Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Harga Keadilan di Siang Terik

Bentrokan berdarah terjadi antara polisi dan satgas PKB serta PDI Perjuangan. Tapi eksekusi gedung Yayasan Pra Yuwana tetap berlangsung.

9 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GAUNG reformasi ternyata malah membuat harga keadilan semakin mahal. Buktinya, eksekusi tanah dan gedung Yayasan Pra Yuwana di Jalan Pasarkembang 4, Surabaya, Rabu pekan lalu, menelan korban tak sedikit. Sebanyak 41 orang anggota satuan tugas (satgas) Garda Bangsa dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) luka-luka akibat eksekusi. Belum lagi belasan rekan mereka yang diboyong ke kantor polisi.

Pada tengah hari eksekusi itu, sejumlah anggota satgas Garda Bangsa bersama Barisan Serbaguna Nahdlatul Ulama dan satgas PDI Perjuangan rupanya bertekad mencegah eksekusi. Mereka menganggap pengosongan tanah seluas 5.128 meter persegi dan bangunan warisan Belanda untuk kemenangan PT Bina Mobira Raya itu tidak adil.

Tiga hari sebelumnya, Wakil Ketua Yayasan Pra Yuwana, Ernanto Soedarno, yang juga kuasa hukum yayasan itu, memang meminta bantuan PKB Jawa Timur untuk menangguhkan eksekusi. Menurut Ernanto, PT Bina telah merebut tanah dan gedung itu lewat konspirasi dengan Elly Soewarto. Elly, yang mengaku sebagai kuasa dari Ketua Yayasan Pra Yuwana, almarhum Soedarno—ayah Ernanto—telah menjual tanah tersebut kepada PT Bina, pada 1992, seharga Rp 2,5 miliar.

Padahal, Soedarno tak pernah memberikan kuasa tersebut. Baik Soedarno maupun yayasan juga tak pernah menerima uang sepeser pun dari hasil penjualan itu. Lagi pula, kata Ernanto, tanah itu berstatus milik negara sehingga tak bisa dijual. Hak yayasan untuk menggunakan tanah pun tak bisa dialihkan karena yayasan terhitung organisasi sosial yang notabene milik masyarakat.

Toh, tiga perkara perdata atas tanah itu dimenangi semua oleh PT Bina sampai tingkat kasasi. Janggalnya, ketiga perkara itu diputus oleh majelis hakim kasasi yang dipimpin Ketua Mahkamah Agung Sarwata. Ernanto menduga kemenangan PT Bina lantaran adanya suap ke alamat Sarwata dan hakim tinggi Gde Sudharta. Itu sebabnya, pada 23 Maret 2000, ia mengadukannya ke Komisi Ombudsman Nasional.

Sementara itu, simpati ke arah Pra Yuwana tak hanya datang dari PKB dan PDI Perjuangan. Beberapa anggota DPRD Jawa Timur juga mencoba memperjuangkan keadilan bagi Pra Yuwana. Untuk itu, sehari sebelum eksekusi, dua wakil rakyat setempat menemui Gubernur Jawa Timur Imam Utomo. Hasilnya, Gubernur meminta pengadilan mengurungkan eksekusi.

Ternyata, beberapa jam setelah kunjungan dua wakil rakyat itu, giliran bos PT Bina, Tjandra Srijaya, yang sowan ke Gubernur. Setelah berbincang dengan Tjandra, Gubernur kembali mengontak pengadilan. Kali ini, Gubernur menyatakan dirinya tak hendak mencampuri urusan eksekusi. Itu berarti Gubernur merestui eksekusi.

Seusai bertemu dengan Gubernur, Tjandra menyatakan bahwa pihaknyalah yang berhak atas tanah dan gedung sengketa. Ia lantas menunjukkan segepok dokumen perkara untuk meyakinkan bahwa PT Bina telah memperoleh tanah dan bangunan itu berdasarkan hukum. Karena itu, ”Saya tak akan mundur,” ujar pengusaha mobil dan jamu ini.

Alhasil, didukung petugas keamanan dan polisi, pengadilan pun mengeksekusi obyek sengketa. Namun, para anggota satgas Garda Bangsa, Banser NU, serta satgas PDI Perjuangan tetap berusaha menghalau eksekusi. Kibaran bendera PKB dan pelbagai spanduk perlawanan, serta alunan selawat badar, meneguhkan semangat mereka. Karena lokasi eksekusi itu di dekat pasar dan arus lalu-lintas padat, massa pun ikut bergerombol.

Suasana memanas setelah polisi melepaskan tembakan peringatan dan menyemprotkan gas air mata. Segenap satgas dan massa kocar-kacir. Bersamaan dengan itu, polisi merangsek masuk ke dalam gedung. Tak terhitung lagi jumlah orang yang dihantam pentungan dan ditendang sepatu lars petugas. Beberapa orang terlihat baku hantam dengan polisi.

Akhirnya, para anggota satgas dan massa bisa dibubarkan. Di dalam gedung, ternyata ada 18 anak asuhan Pra Yuwana dan tiga orang gurunya yang sedang menangis ketakutan. Belakangan, Tjandra mengaku bersedia menjadi orang tua asuh anak-anak itu dan menyediakan tempat yang baru.

Tapi Ernanto menanggapinya dengan geram. ”Kalau Tjandra mau mencari anak asuh, cari yang lain. Ia telah merampas tempat anak-anak kami melalui proses hukum yang compang-camping dan kolusif,” kata Ernanto, yang kini menitipkan anak-anak asuhnya di gedung DPRD.

Keruan saja eksekusi berdarah itu dikecam banyak pihak. Namun, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Da’i Bachtiar menyatakan bahwa personelnya telah bertindak sesuai dengan prosedur. Hal senada diutarakan Ketua Pengadilan Negeri Surabaya Arsyad Sanusi. Kalau eksekusi tertunda lagi seperti pada 29 April 2000, ”Kapan hukum bisa ditegakkan?” ucap Arsyad.

Happy Sulistyadi, Adi Sutarwijono (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus