Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Intimidasi Terus Berlangsung di Desa Kohod, Warga Diteror Agar Pindah ke Tempat Relokasi

Saat Kades Kohod Arsin menghilang, intimidasi ke warga terus berlangsung agar mereka mau pindah ke tempat relokasi.

5 Februari 2025 | 16.04 WIB

Warga Alar Jiban yang masih bertahan ditengah rencana relokasi, Desa Kohod, Kabupaten Tangerang, 2 Februari 2025. Tempo/Ilham Balindra
Perbesar
Warga Alar Jiban yang masih bertahan ditengah rencana relokasi, Desa Kohod, Kabupaten Tangerang, 2 Februari 2025. Tempo/Ilham Balindra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah warga kampung Alar Jiban, Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang yang menolak relokasi tawaran Kepala Desa Arsin Bin Asip mengaku mendapatkan intimidasi dari aparat desa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

"Bentuk intimidasinya bermacam macam, berupa paksaan,"ujar Marto, 47 tahun, salah seorang warga yang menolak relokasi kepada Tempo, Rabu 5 Februari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Marto mengungkapkan, pesan teror itu sengaja disebarkan aparat desa agar warga takut dan akhirnya menyerah mengikuti skema relokasi Kades Arsin.

"Mereka menyampaikan, nanti rumah kami akan diuruk paksa, ntar lo dapat uang kagak tanah kagak, gak dapat apa-apa, kami juga diancam akan dicomot polisi," kata Marto menirukan ancaman aparat desa.  

Marto memiliki tanah seluas 291 meter dan bangunan seluas 114 meter. Ia adalah satu dari 55 keluarga di Kampung Alar Jiban yang menolak dipindah. Alasannya, kata Marto, tanah dan bangunnya dihargai sangat kecil, untuk tanah Rp 90 ribu per meter dan bangunan Rp 2 juta per meter.

"Mana cukup untuk membangun rumah yang baru," kata pria yang bekerja sebagai nelayan ini. Dia berharap, tanah dan bangunannya bisa dihargai Rp 7 juta per meter.  

Selain itu, Marto menolak relokasi karena tempat yang baru tidak jelas, akses nelayan untuk melaut belum pasti  dan status tanah dan bangunan di tempat relokasi belum jelas. "Belajar dari warga kampung lain yang sudah direlokasi dokumen tanah dan bangunannya belum jelas," ucapnya.  

Relokasi dianggap hanya akal-akalan untuk menjual tanah ke calo

Ketua Aliansi Masyarakat Anti Kezholiman (AMAK) Oman mengatakan, hingga kini warga masih bertahan dan tidak mau pindah. Kendati tim kepala desa terus mengintimidasi dan memaksa mereka untuk pindah.

"Warga tetap berusaha bagaimana caranya bisa bertahan," kata Oman. AMAK mengadvokasi masyarakat Desa Kohod yang menjadi korban pagar laut dan harus direlokasi.  

Oman mengatakan, warga menolak relokasi karena sudah tahu bahwa itu hanya akal-akalan Kades Arsin dan timnya  untuk mengambil alih tanah dan bangunan warga. Selanjutnya tanah dan rumah warga yang dihargai sangat murah itu dijual ke calo dan vendor dengan harga tinggi. "Kami sudah tahu dan tidak mau kena dengan calo dan mafia tanah," kata Oman.  

Namun, kata Oman, tidak semua mental warga desa kuat dan bisa menahan tekanan dan intimidasi tersebut. Sebagian besar warga yang takut akan ancaman itu memilih untuk menyerahkan sertifikat tanah dan bangunan mereka dan setuju relokasi. "Dari 120 KK, tersisa 55 KK," kata dia. 

Warga, kata Oman, pada prinsipnya setuju saja jika relokasi untuk kepentingan negara dan masyarakat. Namun, yang mereka ketahui, penggusuran warga Desa Kohod dari kampung kelahiran mereka itu untuk kepentingan pengembang besar yang akan menjadikan perkampungan mereka menjadi Kota Bagan.

"Dalam Siteplan, kampung kami akan dijadikan Kota Bagan, yang nanti tanahnya dijual Rp 20 juta hingga Rp 30 juta per meter," kata Oman.  

Karena warga sudah tahu dibalik relokasi Kades Arsin ini adalah permainan para calo dan mafia tanah, Oman menyatakan, warga hanya mau bernegosiasi langsung dengan pengembang yang akan membangun kota Bagan di kawasan itu. "Harga Rp 5 juta per meter oke, tapi kami tidak mau melalui calo, kami mau langsung ke  pengembang yang akan membangun kota Bagan di kawasan ini," kata Oman.  

Tempat relokasi juga bakal terancam digusur oleh pengembang

Penasihat hukum masyarakat Desa Kohod yang menjadi korban pagar laut dan relokasi Henri Kusuma mengatakan, warga menolak relokasi karena merasa tidak layak dan tidak adil. "Warga diminta pindah ke tempat lain dimana tempat lain adalah tempat yang akan dijadikan perumahan pengembang yang suatu waktu akan digusur lagi, dan tidak menerima surat tanah pengganti," kata Henri. 

Menurut Henri, para calo tanah mengklaim memiliki kekuatan hukum untuk merelokasi warga dengan dalih PSN atau proyek strategis nasional untuk kepentingan umum. Padahal jika berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2021 tentang pengadaan tanah bagi kepentingan umum.

"Pembangunan pemukiman kalangan menengah atas tidak masuk sebaga objek dari PP ini. Saya menduga para calo tanah ini hanya bersandar pada perda nomor 9 tahun 2020 pasal 47," kata Henri.  

Henri mengungkapkan, Kades Arsin menghargai bangunan warga bervariasi dari Rp 300 ribu, Rp 700 ribu hingga Rp 1,5 juta per meter keliling. Sementara untuk tanah menggunakan proses tukar guling, warga akan mendapatkan luas tanah yang sama di tempat relokasi yang baru.

"Warga menolak karena dengan harga segitu tentunya sangat merugikan, mana cukup untuk membangun rumah yang baru," ucapnya. 

Henri Kusuma melalui kantor pengacara HK Law Firm mulai mengadvokasi  warga Kohod itu sejak akhir Juli 2024 lalu. Hasil penelusuran HK Law Firm ditemukan ternyata dibalik rencana relokasi kades Arsin tersebut adalah transaksi jual beli bukan untuk relokasi.

"Kades Arsin bersama perangkat kantor desa Kohod melakukan transaksi jual beli dengan sejumlah calo dan vendor," kata Henri.  Calo dan vendor tersebut diduga terhubung dengan pengembangan kawasan yang kini tengah membangun kawasan hunian dan bisnis di pesisir utara Kabupaten Tangerang.  

Kepala Desa Kohod Arsin bin Asip belum bisa dikonfirmasi Telepon selulernya tidak aktif dan pesan yang disampaikan Tempo melalui aplikasi whatsApp belum tidak direspon.  

Nama Arsin bin Asip menjadi sorotan masyarakat setelah terbongkarnya kasus pagar laut di perairan Tangerang dan munculnya Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di atas laut di desa Kohod. Kades Kohod kian menjadi sorotan setelah ia tampil membela keberadaan pagar-pagar bambu yang kontroversial itu. 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus