DENGAN kecepatan 50 km per jam, sepeda motor Yamaha merah yang dikendarai Wang Lai Thiam, alias Rudy, membelah Jalan Sudirman, Medan. Nahas. Di bundaran jalan itu, Rudy dipepet Daihatsu Taft hitam yang tak jelas pelat polisinya. Rudy tak mampu mengendalikan motornya. Dia dan temannya, Go Lin Hau, alias Budi, 18 tahun, yang membonceng, sempat terjajar di aspal, kemudian terempas ke pinggir jalan. Kecelakaan pada Kamis sore 30 Juli lalu itu tak membikin mereka cedera. Tapi sial lain menyusul. Serda Nasir, anggota Polantas yang sedang jaga di sana, mendatangi Rudy dan Budi. Nasir langsung meminta kedua anak muda itu naik ke mobil patroli Polantas. Budi tak sempat mengemasi helm dan jam tangannya yang jatuh di jalan itu. "Kami ketakutan," kata Rudy kepada TEMPO. Di kantor Satlantas Poltabes Medan, di Jalan Adinegoro, menurut Rudy dan Budi, mereka dimasukkan ke dalam kamar periksa. Di situ, sudah menunggu 7 anggota Polantas. Di antara mereka terdapat seorang Polwan. "Pintu ditutup," cerita Rudy lagi. Ia dan Budi semakin kecut. Betul. Seorang oknum Polantas yang memakai jaket cokelat, seperti cerita Budi lagi, tanpa diduga meninju perutnya. Lalu polisi berjaket itu menendang perut Rudy dengan sepatu lars-nya. Keduanya minta ampun. Jawabannya: sebuah tinju menggoyang perut Budi. "Jangan, Pak, jangan," Budi merengek. Namun, Pak Polisi itu tak menggubris. Nasib keduanya memang lagi apes. Dua buah rambu lalu lintas berbentuk kerucut disodokkan pula ke kepala Rudy dan Budi. Kemudian alat itu dikocok-kocok lagi, sampai jadi "sarang" di kepala keduanya. Bahkan, biji mata mereka terhalang melihat, karena ditutup benda kerucut itu. Tak lama, begitu kata Budi, rambu-rambu itu dicabut. Kemudian dilanjutkan lagi, dipukulkan ke tengkuk Budi yang pendiam itu. Terdengar suara salah seorang oknum itu, "Lain kali jangan mengejek Polantas, ya. Kami sudah capek mengatur lalu lintas." Suara lain meningkah keras, seperti dikutip anak ini, "Kipas saja." Maksudnya, oknum polisi lain yang belum ambil bagian supaya ikut membalbal Budi dan Rudy. Rudy dan Budi mana tahan kalau terus beruntun digebuk kayak begitu. Para oknum polisi itu lalu mengerubut kedua pelajar kelas I SMA Wage Rudolf Supratman, Medan, itu. Terjangan, sikutan, tonjokan, mengalir bagai air. Sesekali pintu berderik tanda dibuka. Oknum yang lain masuk, dan ikut ambil bagian meramaikan suasana. "Saya belum dapat bagian." Dan yang lain "Ah, biar cuci tangan dulu." Sampai suatu saat, Rudy mengerang panjang. Satu sentakan keras sepatu lars menerpa bahunya. Sakitnya bukan main. Rudy minta tolong. Tulang bahunya patah. Sedihnya, sang polisi tak percaya Rudy kesakitan."Kau pura-pura saja," kata polisi itu. Lalu, sebuah tinju telak ke bahu Rudy, yang tulangnya sudah patah itu. Anggota Polwan ikut emosional. Ia menampar pipi kedua remaja itu. Kali yang lain, ada anggota Polantas yang sengaja melaga kepalanya dengan kepala Rudy. Dan kepala Rudy dibenturkan ke kepala Budi. Mirip seperti kambing berlaga. Kejadian itu rupanya sempat dicuri lihat Martunis, 18 tahun. Sore itu mereka bertiga berjanji memancing ke Sungai Sunggal, di pinggir kota. Ketika Rudy dan Budi terjatuh di bundaran tadi, Martunis, yang juga membawa motor, berada di belakang kedua teman sekolahnya itu. Martunis tak luput mendapat bagian bogem. Tapi dia berani melarikan diri dari kantor Polantas itu. Dia segera melapor kepada A Hok, paman Budi. A Hok segera memburu ke kantor Polantas itu. Ketika dia melongok ke kamar periksa tersebut, dilihatnya Sertu Agus Santoso meninju perut kemanakannya. Menjelang magrib, Wang Siong Hai, alias Budiman, kakak Rudy, datang membawa pengacara, Yusuf Sulaiman, S.H. Setelah tiga jam lebih "direndam" di kamar periksa itu, barulah keduanya dilepaskan. Tapi keduanya sudah lembam-lembam. Dan surat tilang untuk Rudy pun diberlkan -- walau sebenarnya sejak awal harus diberikan. Kesalahan mereka: "ngebut". Hanya itu satu-satunya alasan. Karena Rudy mempunyai surat-surat lengkap. Rudy dan Budi kemudian segera dibawa keluarganya berobat ke RS Dewi Maya. Rudy sampai sekarang masih terbaring di rumah sakit itu. Pekan ini, tulang bahunya dioperasi. Akan halnya Budi, hanya dua hari di rumah sakit. Selanjutnya dia berobat jalan ke sinse. Namun, kini dia sering batuk. Menurut Rudy, mereka tak pernah mengejek pengeroyoknya. Dia tak tahu nama polisi yang lancang tangan terhadap mereka. Tapi, bila mau dikonfrontir nanti, katanya, dia bisa ingat siapa orangnya. "Jumlah mereka lebih dari sepuluh orang," kata Rudy lagi. Sedang ibu Rudy, Nyonya Chai, menyesalkan sikap oknum polisi yang katanya kok suka main hukum rimba itu. "Kalau anak saya memang bersalah, hukum saja. Jangan disiksa," kata Nyonya Chai. Rudy, menurut Nyonya Chai, tak pernah diketahuinya ngebut. Prestasi Rudy di sekolahnya memang biasa-biasa saja. Tapi Rudy, si anak bungsu, menurut mamanya itu, paling jujur di antara empat bersaudara. Kini, kasus penganiayaan yang dilakukan para oknum tersebut sedang diperiksa Provost Poltabes Medan. "Perbuatan tersebut jelas main hukum rimba," kata Yusuf Sulaiman, S.H. Sumber TEMPO di Poltabes Medan mengatakan, para anggota Polantas itu memang terpancing marah. Katanya, itu bisa terjadi karena Rudy dan Budi menantang Serda Nasir. "Kami tak salah. Tak ada ngebut," begitu ucap Rudy, seperti ditirukan Serda Nasir sendiri. Padahal, kata Nasir, dia jelas melihat Rudy ngebut. "Sikap keduanya pun seperti ngejek saya". Kapolda Sum-Ut, Brigjen M.H. Ritonga, kini sangat serius menanggapi perbuatan beberapa anggota Bhayangkara itu. "Periksa kasus itu secepatnya," perintah Ritonga kepada bawahannya -- seperti dikutip Letkol Yusuf Umar, Kadispen Polda Sum-Ut, kepada TEMPO. Monaris Simangunsong, laporan Biro Medan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini