Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kasus pagar laut di Kabupaten Tangerang menarik tiga lembaga penegakan hukum, yakni Bareskrim Polri, Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi turun tangan. Namun belakangan Kejagung menarik diri dari pengusutan pembuatan pagar bambu sepanjang 30,16 kilo meter di perairan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar mengatakan, pihaknya tidak lagi mengusut dugaan tindak pidana atas terbitnya Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) pagar laut di perairan Tangerang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, perkara itu kini sepenuhnya ditangani oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.
“Dalam kaitan ini Polri sudah masuk penyidikan maka kami mendahulukannya,” kata Harli melalui pesan tertulis kepada Tempo, Minggu, 16 Februari 2025.
Harli mengatakan langkah itu diambil berdasarkan nota kesepahaman (MoU) antara Kejaksaan Agung, Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dia mengatakan dalam MoU itu disepakati jika salah satu lembaga sudah menangani suatu perkara, maka lembaga lain tidak perlu terlibat.
Harli menjelaskan dalam kasus pagar laut Tangerang, objek perkaranya adalah penerbitan sertifikat. Polri, kata dia, saat ini mengusut dugaan pemalsuan dokumen atas terbitnya SHGB dan SHM di atas wilayah perairan itu.
“Kalau ada pemalsuan, pertanyaannya kenapa? Apakah karena suap atau gratifikasi atau murni tindak pidana umum, itu Polri sedang menyidik,” kata Harli.
Maka, dia melanjutkan, pemalsuan dokumen hanyalah pintu pertama untuk masuk ke dugaan tindak pidana lainnya, seperti suap atau gratifikasi. Untuk menyelidiki dugaan gratifikasi atau suap, ujar Harli, mesti didahului keterangan saksi bahwa ada dugaan pidana.
Menurut Harli, belum ada keterangan yang mengarah pada tindak pidana suap atau gratifikasi tersebut. “Suap atau gratifikasi harus ada keterangan bahwa seseorang menerima atau memberi hadiah yang diselaraskan dengan bukti lainnya,” kata dia.
Meski demikian, Harli mengatakan Kejaksaan Agung tetap memantau penanganan perkara tersebut. “Tentu tugas aparat penegak hukum melakukan monitoring, baik diminta atau tidak, terhadap suatu peristiwa pidana,” katanya.
Bareskrim Periksa 44 Saksi
Penanganan kasus pagar laut Tangerang sedang bergulir di Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri. Informasi terakhir, penyidik telah memeriksa 44 orang saksi.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Djuhandani Rahardjo Puro mengatakan juga sudah memeriksa Kepala Desa Kohod Arsin sebagai saksi
Djuhandani mengatakan, Arsin diduga terlibat pemalsuan warkah yang dijadikan dasar pengurusan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di perairan lepas pantai Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang.
Selain Arsin, sejumlah kepala desa lain yang wilayahnya bersinggungan dengan SHGB dan SHM pagar laut juga turut diperiksa. “Apakah ini patut ditingkatkan sebagai tersangka atau keterlibatan lainnya, dikembangkan dalam penyidikan lebih lanjut,” ujar Djuhandani.
Menurut Djuhandani, penyidik menemukan unsur pelanggaran pidana berupa pemalsuan warkah yang dipakai untuk mengurus SHGB dan SHM. Dokumen yang diduga palsu itulah yang kemudian diajukan kepada kantor pertanahan Kabupaten Tangerang. Dugaan tindak pidana ini melanggar Pasal 263 KUHP, Pasal 264 KUHP, Pasal 266 KUHP, serta Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Bareskrim Polri menyatakan masih menunggu hasil uji laboratorium forensik (labfor) dalam penanganan kasus dugaan pemalsuan sertifikat hak guna bangunan (SHGB) dan sertifikat hak milik (SHM) terkait pagar laut di Kabupaten Tangerang, Banten.
“Hanya tinggal pembuktian-pembuktian terkait barang yang palsu. Tentu saja ini secara saintifik akan dibuktikan oleh penyidik melalui uji labfor,” kata Djuhandhani Rahardjo Puro di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat, seperti dikutip Antara.
Adapun tahapan pemeriksaan saksi, kata dia, sudah selesai dilakukan dengan memeriksa 44 saksi, salah satunya adalah Kepala Desa Kohod, Arsin.
“Untuk proses yang di Kohod, saat ini kita sudah memeriksa semua. Tinggal kita memformalkan terkait hasil uji labfor. Jadi, kita sudah tidak ada pemeriksaan-pemeriksaan lagi,” ucapnya.
Nantinya, hasil labfor akan menunjukkan absah atau tidaknya SHGB dan SHM yang menjadi objek penyidikan kasus ini serta akan menjadi bahan untuk melanjutkan ke tahapan gelar perkara.
“Kemungkinan dalam beberapa hari ini dari labfor sudah bisa memberikan kepastian sehingga kami segera bisa menentukan apakah sudah bisa untuk penetapan tersangka atau tidak,” ujarnya.
Dua Lembaga Jangan Tangani Satu Kasus
Pengamat hukum Haidar Alwi mengatakan, kasus pagar laut Tangerang yang ditangani oleh tiga lembaga penegak hukum, mulai dari Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), KPK dan kejaksaan tidak efisien.
Polri mengusut dugaan pidana umumnya, sedangkan KPK dan kejaksaan sama-sama mengusut dugaan pidana korupsinya.
"Antara KPK dan kejaksaan, dua lembaga penegak hukum, yang menangani satu kasus korupsi jelas tidak efisien dan menyebabkan ketidakpastian hukum," tutur dia.
Untuk menghindari hal seperti itu, kata dia, KUHAP yang berlaku saat ini mengatur pemisahan fungsi kewenangan lembaga penegak hukum, yakni Polri dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut umum, dan hakim sebagai pengadil.
Sementara itu, KPK sebagai lembaga ad hoc yang diberi tugas khusus dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dengan gabungan fungsi penyidikan sekaligus penuntutan.
Namun, kata Alwi, kewenangan jaksa sebagai penyidik tindak pidana tertentu dalam UU Kejaksaan telah mengganggu keteraturan penegakan hukum tersebut.
"Padahal, tindak pidana tertentu bukan hanya korupsi. Kini jaksa terkesan lebih 'KPK daripada KPK' hingga menutupi fungsi utamanya sebagai penuntut umum," kata Haidar seperti dikutip Antara, Rabu lalu.
Selain itu, ketidakpastian hukum akibat kewenangan berlebih jaksa, sambung dia, tercermin pula dari kasus timah. Kehebohan kasus timah sebagai kasus korupsi terbesar di Indonesia bertolak belakang dengan vonis hakim.
Dampaknya, lanjut dia, bukan hanya merugikan pelaku dan keluarga karena telanjur mendapatkan predikat koruptor terbesar, tetapi juga merugikan hakim karena dinilai sebagai pihak yang prokoruptor.
"Padahal, itu terjadi karena kegagalan jaksa membuktikan tuntutan dan dakwaannya di pengadilan," katanya.
SHGB Miliki Agung Sedayu Group
Terdapat 263 bidang sertifikat hak guna bangunan dan hak milik (SHGB/SHM) di area pagar laut yang tertera di perairan Kabupaten Tangerang, terdiri atas 234 bidang SHGB atas nama PT Intan Agung Makmur, 20 bidang SHGB atas nama PT Cahaya Inti Sentosa, dan sembilan bidang atas nama perseorangan. Selain itu, ditemukan juga 17 bidang sertifikat hak milik (SHM) di kawasan tersebut.
Agung Sedayu Group (ASG) mengakui bahwa Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di perairan Kabupaten Tangerang itu adalah milik anak usaha mereka, PT Cahaya Intan Sentosa (CIS) dan PT Intan Agung Makmur (IAM). Perusahaan milik taipan Aguan itu mengklaim mendapatkannya sesuai prosedur.
Kuasa hukum Agung Sedayu Group, Muannas Alaidid, melalui keterangan tertulis yang diterima di Tangerang, Jumat, 24 Januari 2025, menjelaskan bahwa dari kepemilikan SHGB atas nama anak perusahaannya itu tidak mencakup keseluruhan luasan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer (km).
"SHGB di atas sesuai proses dan prosedur. Kita beli dari rakyat SHM (sertifikat hak milik)," katanya seperti dikutip Antara.
Namun Agung Sedayu mengklaim tidak mengetahui soal pembuatan pagar laut. "Pagar laut bukan punya PANI (Pantai Indah Kapuk 2 Tbk), dari 30 km pagar laut itu kepemilikan SHGB anak perusahaan PIK PANI dan PIK Non PANI hanya ada di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji saja di tempat lain dipastikan tidak ada," katanya.