Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EKO Subiantoro, 19 tahun, cuma anak seorang tukang becak. Pemuda ceking itu berpendidikan sampai sekolah menengah pertama. Mengenakan kemeja putih bergaris-garis dan berpeci hitam, Eko terus menunduk tatkala segenap pengunjung sidang di Pengadilan Negeri Purwokerto, Jawa Tengah, Selasa pekan lalu, berteriak-teriak menghujatnya.
Ternyata, majelis hakim yang diketuai Priyo Utomo memvonis bebas Eko. Ia dianggap tak terbukti membunuh Nyonya Nakem, 60 tahun, pembantu rumah yang sudah 10 tahun bekerja di kediaman Lie Tjan Bun. Mendengar vonis itu, Eko langsung menyalami majelis hakim. Sembari berlinangan air mata, ia merangkul kedua orang tuanya.
Malamnya, Eko, yang sudah mendekam di sel selama 9 bulan 14 hari, dilepaskan dari Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto. Adakah itu akhir dari rentetan bencana yang menimpa Eko sejak peristiwa pembunuhan Nakem pada Minggu, pukul 11.00, 19 September 1999?
Pada hari kejadian, sekitar pukul 09.00, Eko bersama ayahnya, Imam Edi Santoso, ke rumah Lie Tjan Bun di Purwokerto. Eko hendak melamar pekerjaan sebagai sopir di rumah Lie. Tapi lowongan sopir sudah terisi orang lain. Karena itu, Eko diminta datang kembali esoknya. Waktu itu, Eko dan ayahnya hanya ditemui di garasi rumah karena Lie mau pergi bekerja.
Eko dan sang ayah pun pulang ke rumah mereka, tak jauh dari rumah Lie. Sesampai di rumah, pukul 10.00, Eko langsung mengganti hem bermotif bunganya dengan kaus putih. Ia kemudian menonton televisi bersama adiknya. Setelah itu, Eko tidur hingga sore. Seusai mandi, Eko bersama teman-temannya menonton sepak bola.
Sementara itu, terjadi kegemparan di rumah Lie. Pembantu rumah itu, Nakem, ditemukan tewas terbunuh. Kepala wanita tua itu diduga dibentur-benturkan ke dinding dan tubuhnya diseret ke kamar mandi.
Ternyata, polisi menyangka Eko sebagai pelaku pembunuhan. Soalnya, Ekolah orang terakhir yang datang ke rumah Lie. Polisi memperkirakan Eko mendendam kepada keluarga Lie lantaran tak diterima sebagai sopir. Selain itu, saksi Setiyono mengaku melihat Eko sewaktu kejadian. Tapi, di persidangan, saksi yang masih di bawah umur itu meralat keterangannya. Ia mengaku hanya melihat punggung pelaku.
Yang jelas, malam itu juga polisi meringkus Eko. Kaus putih Eko yang disita pun belakangan penuh bercak darah. Disertai ancaman dan pukulan bertubi-tubi dari polisi, Eko dipaksa melakukan prarekonstruksi. Tapi Eko bersikukuh tak mengaku sebagai pembunuh Nakem. Dalam rekonstruksi berikutnya, Eko malah menangis berkepanjangan, sehingga rekonstruksi gagal.
Namun, polisi terus memaksa Eko mengakui perbuatan itu. Bahkan, sampai-sampai ayah Eko dimasukkan ke sel tahanan Eko untuk menekannya. Polisi juga dua kali melakukan pengujian kebohongan dengan lie detector. Toh, Eko tetap membantah. Proses penyidikan dan alibi itulah yang membuat pengadilan membebaskan Eko.
Lantas, siapa pembunuh Nakem? Salah seorang pembela Eko, Arief Budi Cahyono, menduga korban dianiaya oleh orang yang diseganinya. Hal itu bisa ditilik dari posisi jasad korban yang tak menunjukkan perlawanan. Selain itu, tak ada barang milik korban yang hilang. Ada juga uang Rp 50 ribu milik istri Lie, yang menurut anaknya, Henry, hilang pada malam sebelum kejadian.
Arief mencoba menghubungkan pembunuhan tak bermotif perampokan itu dengan kejanggalan kesaksian Henry. Ketika peristiwa itu terjadi, mahasiswa sebuah universitas swasta di Yogyakarta itu sedang cuti kuliah. Setelah Lie pergi bekerja, cuma ada Henry dan Nakem di rumah. Pada pukul 10.00, Henry mengaku pergi ke rumah pamannya, Triandi, dan sampai di tujuan 15 menit kemudian.
Tapi, menurut Triandi, keponakannya itu datang ke rumahnya pada pukul 12.00. Berarti, ada rantai misterius pada kegiatan Henry dari pukul 10.00 sampai 12.00. Nyonya Lie mengaku sempat menelepon rumah dari tokonya pada pukul 10.30. Waktu itu, Henry yang menerima teleponnya.
Henry juga mengaku kembali ke rumahnya pada pukul 15.00. Ia melihat darah berceceran di lantai. Meski belum pernah menyaksikan darah seseram itu, Henry saat itu bersikap tenang. Sewaktu pengacara Eko di persidangan menanyakan apakah Henry tidak takut kalau pembunuhnya berada di dalam rumah, Henry menjawab bahwa pembunuhnya tak mungkin masih di situ. Kalau demikian, ”Henry tahu siapa pembunuh Nakem,” ujar Arief.
Toh, jaksa M. Bardan tetap berkeyakinan bahwa Ekolah yang menghabisi korban. Tapi jaksa yang sebelumnya menuntut Eko dengan hukuman enam tahun penjara itu masih pikir-pikir untuk mengajukan kasasi. Keyakinan serupa diutarakan Kepala Kepolisian Resor Banyumas, Superintenden Imam Basuki. ”Hasil penyidikan polisi sudah cukup kuat dan sesuai dengan prosedur,” kata Imam Basuki.
Happy Sulistyadi, Idayanie (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo