Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pada 8 November tahun 1984 yang lalu, Arie Hanggara, anak umur 7 tahun yang saat itu masih duduk di bangku kelas 1 SD, meninggal tragis di tangan orang tuanya sendiri akibat kekerasan yang mereka lakukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arie Hanggara lahir di Bogor pada 21 Desember 1977 dan merupakan korban dari ayahnya, Machtino, dan ibu tirinya, Santi. Peristiwa pilu ini menjadi sorotan media massa dan publik, yang kemudian diangkat ke layar lebar dalam film Arie Hanggara pada 1985.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kisah pilu Arie Hanggara yang disiksa orang tuanya tetap menjadi kenangan buruk dan referensi penting terhadap peradilan kasus serupa di Indonesia. Arie Hanggara adalah anak kedua dari pasangan Machtino Eddiwan dan Dahlia Nasution, meskipun hubungan rumah tangga mereka sudah tidak utuh. Arie dibawa oleh ayahnya ke rumah selingkuhannya yang bernama Santi, meski mereka belum resmi menikah. Santi sering dianggap sebagai ibu tiri Arie.
Arie Hanggara bersekolah di Perguruan Cikini, Jakarta Pusat, dan dikenal sebagai siswa yang periang serta pandai bergaul dengan teman-temannya oleh guru-gurunya. Namun, ibu tirinya, Santi, memiliki pandangan yang berbeda, menganggap Arie sebagai anak yang nakal dan sulit diatur.
Kisah Arie Hanggara, bocah berusia 7 tahun yang tewas di tangan kedua orang tuanya menjadi catatan gelap perlindungan anak di Indonesia.
“Arie namanya. Ia mati dihukum ayahnya. Mungkin anak kita tidak. Tapi benarkah kita tidak kejam?” tulis Majalah Tempo edisi Desember 1984 pada halaman pertamanya sebagai artikel utama.
Menurut laporan Majalah Tempo, Arie dipukul, ditampar, ditendang, dan disuruh melakukan gerakan jongkok dan berdiri secara terus-menerus hingga kelelahan. Bahkan, kepala Arie terkadang dibenturkan ke tembok dan dirinya dikurung di kamar mandi.
Di meja persidangan, ayah Arie Hanggara, Machtino Eddiwan divonis 5 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sementara itu, ibu tirinya, Santi, hanya divonis selama 2 tahun sebab dinilai sekadar membantu Machtino dalam melakukan aksinya.
Mengenai tuntutan hukuman berat untuk kedua pelaku yang merupakan orang tua korban, Ketua Komnas PA saat itu, Arist Merdeka Sirait, mengacu kepada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam undang-undang tersebut, pasutri ini dapat dikenakan hukuman pidana penjara hingga 20 tahun. Selain itu, hukuman tersebut bisa ditambah dengan sepertiga dari hukuman pidana pokoknya, sehingga bisa menjadi pidana seumur hidup.
Arist menekankan bahwa dalam situasi apapun, tidak ada alasan atau toleransi terhadap perampasan hak hidup seseorang, terutama anak kandungnya, dengan cara menganiaya, menyiksa, dan mengakibatkan kematian.
Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, juga merasa prihatin terhadap kasus pembunuhan anak yang dilakukan oleh orang tuanya. Dia mengingatkan bahwa pelaku pembunuhan anak, terutama jika mereka adalah orang terdekat korban, dapat dikenakan hukuman berat sesuai dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukuman tersebut mencakup hukuman maksimal 15 tahun, yang dapat diperberat hingga 20 tahun jika pelaku adalah orang terdekat korban.
ANGELINA TIARA PUSPITALOVA I ACHMAD HANIF IMADUDDIN I SDA