SEKILAS bentuknya mirip dodol Cina. Dibungkus kertas cokelat, bersegi empat, dililit tali. Lalu diberi perekat lilin. Ternyata, di dalam 60 pak barang yang beratnya 29 kilogram itu disembunyikan serbuk putih: heroin. Itulah temuan terbesar reserse narkotik Markas Besar Kepolisian RI, yang mengendusnya di Hotel Indonesia, Jakarta, Rabu malam pekan silam. "Kali ini sekali pukul dapatnya gede," ujar Deputi Kapolri Bidang Operasi, Mayor Jenderal Koesparmono Irsan, kepada TEMPO. Dalam temuan di bandara Medan, Bali, dan Cengkareng, selama ini hanya 27 kg serbuk heroin. Polisi mengendus manuver heroin ala dodol di Jakarta itu sejak Januari lalu. Bisik-bisik bisnis barang haram itu makin kuat setelah badan penyidik narkotik (USDEA) di AS memberi kabar. Menurut info, ada orang yang siap mengatur transaksi gelap ini, namun peminatnya belum ada. Maka, dipasanglah seorang tokoh buatan polisi yang pandai berbahasa asing dan berpenampilan perlente. Tokoh ini lalu menjalin kontak dengan calo heroin itu. Mereka kemudian sepakat bertemu di hotel tadi, di kamar 433. Negosiasi berlangsung gayeng. Mereka sama-sama mencicipi dari satu pak heroin yang dijadikan sampel. Si tokoh, setelah memastikan barang itu asli, langsung minta izin menelepon cukongnya yang menginap di hotel yang sama. Braaak. Pintu digedor, sontak empat reserse berdasi menggebrak dengan cerkas. Di kamar itu, sekitar pukul 19.00, kepergok tiga tersangka pengedarnya: Sae Lim Iaw alias Boon Tan, 50 tahun, Tham Tuck Yin alias A Tjai, 29 tahun, dan Freddy alias A Ting, 44 tahun. Mereka menggembol enam pak heroin. Boon Tan warga Thailand, dan A Tjai asal Malaysia. Sedangkan Freddy, orang Indonesia, yang, menurut polisi, menampung dan mengatur transaksinya di Jakarta. Pengejaran berkembang setelah ketiganya diinterogasi secara intensif. Dan satu setengah jam kemudian, di rumah Freddy, di kompleks Jaka Sampurna, Bekasi, Jawa Barat, polisi menemukan 54 pak heroin lainnya. Serbuk itu disimpan dalam tas wisata berkembang warna hijau dan tas kulit cokelat. Kedua tas itu digembok, dan di atasnya ditumpuki puluhan pakaian. Tapi Freddy menyangkal ikut sindikat ini. "Saya dicelakakan sepupu saya Boon Tan. Saya tak tahu mereka membawa heroin," katanya kepada TEMPO. Tapi polisi tidak percaya. "Mana ada maling mengaku maling," ujar penyidik kasus ini. Apalagi pemasok barang Pertamina yang hidup cukup dan beristrikan pegawai bank itu tertangkap saat negosiasi. Polisi menerka, harga satu kilogram barang haram ini sekitar Rp 250 juta. Harganya kian mahal jika dijual eceran. Jika semua barang itu sukses dijual, setidaknya bisa diraup Rp 7,25 miliar. Apalagi jenis heroin itu kelas wahid tipe "W". Dugaan polisi, barang itu diselundupkan dari Setun, Thailand Selatan, atau dari Myanmar. Sumbernya tetap dari Segi Tiga Emas yang sedang kelebihan produksi serbuk putih ini. Menurut polisi, barang ini memang dilepas begitu saja. Dan menyelundupkannya sedang dijajaki melalui rute tikus, via laut dan darat. Tidak melalui udara seperti selama ini. Dari Thailand, dengan kapal ikan, Boon Tan dan A Tjai menyeberangi laut selama 32 jam untuk masuk ke pantai timur Sumatera Utara. Tiba di Belawan, mereka menumpang ojek ke Medan. Dari sini mereka naik bus ke Jakarta, dan singgah di rumah Freddy, di Bekasi, sejak Januari lalu. Bagi A Tjai, rute ini tidak asing. Kurir pembawa heroin ini pernah masuk Indonesia secara ilegal melalui rute tadi. Heroin sudah mengendap selama empat bulan, tapi belum juga terjual. A Tjai, Boon Tan, dan Freddy kabarnya sempat bertikai, karena komisi Rp 20 juta untuk Freddy dari "pusat" tidak mengucur. Freddy memprotes. A Tjai dan Boon Tan lalu balik ke Thai. Mungkin karena mendengar ada peminat, keduanya kembali mendarat, melalui Bandara Soekarno-Hatta. Mereka menumpang Silk Air, via Singapura, 10 Mei lalu. Sehari kemudian, terjadilah jebakan di Hotel Indonesia itu. Kasus serupa baru saja terungkap. Tim Reserse Kepolisian Resor Kepulauan Riau Barat, bekerja sama dengan polisi Singapura, menemukan 253 bungkus (1,5 kg) heroin di sebuah rumah, di Nagoya, Batam, pekan lalu. Heroin ini diduga dari kartel Medellin, Kolombia, dan akan diselundupkan ke Australia oleh 12 warga asing dengan dijejalkan dalam kondom, lalu ditelan. Kemasannya mirip dodol: agar kedap air dan sulit diendus anjing pelacak. Melihat manuver yang mereka jalankan, tak mustahil bungkusan heroin itu masih terserak di kota-kota besar di Indonesia. "Itu sedang kami selidiki. Tapi dalam kasus ini penggunaan heroin agaknya belum terjadi," ujar Kolonel Suprapto, Kepala Sub-Direktorat Reserse Narkotik Mabes Polri. "Melihat lingkaran sindikat ini, sasarannya bukan di Indonesia," tambah Koesparmono. Untuk mencegah perluasan edarannya, polisi sudah mengontak Interpol. Kendati belum dijadikan target pengedaran obat terlarang ini, Indonesia bisa dijadikan ajang persinggahan yang empuk. Menurut catatan Badan Koordinasi Pelaksanaan Inpres Nomor 6-1971, keterlibatan orang Indonesia dalam kasus narkotik, sepuluh tahun terakhir ini, 0,005% dari total 185 juta penduduk. "Jumlah itu tergolong kecil," kata Kolonel M. Hariyanto Djojokoesoemo, sekretaris lembaga yang mengurusi soal-soal narkotik ini.Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini