. Jaksa menduga harta itu dibeli dengan uang hasil korupsi sejak Djoko menjabat Kepala Kepolisian Resor Bekasi (pada 2001).
Untuk menyamarkan jejaknya, dalam pembelian harta itu Djoko memakai nama orang dekatnya. Mereka antara lain Mahdiana (istri kedua Djoko), Dipta Anindita (istri ketiga), dan Djoko Waskito (ayah kandung Dipta). Djoko juga berpura-pura menjual harta ke pihak lain.
Menurut jaksa, selama menjadi polisi, Djoko tak memiliki usaha lain yang sah dan dapat menghasilkan keuntungan besar. Sebagai jenderal bintang dua, penghasilan terakhir Djoko hanya sekitar Rp 9,6 juta per bulan. Harta di berbagai kota yang disita KPK pun tak sesuai dengan laporan kekayaan Djoko. Pada 2010, misalnya, Djoko hanya mencantumkan daftar kekayaan Rp 5,6 miliar.
Pengacara Djoko, Juniver Girsang, mempersoalkan dakwaan jaksa yang mengurusi harta kliennya sebelum 2010. Menurut dia, KPK baru berwenang mengusut dugaan pencucian uang sejak 2010, ketika Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencucian Uang disahkan. Menurut Juniver, sebelum mengenakan pasal pencucian uang, KPK pun harus membuktikan dulu pidana korupsi pengadaan simulator mengemudi. "Buktikan dulu kejahatan asalnya," kata Juniver seusai sidang Djoko. "Dakwaan itu cacat secara hukum," ujar Juniver.
Juru bicara KPK, Johan Budi, mengatakan hal sebaliknya. Menurut dia, komisi antirasuah berwenang mengusut harta yang diperoleh Djoko sebelum 2010. Dasarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 069/PUU-II/2004. Pada putusan itu, Mahkamah Konstitusi menolak uji materi yang diajukan Bram Manopo, tersangka kasus korupsi pengadaan helikopter M-2 bersama Gubernur Aceh Abdullah Puteh. Waktu itu Bram menggugat kewenangan KPK mengambil alih kasus korupsi yang belum tuntas ketika KPK berdiri.
Mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi, menurut Johan, KPK bisa mengusut kasus pencucian uang yang terjadi sebelum 2010. Tapi, karena pidana pencucian uang baru diatur undang-undang pada 2002, KPK hanya mengusut asal-usul harta yang diperoleh Djoko sejak 2002.
Untuk memakai pasal pencucian uang, menurut Johan, KPK tak perlu menunggu Djoko terbukti korupsi. Dalam kasus pencucian uang, "Penegak hukum itu cukup patut menduga." Johan pun merujuk pada Pasal 69 Undang-Undang Pemberantasan Pencucian Uang.
Jika ingin lolos dari jerat pasal pencucian uang, menurut Johan, beban pembuktian kini ada di pihak Djoko sebagai terdakwa. Pasal 77 Undang-Undang Pencucian Uang menyebutkan, untuk kepentingan pemeriksaan di persidangan, terdakwa wajib membuktikan harta kekayaannya bukan hasil tindak pidana.
Pembalikan beban pembuktian bukan hal pertama. Kejaksaan pernah melakukan hal serupa untuk menyeret pejabat Direktorat Jenderal Pajak, Bahasyim Assifie, pada 2010. Dalam pidana asalnya, Bahasyim hanya terbukti memeras pengusaha Kartini Mulyadi Rp 1 miliar. Atas kejahatan itu, di tingkat kasasi, Bahasyim dihukum enam tahun penjara dan didenda Rp 500 juta.
Untuk berkelit dari pasal pencucian uang, Bahasyim pernah mengajukan bukti bahwa uang Rp 65 miliar di rekeningnya bukan hasil kejahatan. Tapi majelis hakim menganggap bukti itu tak cukup. Karena itu, di tingkat kasasi, Bahasyim pun divonis bersalah dalam pencucian uang. Dia dihukum enam tahun penjara dan didenda Rp 500 juta. Uang di rekening Bahasyim pun akhirnya disita negara.
Ahli hukum pidana pencucian uang dari Universitas Trisakti, Yenti Garnasih, mengatakan beban terbesar pembuktian "kehalalan harta" memang ada pada terdakwa. Tapi penegak hukum tak bisa lepas tangan begitu saja. Di banyak negara, jaksa dituntut membuktikan harta terdakwa memang hasil dari pencucian uang haram. "Semestinya KPK juga tertantang untuk membuktikan," kata Yenti.
Bila jaksa dan Djoko sama-sama tak bisa membuktikan klaimnya, menurut Yenti, hakim bisa memutuskan harta terdakwa tetap disita. Tapi hakim sebaiknya memerintahkan penegak hukum mengusut lagi asal-usul harta itu. "Itu untuk kepastian hukum dan perlindungan hak terdakwa," ucapnya.
Di luar urusan pembalikan beban pembuktian, Yenti melihat masih ada bolong dalam dakwaan KPK. Dakwaan itu baru mengurusi mereka yang diduga aktif melakukan pencucian uang. Sedangkan mereka yang pasif, yang hanya menerima dana atau menikmati hasil pencucian uang, belum disentuh. Jika pelaku pasif itu diburu, "Pasti lebih banyak yang terseret," ujar Yenti.
Jajang Jamaludin, Febriana Firdaus, Putri Anindya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo