IMPIAN Darni menimang anak, ternyata, sia-sia. Karena wanita 21 tahun ini tega minggat dari suaminya yang tak memberinya keturunan. Kemudian Darni kumpul kebo dengan Asmiran, 30 tahun. Tapi karena lelaki itu pula dia diadili pekan depan di Pengadilan Negeri Blora. Dinihari, 23 Mei 1987, Desa Temengeng, 6 km sebelah barat dari ruas jalan raya Cepu Blora, tersentak dari sepi. Darni memekik panjang, "Tolong, toloong. Miran matiii. Toloong!" Marjo, 50 tahun, ayah Asmiran, yang tinggal di sebelah, tergopoh-gopoh lari ke rumah calon menantunya itu. Di depan pintu, ia melihat anaknya, Asmiran, terbujur bermandikan darah -- beberapa detik kemudian denyut nadinya berhenti, mengembuskan napas terakhir. Ratap tangis keluarga Marjo meledak. Para tetangga ingar-bingar. Dan galau bertambah, tatkala Darni menyelinap ke rumah Mario. Ia mencoba bunuh diri dengan seutas tali. Tapi Gito, 18 tahun, adik Asmiran, sigap mencegah perbuatan nekat itu. Paginya, Darni hampir tamat riwayatnya seandainya tali yang melilit lehernya tak putus. Tragedi buatan ini agaknya direncanakan oleh penjual kue di desa itu. Malam itu Darni masih memijat-mijat Asmiran, sebelum lelaki itu pergi ke rumah Marjo -- nonton TV yang menyiarkan pertandingan tinju Little Pono melawan Little Baugio dari Filipina. Darni tak tahu kapan Asmiran pulang. Ketika ia terbangun pada pukul 02.00 dilihatnya bekas anggota Kopassus itu tertidur di tikar, di depan pintu kamar. Lalu perempuan itu teringat kembali pada ancaman Asmiran, siangnya. "Kalau sampai nanti malam kamu belum mau menjual rumah dan sawahmu, saya tak tanggung kalau nanti malam terjadi sesuatu atas dirimu," ucap Asmiran. Ulah lelaki yang kerap memukulinya itu bermain kembali di benaknya -- yang sekonyong kini membuat Darni timbul benci. Apalagi setelah hidup kumpul kebo 6 bulan, Asmiran belum juga menepati janjinya: status hubungan mereka yang masih "tergantung tanpa tali" itu. Semula Darni bersuamikan Basyiran. Kemudian, petani lugu ini malah tak keberatan jika istrinya kumpul kebo dengan Asmiran. Asal syarat dari dia itu dipenuhi: Asmiran mengurus perceraiannya dengan Darni. "Oke," balas Asmiran. Lalu pada 3 Februari lalu Asmiran membikin surat pernyataan bahwa ia mau membayar Basyiran sebesar Rp 100 ribu sebagai imbalan, karena mau bercerai dengan Darni. Rentetan peristiwa itulah yang membikin pikiran Darni galau. Tak lagi terkendali. Dengan berjingkat-jingkat, lalu Darni keluar rumah, mengambil batu 11 kg dari dekat sumur. Ketika ia sudah di dalam lagi, perempuan montok itu kemudian mengayunkan batu itu, sekuat tenaga, ke kepala Asmiran. Gebrakan pertama mengenai kening dan pelipis lelaki itu, belum melumpuhkan Asmiran. Bahkan masih bisa mengerang. Tetapi Darni, yang tamat SD itu, kini malah bagai kesetanan. Ia kembali menghantamkan batu itu, dua kali lagi. Kali ini, gigi seri atas dan kedua rahang atas Asmiran copot. Darah muncrat, deras, menyapu dinding rumah. Bertolak dari bukti batu itu, keterangan saksi, dan hasil visum, polisi jadi yakin bahwa Darni yang membunuh Asmiran. Sedangkan protes Marjo, yang tak percaya anaknya dihabisi sendiri oleh Darni, belum didukung bukti kuat. "Bisa saja dilakukan Darni sendiri. Dia masih muda dan bertubuh kekar," kata Kapolres Blora, Letkol Drs. Da'i Bachtiar, pada Rustam F. Mandayun dari TEMPO. Kisah Darni-Asmiran ini hingga kini masih jadi buah bibir masyarakat di sana. Maklum. Asmiran sebenarnya masih punya istri, sah, dengan lima anak. Setelah keluar dari kesatuannya tahun lalu, ia pulang kampung, membantu ayahnya bertani dan ke sawah. Dan, sejak itu, diam-diam, dia cari pasangan kebo dan tak lagi serumah dengan Kasmi, 26 tahun, yang belum diceraikannya. "Pernikahan kami dulu tak direstui orangtuanya," kata Kasmi. Belakangan ia pasrah saja setelah tak serumah dengan suaminya. "Mau ikut keluarga saya, dia malu. Saya juga ogah bersama mertua," tambah Kasmi pada TEMPO. Dia memang tak membenci dengan tingkah sang suami. Asmiran mengajukan kilah yang sepertinya masuk akal. "Darni itu hanya minta keturunan dari saya. Nanti pada suatu saat, toh, kita bisa hidup bersama lagi," kata perempuan yang tabah ini, mengutip alasan Asmiran. Kini, Kasmi tentu sangat berduka atas kematian suaminya itu. Sebaliknya, Basyiran tenang-tenang saja. Nahas yang menimpa Darni ini dinilai sesuai dengan perbuatannya sendiri. "Dulu sudah saya peringatkan. Tapi mereka tak mau tahu," katanya. Kini, duda itu sedang mempersiapkan perkawinannya, untuk ketiga kalinya, dengan seorang janda lain. Masih di desa Temengeng itu. Bersihar Lubis, Laporan Biro Yogya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini