DEWI ZULFAH naik ke loteng rumah. Gadis 17 tahun itu kemudian memakai telekung. Dia hendak salat magrib. Ketika memulai takbiratul ihram, seseorang berkali-kali memukul bagian belakang kepalanya dengan kayu pikulan air. Dewi sempoyongan, dan kandas ke lantai. Pukulan terus berlangsung ke tangan dan dada. Lehernya dicekik. Dewi tewas. Setelah itu, seperti dalam film horor Love Vampire, orang tadi mengangkat mayat Dewi yang berkulit kuning langsat itu, lalu ditelentangkan di tempat tidur. Dan, ya Allah, jenazah tersebut justru ia perlakukan seperti istrinya. Tapi ada Kaminah, 60 tahun, dan cucunya Lindawati, 14 tahun, hingga kejadian itu cepat terungkap. Keduanya teman Dewi yang setiap hari bersalat jamaah di masjid dekat rumah Dewi di Jalan Perjuangan Gang Minang, Medan. Karena Dewi tak datang menjemputnya, Kaminah mengajak Lindawati menjenguk Dewi. Mereka naik ke loteng rumah itu dan menyaksikan tubuh Dewi yang sudah kaku. Pakaiannya tak tentu. Telekung terserak di lantai. Dari mulut Dewi masih mengalir darah segar. Polisi segera turun ke tempat kejadian ngeri itu setelah dapat laporan dari masyarakat. Hari itu juga, 23 Maret lalu, tak sulit bagi polisi melacak jejak pelaku. Orang itu, Amir Hamzah, alias Cempluk, 53 tahun. Tak pernah orang menduga Cempluk, ayah tiri Dewi, setega itu. Ia selama ini tak terdengar berulah onar. Cempluk yang bertubuh kekar, gemetar ketika diringkus polisi. Cempluk, yang sehari-hari bekerja sebagai kondektur bis, Medan-Belawan itu mengaku membunuh Dewi lantaran cemburu. Anak tirinya itu bercinta dengan Marhan (begitu saja namanya kita sebut). Cempluk mengakui kepada TEMPO bahwa perasaannya mendongkol ketika malam Minggu -- dua hari sebelum Dewi dibunuhnya anak itu dilihatnya bermesraan di tempat gelap dengan Marhan. Dengan marah, Cempluk memanggil Dewi supaya pulang. Di rumah, di depan tetangga yang menonton siaran televisinya, Cempluk menasihati Dewi. Tapi Dewi menjawabnya kasar, "Anumu itu...." Cempluk mengaku penasaran dan malu dimaki seperti itu. Apalagi di depan para tetangga. Menurut Cempluk, Dewi berani memakinya seperti itu mungkin karena dia sudah empat kali bersebadan dengan anak tirinya itu. "Saya sudah lama jatuh hati pada Dewi," kata Cempluk. Perasaannya berbibit begitu sejak 1975 ia menikah dengan Umi Kalsum, 43 tahun, ibu Dewi. Ketika itu ia juga sering memandikan Dewi, dan memanjakannya. Tapi, anehnya, dia juga tak setuju Dewi bercinta dengan lelaki lain. Makanya, Cempluk mengusulkan kepada Umi Kalsum, supaya Dewi dikirim saja kepada ayah kandungnya, Don Mi, 45 tahun, di Banda Aceh. Cempluk bingung. Malah Umi Kalsum meminta Cempluk menyuruh pihak Marhan melamar Dewi. Dengan kata lain, percintaan Dewi dengan Marhan tak menemui hambatan. "Daripada Dewi diambil orang, lebih baik tidak untuk siapa-siapa," kata Cempluk. "Pembunuhan itu direncanakan," kata Jaksa Ahmad Masir Siregar, yang menyeret Cempluk ke sidang Pengadilan Negeri Medan, akhir Juli lalu. Cempluk memang mengaku. Beberapa hari sebelumnya dia memotong kayu. "Ini untuk pikulan air," kata Cempluk kepada Umi Kalsum. Padahal, pikulan air itulah yang dijadikan senjata untuk membunuh Dewi. Cempluk menunjukkan penyesalannya. Sebelum ditangkap, dia nekat terjun ke Sungai Deli. Tapi dilihat oleh seorang penarik becak. Melalui penarik becak itu, Cempluk mengirim surat untuk istrinya. Katanya, "Saya sudah bosan tinggal di kampung ini. Nasi sudah jadi bubur. Maaf atas perbuatan saya." "Hilang suami masih bisa dicari. Hilang anak, tak bisa diganti," katanya kepada TEMPO. Dan Umi Kalsum berharap, suaminya itu dihukum berat. "Kalau perlu, dihukum mati," kata Umi Kalsum. Dakwaan jaksa, menggiring Cempluk pada pelanggaran pasal 340 KUHP. "Dia diancam hukuman mati, bisa seumur hidup, atau penjara 20 tahun," kata Ahmad Masir Siregar. Cempluk menyatakan pasrah menerima hukuman apa pun yang bakal diberikan padanya. Monaris Simangunsong, Laporan Makmun Al Mujahid (Biro Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini