Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kejaksaan Agung menangkap Hendry Lie, satu dari 23 tersangka kasus korupsi timah, yang sempat pergi ke luar negeri.
Menurut penyidik Hendry berperan aktif dalam sejumlah pertemuan untuk mengegolkan kerja sama lima perusahaan smelter swasta dan PT Timah.
Jaksa juga menyatakan Hendry menerima aliran dana sekitar Rp 1 triliun dari korupsi tersebut.
MEMAKAI kemeja merah muda, Hendry Lie keluar dari pintu pesawat Batik Air pada sekitar pukul 22.30 di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Senin, 18 November 2024. Pesawat itu baru saja mendarat dari Singapura.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di depan pintu pesawat yang langsung terhubung dengan garbarata, penyidik Kejaksaan Agung sudah menyambut Hendry lengkap dengan surat perintah penangkapan yang terselip di dalam map merah. Setelah memperkenalkan diri dan memberikan surat penangkapan, penyidik langsung memborgol kedua tangan tersangka dugaan korupsi timah itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Abdul Qohar mengatakan pihaknya telah lama menunggu Hendry pulang ke Tanah Air. Abdul curiga Hendry sengaja menyamarkan kepulangannya tersebut. "Datangnya secara diam-diam dengan maksud menghindari petugas. Tapi kan saya sampaikan, kami sudah monitor keberadaan Hendry sejak bulan lalu," kata Abdul setelah penangkapan tersebut.
Hendry merupakan satu dari 23 tersangka kasus korupsi timah yang merugikan negara senilai Rp 300 triliun. Kejagung menyebut dia sebagai beneficiary owner atau penikmat manfaat dari PT Tinindo Inter Nusa (PT TIN), satu dari lima perusahaan yang bekerja sama secara ilegal dengan PT Timah. Penyidik Kejagung memeriksa pria 59 tahun itu pada 29 Februari 2024. Setelah pemeriksaan tersebut, penyidik kejaksaan kembali memanggil Hendry dua kali. Namun dia tak hadir dengan alasan sedang berobat ke luar negeri. Hendry diketahui berada di Singapura sejak 25 Maret 2024.
Jaksa Agung akhirnya mencegah Hendry pada 28 Maret 2024 dan menetapkan dia sebagai tersangka pada 15 April 2024. Kejagung pun telah menetapkan adik Hendry Lie, Fandy Lingga, sebagai tersangka dalam kasus ini. Fandy adalah staf marketing PT TIN.
Abdul mengatakan Hendry berperan aktif dalam kasus korupsi timah ini. Salah satu pemilik saham maskapai penerbangan Sriwijaya Air itu, menurut Abdul, aktif melakukan kerja sama penyewaan peralatan peleburan timah ke PT Timah. Dalam kerja sama itu, PT Timah harus membayar sewa sebesar US$ 3.700 per ton ke PT TIN. Kejagung menilai kerja sama ini merugikan negara karena nilainya nyaris empat kali lipat dari biaya produksi normal. Audit yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyebutkan PT Timah sebenarnya bisa melebur sendiri bijih timah dengan biaya hanya US$ 1.000 per ton.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar menyatakan Hendry terlibat dalam sejumlah pertemuan antara perusahaan smelter dan PT Timah untuk membahas kerja sama itu. “Ada, ikut pertemuan dengan perusahaan-perusahaan smelter lain,” ujar Harli kepada Tempo pada Rabu, 20 November 2024.
Sejumlah pertemuan itu pun terungkap dalam sidang kasus korupsi timah yang masih terus berjalan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Setidaknya ada dua pertemuan penting antara pengusaha smelter dan PT Timah pada 2018. Dua pertemuan itu berlangsung di Hotel Borobudur dan Hotel Sofia at Gunawarman, Jakarta.
Mantan General Manager Produksi PT Timah Wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Ahmad Syahmadi, dalam kesaksiannya mengaku menghadiri pertemuan di Hotel Borobudur. Dia menyatakan pertemuan itu dihadiri sekitar 25 pemilik smelter. Saat itu, Syahmadi menyatakan, mereka membahas pembagian kuota ekspor bijih timah antara PT Timah dan smelter swasta. PT Timah meminta jatah 50 persen dari produksi setiap smelter swasta karena mereka menambang di wilayah konsesi PT Timah. Namun para pemilik smelter hanya memberikan 5 persen.
Sementara itu, pertemuan di Hotel Sofia at Gunawarman terungkap dalam kesaksian Kepala Divisi Keuangan PT Timah periode 2018-2019, Abdullah Umar Baswedan. Umar mengatakan pertemuan itu untuk membahas biaya sewa smelter yang mencapai US$ 3.000-3.500 per ton bijih timah. Kepala Bagian Pengelolaan PT Timah periode 2016-2017, Nono Budi Priyono, yang juga menjadi saksi, mengaku ikut dalam pertemuan itu. Dia mengatakan pertemuan itu dihadiri perwakilan lima perusahaan smelter, yaitu dari PT Refined Bangka Tin, CV Venus Inti Perkasa, PT Stanindo Inti Perkasa, PT Tinindo Inter Nusa, dan PT Artha Cipta Langgeng.
Penyidik Kejaksaan Agung menilai perjanjian tersebut hanyalah sebuah siasat agar para pengusaha smelter bisa melegalkan timah yang mereka ambil dari wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) milik PT Timah. Harli mengatakan PT TIN membuat dua perusahaan boneka, CV Bukti Persada Ray dan CV Sekawan Makmur, untuk menambang dan mengangkut bijih timah secara ilegal. Padahal kedua perusahaan itu tak memiliki izin penambangan. Timah hasil peleburan ini kemudian disetorkan PT TIN kepada PT Timah dan menjadi timah legal.
Modus serupa dilakukan oleh empat perusahaan smelter lain, yakni CV Venus Inti Perkasa, PT Stanindo Inti Perkasa, PT Refined Bangka Tin, dan PT Sariwiguna Binasentosa. Penyidik Kejagung menilai Hendry Lie turut menikmati hasil korupsi timah sebesar Rp 1 triliun. Hal tersebut terungkap dalam dakwaan Suranto Wibowo, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung periode 2015-2019.
Kuasa hukum Hendry, Rio Andre Winter Siahaan, sebelumnya membantah tudingan bahwa kliennya terlibat dalam kasus dugaan korupsi timah. Dalam keterangannya kepada Tempo pada 2 Agustus 2024, ia mengatakan Hendry tidak ikut andil menyusun kerja sama dengan PT Timah. "Hendry Lie mengaku tidak terlibat dalam kegiatan operasional PT Tinindo Inter Nusa, khususnya yang menyangkut kerja sama processing pemurnian dan penglogaman timah dengan PT Timah Tbk, sebagaimana yang dituduhkan," ucapnya.
Dosen hukum pertambangan Universitas Borobudur, Ahmad Redi, menilai langkah Kejagung menangkap para pemilik smelter tersebut sudah tepat. Redi, yang menjadi saksi ahli dalam persidangan kasus itu, mengatakan penambangan yang dilakukan perusahaan-perusahaan boneka itu melanggar aturan. Alasannya, berdasarkan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, kegiatan penambangan seharusnya hanya boleh dilakukan oleh pemegang IUP, yaitu PT Timah.
Redi menyatakan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2020 memang memperbolehkan pemilik IUP melakukan kerja sama penambangan, tapi itu hanya boleh dilakukan oleh masyarakat secara individu atau koperasi. "Tidak boleh (kerja sama dengan) perseroan," katanya saat dihubungi pada Rabu, 20 November 2024.
Ia mengatakan peraturan tersebut juga melarang skema jual-beli atau sewa-menyewa. Skema yang dibolehkan seperti usaha jasa pemborongan, pemurnian, atau penambangan. Redi juga menyebutkan perusahaan smelter yang memiliki izin peleburan seharusnya hanya melakukan pemurnian. Jika bentuknya penyewaan, ada pelanggaran hukum. "Ada pelanggaran perizinan. Kalau izinnya smelter, ya, dia mengoperasikan smelternya. Enggak boleh punya smelter kemudian disewakan karena negara memberikan izin ke dia untuk melakukan operasi terhadap smelternya, bukan orang lain," tuturnya.
Meski Hendry mengaku tak tahu-menahu soal kerja sama antara PT TIN dan PT Timah, Redi menilai Kejagung tetap bisa menjeratnya secara hukum. Pasalnya, Hendry merupakan orang yang menikmati kerja sama tersebut sebagai pemilik perusahaan. "Bisa saja dia bukan direksi atau komisaris, melainkan penerima manfaat. Tinggal dibuktikan apakah penerimaan manfaat itu dari bisnis yang sah atau tidak sah," ujar Redi.
Dosen hukum pidana Universitas Indonesia, Chudry Sitompul, pun berpendapat sama. Menurut dia, penyidik tetap bisa menjerat Hendry meski dia secara formal tidak masuk susunan direksi PT TIN. Syaratnya, menurut Chudry, penyidik mampu membuktikan adanya aliran uang hasil kejahatan kepada Hendry. "Karena korupsi itu follow the money. Enggak bisa dia bilang enggak tahu," kata Chudry.
Soal pernyataan Hendry yang mengaku tak terlibat dalam kegiatan operasional PT TIN, Chudry menilai hal itu tak bisa menjadi alasan dia terlepas dari pertanggungjawaban pidana. Terlebih, kata Chudry, Kejagung menyatakan Hendry terlibat aktif dalam pembuatan kerja sama antara PT TIN dan PT Timah. "Itu tidak bisa menjadi dalih. Pidana melihat secara materiil, bukan formal.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Mutia Yuantisya dan Dhefara Dhanya berkontribusi dalam penulisan artikel ini