Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dari salim untuk salim, bukan bapindo

Sudwikatmono membantah berita adanya suntikan us$ 500 juta dari grup salim ke bapindo. adapun us$ 500 juta itu hasil go public indofood di luksemburg.

21 Mei 1994 | 00.00 WIB

Dari salim untuk salim, bukan bapindo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
BANK Pembangunan Indonesia (Bapindo) memang agak sempoyongan karena dibobol Rp 1,7 triliun oleh Eddy Tansil. Seperti banyak diberitakan, dalam upaya pembenahan Bapindo, Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad akan memanfaatkan jasa sebuah bank asing. Kepastian tentang ini belum ada, tiba-tiba terbetik berita bahwa Grup Salim akan menyuntikkan dana US$ 500 juta -- sekitar Rp 1 triliun -- untuk Bapindo. Dana yang lumayan besar itu kabarnya merupakan hasil penjualan mandatory exchange bonds (semacam obligasi konversi) dari Global Mark International (GMI) -- pemegang 47,7% saham PT Indofood Sukses Makmur (ISM) -- di bursa saham Luksemburg. GMI ini adalah perusahaan yang berkedudukan di British Virgin Island. Konon, untuk jasanya ini, Grup Salim yang dipimpin taipan Liem Sioe Liong itu akan mendapat kompensasi dari Pemerintah berupa kemudahan untuk proyek mereka di Pulau Batam dan Pulau Bintan. Bahkan sebuah media mengungkapkan bahwa mereka mendapatkan hak penguasaan lahan seluas 590.000 hektare di Riau. Benarkah? Untuk kejelasannya, Sabtu pagi pekan lalu, Andi Reza Rohadian dari TEMPO mewawancarai Presiden Direktur PT Indofood Sukses Makmur, Sudwikatmono, yang lebih dikenal sebagai bos Grup Twenty One. Berikut petikannya: Benarkah Salim Group menyuntikkan dana US$ 500 juta ke Bapindo? Itu tidak benar. Media-media itu dapat sumber dari mana? Katanya mereka menganalisa keterangan Pak Menteri Keuangan yang menyebutkan bahwa untuk menutup kerugian, pihaknya bisa saja minta tolong ke swasta. Nah, itu kan tidak pasti. Maksud Pak Menteri kan kalau dananya kurang, ya logis minta bantuan ke swasta. Misalnya ke Indocement. Jadi, isu itu pasti ndak bener. Itu kan merugikan Pemerintah. Masa, hanya uang sebegitu harus minta dari swasta. Saya rasa Bapindo masih kuat. Kalau hanya Rp 2 triliun sampai Rp 3 triliun, sih, masih bisa. Jadi, sampai saat ini Pemerintah belum pernah meminta bantuan semacam itu? Belum. Memang rekening kami di BCA masih ada di Bank Indonesia. Besarnya, ya, US$ 500 juta. Nah, uang sebanyak itu akan kami gunakan untuk perluasan tiga pabrik di Sumatera, Kalimantan, dan Ujungpandang. Maksud kami agar daerah pemasaran di sana lebih ekonomis. Kalau dari sini (Jakarta) kan harus memperhitungkan transportasi, asuransi, dan sebagainya. Ujungpandang akan kami jadikan pemasok untuk daerah Indonesia Timur. Sebab, sudah banyak perusahaan yang sudah dan akan membangun di sana. Itu praktis butuh makanan. Apalagi sekarang pemasaran Indofood bukan main, terutama untuk instant noodle. Dulu cuma sekitar Rp 3 miliar, sekarang mencapai Rp 7 miliar. Kemudian ada juga yang diekspor ke Singapura, Malaysia, Hong Kong, Arab, Filipina, RRC, bahkan California. Nilainya mencapai 20%-25%. Untuk RRC, malah kami berencana membangun pabrik di sana, tapi bahan bakunya dari sini. Berapa nilai investasi yang di RRC? O, tidak banyak, tidak sampai US$ 10 juta. Ini baru untuk percobaan dulu. Kalau bagus pasarannya, akan kami tingkatkan. Dari mana dananya? Terus terang, uangnya bukan dari sini. Justru kami memberi contoh dengan menjual saham ke luar negeri. Tapi hasilnya kami transfer ke Indonesia dan akan kami investasikan di sini. Akan kami buktikan bahwa kami tidak mentransfer uang dari sini ke sana. Untuk yang di RRC itu, equity-nya hanya 10%, sisanya dari bank di sana. Jadi, tidak benar kalau kami dikatakan melakukan capital flight. Silakan mengecek ke BI, benar atau tidak. Bagaimana hubungan Indofood dengan Global Mark International Limited? Perusahaan itu non-capital. Jadi, karena di British Virgin Island (lokasi GMIL) perusahaan swasta internasional dimungkinkan invest di situ, ya, kesempatan itu kami gunakan. Ya, ini politik dagang. Supaya bisa menjual ke dunia internasional, kan harus PMA. Nah, kami bikin satu perusahaan di luar dan kerja sama dengan pengusaha luar. Baru kami bisa punya nama untuk ke dunia luar. Kan kami juga tidak menjual saham langsung, tapi mandatory exchange bonds. Itu nanti akan ditukarkan ke saham Indofood setelah go public. Setelah go public pun, kami tak bisa segera menjual, harus menunggu 6 sampai 8 bulan. Berapa harga saham per lembar yang dijual di Luksemburg? Kira-kira US$ 3,6 per lembarnya. Kapan persisnya saham Indofood ke bursa saham Luksemburg? Ya, sebulan lalu. Kan sebelumnya kami telah melakukan roadshow, ke New York, London, dan Luksemburg. Kebetulan di Luksemburg ada stock exchange dan di sini ternyata kami berhasil. Lain dengan yang di New York, saham kami tidak laku. Ini karena banyak perusahaan di New York yang tidak tahu Indonesia. Masa, ada pengusaha besar Amerika yang tanya Indonesia itu persisnya di mana. Gila nggak tu, ha-ha-ha.... Kalau Eropa pada umumnya tahu, karena di situ kan ada pasar tembakau, kopi, cokelat. Lalu dana yang Rp 150 miliar (hasil go public ISM) akan digunakan untuk apa? Kami akan bikin pabrik lagi. Mungkin yang 40% untuk pinjamannya. Kami kan sudah solid. Jadi, dalam meluaskan usaha, kami tak perlu utang sana-sini. Kami baru ekspansi jika ada uang masuk. Bahkan ada beberapa bank yang minta jangan dilunasi semua, ha-ha-ha.... Ya, kami mengerti. Bank kan hidupnya dari bunga. Ngomong-ngomong, berapa aset Indofood? Ya, kira-kira Rp 2 triliun. Bagaimana dengan proyek-proyek Salim Group di Batam dan Bintan? Anda tahu, Salim Group sudah mendapat izin untuk mengembangkan daerah Bintan dan Batam. Di Batam, kami sudah mendirikan sebuah pabrik, kerja sama dengan Singapura. Sedangkan di Bintan, kami akan membangun prasarananya seperti pelabuhan, hotel bintang tiga, dan pertokoan. Nah, itu semua membutuhkan modal. Bintan itu sangat bagus untuk investasi, karena di sana banyak industri. Di Bintan, selain membangun real estate, kami juga akan membuka industrial estate. Malah, Om Liem mau bikin Bintan jadi pelabuhan internasional. Tapi kan kami perlu modal. Di samping pinjaman, kami juga harus punya equity sendiri yang tidak boleh terlalu kecil. Minimal equity sendiri 40%, loan-nya 60%. Kalau terlalu besar loan (pinjaman), wah, berat. Sudah sejauh mana pembangunan proyek di Bintan itu? Sudah kira-kira 40%. Investasinya besar sekali. Untuk tahap pertama sekitar Rp 0,5 triliun. Tapi untuk jangka panjang, karena tanahnya ada yang disewa dari negara, maka kami harus membangun secepatnya. Dibandingkan dengan Batam, terus terang Bintan lebih menarik. Kenapa? Karena airnya melimpah, tenaga listriknya juga gampang. Lain dengan Batam. Buktinya, real estate kami di sana tidak laku. Padahal, di sana fasilitas sudah lengkap, ada pasar dan sebagainya. Kok bisa begitu? Ya, karena sarananya kurang memadai. Airnya saja tergantung air hujan. Belum lagi listriknya yang kembali dikelola PLN. Terus terang, kami nombok terus di Batam. Mau tak mau harus ada kemudahan-kemudahan dan kebijaksanaan yang menarik bagi investor, baru bisa berkembang. Jangan seperti sekarang, berkembang belum, harga tanah sudah dinaikkan. Berapa luas lahan Salim Group di Bintan? Ribuan hektare. Tapi pasnya saya tidak hafal. Sekarang Bintan sudah bagus. Karena sudah ada komitmen-komitmen dari Singapura yang ingin menanamkan modalnya untuk produk-produk yang di Singapura sendiri tidak dibolehkan, seperti industri berat atau garmen. Lalu, bagaimana dengan proyek di Riau yang disebut-sebut merupakan kompensasi dari Pemerintah untuk suntikan dana ke Bapindo? Benarkah luasnya 590.000 ha? Ya, jelas nggak ada hubungannya dengan yang US$ 500 juta tadi. Di sana kami kan mau membuat PIR (perkebunan inti rakyat) kelapa sawit. Kami juga mau memberi contoh agar pola yang dibuat Pemerintah itu bisa diterapkan masyarakat. Itu luasnya 40.000 ha. Dan secara bertahap, ya, sampai 590.000 ha. Tapi itu baru rencana. Kalau dibolehkan oleh pemerintah daerah, ya, secepatnya. Nanti, di atas tanah-tanah itu akan kami bikin bahan baku untuk menyuplai minyak goreng Bimoli untuk pabrik yang di Surabaya, Jakarta, Manado, Medan, Kalimantan. Dan hasil dari Riau itu akan kami ekspor. Pasarannya sudah ada di RRC dan Jerman. Nanti di sana diolah menjadi minyak goreng. Nah, minyak goreng ini dipakai untuk menggoreng mi instan tadi, ha-ha-ha. Di RRC juga kami akan bikin tepung terigu, yang bisa mencapai 600 ton per hari. Kemudian, kami bikin pabrik mi yang bahan bakunya dari sini. Begitu juga dengan plastiknya, dari Indonesia. Kan kami juga punya pabrik plastik. Walau di RRC ada pabrik plastik, kami dibolehkan mengekspor, karena ini kan satu paket. Ngomomg-ngomong, bagaimana jika Pemerintah benar-benar minta bantuan kelompok Salim? Lo, kalau Pemerintah minta bantuan, kita akan memperhatikan, dong. Tapi saya yakin, itu tidak mungkin. Malu, dong, Pemerintah. Tapi kalau toh Pemerintah memerintahkan Grup Salim membantu, ya..., menurut pandangan saya, Salim (maksudnya Liem Sioe Liong) itu loyal sekali. Lihat saja kasus Bank Duta, kan Salim tanggap sekali. Padahal, waktu itu dia tak diminta. Ini demi kelancaran. Toh nanti bisa kembali. Jadi, semacam bridging. Istilahnya, supaya mudah, ya hibah. Begitu juga soal Astra. Itu kan juga inisiatif Salim. Supaya tidak mengganggu keuangan Pemerintah, ya, ramai-ramai diambil alih. Itu beliau yang punya inisiatif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus