Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Terkait polemik Tes Wawasan Kebangsaan atau TWK yang dilakukan pimpinan Komisi Pemberantas Korupsi atau KPK, Firli Bahuri, Komnas HAM mengagendakan pemanggilan paksa Ketua KPK yang pada pekan lalu, Firli Bahuri mangkir dari panggilan tersebut.
Sementara itu Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengungkap, pemanggilan paksa terhadap pihak yang dipanggil diatur dalam Pasal 95 UU 39 tahun 1999 tentang HAM. Dalam aturan itu disebutkan Komnas HAM dapat meminta bantuan pengadilan untuk melakukan pemanggilan paksa.
Adapun bunyi Pasal 95 UU HAM yaitu, “Apabila seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangannya, Komnas HAM dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Namun, pihak Komnas HAM mengaku tidak akan melakukan hal tersebut kepada pihak KPK. Sebab, Komnas HAM meyakini KPK akan mengindahkan instruksi tersebut. Menurut Anam, hal tersebut prosedurnya sudah diatur dan harus melibatkan pengadilan negeri.
Komnas HAM pun menjadwalkan pemanggilan ulang terhadap pimpinan yakni pada sedianya hari ini, 15 Juni 2021. "Oleh karenanya, panggilan Komnas HAM harus dimaknai dengan cara karena dokumen, kesaksiannya ada, dan masalahnya enggak rumit ya datang saja. Enggak perlu ada argumentasi yang lain," ujar Anam.
Meski tidak datang hari ini, namun pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya bersedia memenuhi panggilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Kamis, 17 Juni 2021. "Kami umumkan bahwa sudah ada komitmen yang baik dari pimpinan KPK dan akan datang dalam proses pemeriksaan Komnas HAM," kata Choirul Anam di Jakarta, Selasa 15 Juni 2021. Pimpinan KPK diharapkan memberikan keterangan terkait tes wawasan kebangsaan (TWK) yang diadukan oleh sejumlah pegawai KPK yang berdampak pemecatan 51 pegawai KPK.
Terkait istilah panggil paksa, jemput paksa, atau penangkapan, dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tidak ditemukan istilah-istilah tersebut. Sebab, dalam KUHAP yang terdapat hanyalah istilah “dihadirkan dengan paksa”.
Pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda, menjelaskan panggil paksa dapat dilakukan dalam tahap penyidikan maupun proses persidangan. Sedangkan untuk istilah penangkapan bisa dilakukan tanpa didahului pemanggilan.
Menurut Chairul, panggil paksa dan jemput paksa harus ada pemanggilan yang sah terlebih dahulu. Jika sudah dua kali dipanggil secara sah namun tak kunjung datang, bisa dilakukan dijemput paksa. Denagn catatan penangkapan tidak perlu pemanggilan. Sementara, dalam proses penyidikan dapat dilakukan terhadap tersangka maupun saksi. Hal ini diatur di dalam Pasal 112 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Lebih lanjut, panggil paksa atau jemput paksa dalam proses persidangan dilakukan terhadap terdakwa. Pasal 154 ayat (6) KUHAP, yang menyebutkan, “Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya”.
GERIN RIO PRANATA
Baca: Soal Mekanisme Pemanggilan Paksa DPR Dibahas di Paripurna
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini