Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Celah Hukum Jasa Titip Barang

Para pelaku jastip tidak jera karena mereka tak terjerat oleh hukum. Aturan yang lemah menjadi penyebabnya.

13 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean (KPUBC TMP) C Soekarno-Hatta, Tangerang, memusnahkan 2.564 boks olahan pangan milk bun hasil sitaan petugas. Dok. Badan POM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • UU Kepabeanan telah menyediakan jerat pidana bagi pelaku jastip.

  • Namun para petugas Bea Cukai dinilai sulit untuk menerapkannya di lapangan.

  • Pelaku jastip pun tetap bebas dari ancaman penjara.

JAKARTA — Satu ton roti milk bun asal Thailand dimusnahkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Jumat, 8 Maret 2024. Roti itu hasil sitaan Kantor Bea Cukai Soekarno-Hatta dari 33 pelaku jasa titipan atau jastip internasional yang melintasi bandara internasional itu selama Februari 2024.

Kepala Kantor Bea Cukai Soekarno-Hatta, Gatot Sugeng Wibowo, mengatakan ribuan bungkus roti milk bun dengan merek After You tersebut melanggar aturan karena diduga akan diperdagangkan kembali di Indonesia. “Besar dugaan untuk tujuan komersial atau jasa titipan. Selain itu, penumpang tidak memiliki izin edar BPOM, yang merupakan syarat untuk membawa barang tersebut,” kata Gatot dalam keterangan resmi yang dikutip pada Ahad, 10 Maret 2024.

Gatot tidak merinci setiap penumpang itu membawa berapa banyak roti. Namun, menurut dia, hasil sitaan itu sesuai dengan prosedur berdasarkan Peraturan BPOM Nomor 28 Tahun 2023 tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan ke Dalam Wilayah Indonesia. Berdasarkan aturan tersebut, maksimal bawaan olahan pangan adalah 5 kilogram per penumpang. "Jika melebihi batas dan tidak disertai izin dari BPOM, maka atas kelebihannya akan dilakukan penindakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” kata Gatot.

Menurut Gatot, pelaku jastip diduga menjual roti itu secara langsung maupun di pasar daring atau marketplace. "Dijual di sini berlipat-lipat, bisa Rp 150 ribu bahkan sampai Rp 200 ribu dijual. Jadi memang untungnya luar biasa," ucapnya.

Pemusnahan 1 ton milk bun itu, kata Gatot, sekaligus bertujuan untuk melindungi masyarakat Indonesia dari serbuan makanan asal luar negeri. Selain itu, pemusnahan hasil sitaan ini merupakan bentuk transparansi dari penindakan. "Pembatasan dan penindakan ini juga untuk menggairahkan UMKM di dalam negeri. Kalau ini kita biarkan, UMKM kita akan mati. Tentunya mengurangi produksi dalam negeri," ujar Gatot.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ilustrasi milk bun Thailand. Dok. Bea Cukai

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fenomena jastip marak dalam beberapa tahun belakangan ini. Meskipun Direktorat Bea Cukai maupun polisi di berbagai pintu masuk Indonesia kerap menyita barang para pelaku, hal itu nyatanya tak membuat efek jera. Aturan mengenai barang bawaan dari luar negeri diatur melalui UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan. Pasal 102 Undang-Undang Kepabeanan menyebutkan pelaku yang sengaja menyembunyikan barang impor bisa dipidana dengan ancaman hukuman 1 tahun penjara. Namun, dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 203/PMK.04/2017, dijelaskan bahwa setiap penumpang bisa membawa barang dari luar negeri dengan nilai maksimal US$ 500.

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan bahwa tak munculnya efek jera para pelaku jastip karena aturan dalam undang-undang itu tak secara tegas mengatur soal upaya penyelundupan berkedok bawaan pribadi tersebut. Fikar menyatakan, dalam UU Kepabeanan, seseorang hanya dapat dipidana jika jumlah barang bawaan berskala besar, sementara bagi para pelaku jastip, hanya dikenakan sanksi administrasi berupa membayar bea masuk.

Celah aturan ini, menurut Fickar, yang kerap digunakan para pelaku jastip untuk melancarkan aksinya. “Jika dalam jumlah kecil lebih berupa pelanggaran administratif. Lain halnya dalam jumlah besar (berkapal-kapal) menjadi penyeludupan,” kata Fickar kepada Tempo, Selasa, 12 Maret 2024.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey mengatakan pemasukan barang dari luar negeri ke Indonesia dengan dibawa langsung seperti ini terbagi dua jenis, controllable dan uncontrollable. Barang controllable biasanya dipakai oleh pembawa untuk kepentingan pribadinya, sementara barang uncontrollable biasanya dibawa untuk dijual kembali di dalam negeri. “Uncontrollable ini cukup besar, perbandingannya bisa 80-85 persen dari controllable,” kata Roy.

Menurut Roy, para pelaku jastip sulit dijerat secara pidana karena mereka biasanya berdalih barang bawaannya itu untuk digunakan sendiri. Petugas Bea Cukai, menurut dia, juga kerap kesulitan dalam membuktikan jika barang tersebut untuk dijual kembali. Selain itu, para pelaku jastip disebut memiliki berbagai trik untuk mengakali petugas Bea Cukai ketika mendarat di bandara maupun pelabuhan. Mulai dari membagi muatan kepada penumpang lainnya maupun membuka bungkusan agar seolah-olah barang itu merupakan bekas pemakaian pribadi.

Bagi Roy, maraknya bisnis jastip ini sangat merugikan, utamanya bagi pelaku usaha industri retail. Pasalnya, para pelaku jastip tidak membayar bea impor barang dan pajak lainnya seperti para pelaku usaha retail. Pelaku jastip, menurut dia, hanya wajib membayar bea masuk jika barang yang mereka bawa memiliki nilai di atas US$ 500. “Kalau kita impor barang itu kan ada bea masuknya, ya. Jual barang, kita dikenakan PPn. Kalau barang mewah, ada lagi PPnBM. Jastip ini kan tidak,” kata Roy.

Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean (KPUBC TMP) C Soekarno-Hatta, Tangerang, memusnahkan 2.564 boks olahan pangan milk bun hasil sitaan petugas. Dok. Badan POM

Untuk itu, kata Roy, perlu pengetatan di gerbang bea cukai bagi pelaku usaha jastip. Ia mengatakan petugas harus mulai memiliki insting apabila seseorang membawa barang dari luar negeri yang diindikasikan sebagai pelaku usaha jastip. “Pengalaman saya, sekarang itu pemeriksaan (di gerbang keimigrasian) random. Kalau mau, jangan gitu, terapkan masuk ketat, keluar juga ketat,” kata dia.

Dengan begitu, kata Roy, para pelaku jastip ini juga dikenakan perlakuan yang sama dengan pelaku usaha yang hendak memasukkan barang impor dari luar negeri untuk masuk ke Indonesia.

Berdasarkan penelusuran Tempo di platform media sosial Facebook, kurang-lebih ada 50 grup yang membahas soal titip-menitip barang dari luar negeri. Anggota grup itu pun beragam, dari diisi ratusan hingga ribuan orang. Para pelaku jastip itu biasanya mengambil untung 5-15 persen dari harga normal suatu barang.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengakui volume jastip setiap tahun terus meningkat. Jika tidak segera ditindak tegas, menurut dia, hal ini bakal berdampak besar bagi pelaku bisnis di dalam negeri. “Membuat konsumen lebih berniat lakukan jastip dibanding membeli produk dalam negeri,” kata Bhima saat dihubungi Tempo, Selasa, 12 Maret 2024.

Bhima menyatakan, untuk sejumlah barang tertentu, jastip ini menguntungkan konsumen karena bisa mendapatkan barang dari luar negeri dengan harga yang relatif lebih murah. Alasannya, konsumen tidak perlu membeli barang sesuai dengan prosedur impor resmi yang rumit dan tak perlu membayar bea masuk yang mahal. “Ini terutama konsumen kalangan menengah atas, ya,” kata dia.

Untuk itu, kata Bhima, jasa jastip ini perlu mulai diawasi lebih ketat karena sudah menjadi pesaing produk sejenis di dalam negeri. Selain itu, negara kehilangan sumber pendapatan dari bea masuk dalam jumlah cukup besar.

Meski demikian, dia menilai penindakan terhadap pelaku jastip secara lebih ketat bisa menjadi buah simalakama. Jika tidak diketatkan, akan terus menjamur dan dapat merusak pasar. Tapi jika diketatkan, berpengaruh terhadap pariwisata di Indonesia. “Memang ada dilema juga. Kalau pengawasan terlalu ketat bagi penumpang individu, nanti dianggap tidak pro-pariwisata. Tapi kalau dibiarkan terus, akan mengambil ceruk pasar dalam negeri yang besar,” kata dia.

ADE RIDWAN YANDWIPUTRA | ANNISA FEBIOLA | JONIANSYAH HARDJONO

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ade Ridwan Yandwiputra

Ade Ridwan Yandwiputra

Memulai karir jurnalistik di Tempo sejak 2018 sebagai kontributor. Kini menjadi reporter yang menulis isu hukum dan kriminal sejak Januari 2024. Lulusan sarjana Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Institut Bisnis dan Informatika Kosgoro 1957.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus