Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ZAINAL Asikin, 45 tahun, mungkin tak pernah menduga bahwa kursi yang didudukinya kini berpindah ke tempat yang tak mengenakkan. Biasanya Dekan Fakultas Hukum Universitas Mataram itu menduduki kursi di kampus untuk memberikan kuliah hukum. Tapi, pekan-pekan ini, dia terpaksa duduk di kursi terdakwa di Pengadilan Negeri Mataram akibat kasus kerusuhan pada 17 Januari 2000 di Mataram.
Menurut dakwaan jaksa Badri Baidhawi, Zainal selaku ketua panitia pelaksana tablig akbar telah memberikan kesempatan kepada Ishak Sasaki untuk berorasi yang bersifat menghasut di hadapan sekitar 20 ribu orang. Akibatnya, seusai acara untuk menunjukkan simpati kepada muslim di Maluku itu, emosi massa terbakar.
Gelombang massa yang dilanda amarah lantas menghancurkan 14 gereja dan ratusan rumah. Rumah-rumah dan pertokoan juga dijarah. Ratusan polisi tak mampu mengatasi amuk massa. Kerusuhan yang ditaksir menimbulkan kerugian sampai Rp 65 miliar itu membuat ribuan orang nonmuslim mengungsi. Ratusan turis pun segera dievakuasi ke Bali.
Sebelum Zainal, Ishak Sasaki, 45 tahun, sudah lebih dulu diadili. Kepala Sekolah Dasar Negeri 9 Cakranegara itu divonis dengan hukuman tujuh bulan penjara. Ia dianggap terbukti melakukan delik penyebaran kebencian (haatzaai artikelen). Selain Zainal dan Ishak, 17 terdakwa lainnya juga diadili, tapi dengan tuduhan melakukan penjarahan.
Meski menghadapi dakwaan seram, Zainal, yang sempat ditahan selama dua bulan, membantah tuduhan tersebut. Menurut koordinator 16 orang pembelanya, Lafat Akbar, kendati pidato beberapa pembicara dalam tablig akbar itu terhitung emosional, kerusuhan yang kemudian meledak bukan disebabkan oleh tablig akbar. Dalam persidangan perkara Ishak, majelis hakim juga menyatakan tak adanya hubungan antara tablig akbar dan kerusuhan.
Zainal malah pernah mengatakan bahwa kerusuhan sudah meletup saat tablig akbar masih berlangsung. Apalagi, tatkala kerusuhan merembet, ternyata massa yang main hakim sendiri itu bukan berasal dari pengunjung tablig akbar. ”Dari rekaman videonya, massa kelihatan membawa palu dan linggis. Peserta tablig akbar kan tidak demikian,” kata Sudiarto, koordinator lapangan tablig akbar dan aksi solidaritas untuk muslim Maluku itu.
Tablig akbar itu, kata Zainal, justru dimaksudkan untuk menenteramkan kaum muslim dan menggalang dana bagi umat muslim yang teraniaya di Maluku. Acara itu dihadiri massa dari 30 organisasi Islam, di antaranya Amankan Masyarakat, Pemerintah, Hukum Indonesia Berdasarkan Iman (Amphibi) pimpinan Tuan Guru Haji (gelar untuk ulama Islam di Mataram) Sibawaihi dan Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI).
Bila pidato Ishak dalam acara itu dianggap menghasut, ”Polisi sebagai pejabat yang berwenang mestinya bisa langsung menghentikannya,” ujar Zainal. Memang, dalam acara itu, polisi juga ada, termasuk petugas intel. Toh, sampai tiga kali Ishak berpidato, tak ada larangan. Demikian pula ketika kerusuhan terjadi, kata Sudiarto, sepertinya tak ada aksi penanggulangan oleh polisi.
Kalau benar argumentasi Zainal, juga fakta dalam persidangan Ishak, tampaknya siapa penyebab kerusuhan Mataram masih sumir. Sampai kini, hanya Ishak yang dianggap sebagai terdakwa utama kasus tersebut. Nama Eggy Sudjana, Ketua PPMI, juga sama sekali tak disinggung-singgung dalam berkas perkara, baik di tingkat penyidikan polisi maupun pada proses pengadilan. Eggy sendiri pernah mengaku, ketika ia tiba terlambat di Mataram, api kerusuhan sudah berkobar.
Baik polisi maupun Sudiarto menuding provokator sebagai biang kerok kerusuhan. Tapi, siapa provokatornya, mereka mengaku tak mengetahuinya. Adakah pengambinghitaman ke alamat provokator, sebagaimana pola klise selama ini, hanya untuk mengelabukan fenomena sosial sebenarnya?
Yang jelas, sebelum tablig akbar, suasana hati warga Mataram, seperti halnya umat muslim di tempat lain, sudah memanas. Apalagi, pada 13 Januari 2000, beredar surat pernyataan dari Amphibi dan PPMI yang mengutuk peristiwa Maluku. Sekalipun demikian, Tuan Guru Haji Sibawaihi mengakui bahwa surat terbuka bernada ancaman itu tak berhubungan dengan kerusuhan.
Selain itu, kondisi makro di Mataram—ini mungkin tak berbeda dengan keadaan di daerah lain—bagaikan rumput kering yang gampang terbakar. Warga Mataram selama ini bak menanggung beban disparitas ekonomi, baik akibat pembangunan maupun karena kesenjangan antara penduduk asli dan pendatang. Untuk masalah terakhir ini, agaknya pemerintah daerah harus mencermatinya secara serius.
Happy Sulistyadi, Supriyantho Khafid (Mataram)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo