Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Isyarat Maut dari Palu

Persiapan eksekusi empat terpidana kasus kerusuhan Poso selesai. Tibo menitipkan permintaan maaf.

10 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PINTU toko itu sudah separuh tertutup, akhir pekan lalu. Padahal hari masih petang. Biasanya Toko Kawanua itu masih buka, karena jam tutup toko yang menjual peti mati itu menjelang tengah malam.

Satu dari dua toko peti mati di Palu itu jadi perhatian wartawan sejak tiga peti mati langsung terjual dalam sehari. Peti itu bahkan sudah diangkut entah ke mana. Pembelinya, ”Dorang tidak tahu, tapi katanya bapak dari kejaksaan,” kata salah seorang penjaga toko. Ini tentu petunjuk penting, menjelang eksekusi mati Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva, tiga terpidana kasus kerusuhan Poso.

Apalagi seorang jaksa di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah mengaku melihat kuitansi pembayaran toko itu di kantornya. ”Satu peti harganya Rp 7 juta,” kata sang jaksa. Itu adalah harga untuk peti mati dengan kayu kalapi. Kayu cokelat tua mengkilat ini memiliki kualitas nomor satu di Sulawesi.

Ada juga kuitansi pemesanan baju setelan jas lengkap, sepatu, dan sarung tangan untuk para terpidana. Setelan untuk Tibo lebih mahal ketimbang dua temannya. ”Untuk Tibo Rp 3 juta, sedangkan untuk Dominggus dan Marinus harganya Rp 2 juta lebih saja,” kata sang jaksa.

Isyarat bahwa eksekusi akan dilakukan juga muncul dari Kepala Polda Sulawesi Tengah Brigjen Polisi Oegroseno. ”Eksekusi bisa lebih cepat,” kata dia, Jumat pekan lalu. Semua persiapan yang diperlukan dari pihak polisi sudah dilakukan. Regu penembak dari Brimob Palu dan lokasi eksekusi sudah ditetapkan.

”Waktu dan tempat eksekusi harus dirahasiakan,” kata Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah Jahja Sibe. Tapi dugaan kuat lokasi eksekusi ketiga terpidana adalah di Taman Hutan Rakyat (Tahura) Peboya, Kota Palu. Di hutan itu juga, sepuluh tahun yang lalu, seorang terpidana mati dieksekusi. Hanya ada satu jalan menuju hutan Peboya. Ini amat memudahkan pengamanan.

Brigjen Oegroseno pernah menyatakan akan menyiapkan eksekusi di perairan Teluk Palu. Pertimbangannya agar eksekusi itu tidak terlalu menarik perhatian warga Kota Palu. Apalagi lokasi pemakaman Kristen Talise hanya berjarak satu kilometer dari pantai. Ada kabar, jenazah ketiga terpidana Poso itu tak akan dibawa ke kampungnya di Morowali, tapi akan dikubur di Kota Palu. ”Cuma saya susah mencari kapal yang besar,” kata mantan Wakil Kepala Polda BangkaBelitung ini.

Pelaksanaan eksekusi tak terhalang setelah pada Jumat pekan lalu Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo A.S. menyatakan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menolak permohonan grasi Tibo dan dua terpidana lainnya. ”Keputusan penolakan akan segera disampaikan kepada keluarga mereka,” kata Widodo.

Eksekusi para terpidana sempat ditunda dua kali. Pada Desember silam, eksekusi dibatalkan untuk memberikan kesempatan terpidana merayakan Natal. Pada Februari lalu, eksekusi ditunda karena alasan kemanusiaan. ”Sekarang tak ada lagi alasan menunda,” kata Oegroseno.

Kesaksian Tibo tentang 16 pelaku utama kerusuhan Poso gelombang pertama dinilai polisi sumir. Pasalnya, setelah ketiganya diperiksa, ternyata mereka tak melihat, mendengar, atau mengetahui sendiri. Semua cerita itu berdasar keterangan orang lain yang juga tak bisa jelas ditunjukkan sumbernya. Karena itu polisi menyimpulkan keterangan Tibo bukanlah kesaksian penting untuk mengungkap dalang kerusuhan Poso. Pemeriksaan polisi terhadap namanama yang sudah disebut Tibo juga tak mengantarkan pada bukti dan keterangan baru.

Polisi, kata Oegroseno, bisa membatalkan eksekusi bila ada seorang sukarelawan yang bisa menunjuk hidung pelaku pembunuhan ratusan warga Poso pada Mei 2000. ”Tapi tidak ada orang mau menunjuk pelaku pembunuhan lain. Kalau ada orang yang berani mengatakan Tibo tidak terlibat tapi si Anu, ceritanya bisa lain,” kata Oegroseno.

Pastor Jimmy Antonius Tumbelaka, pendamping rohani para terpidana, menyebut mereka sudah pasrah. ” Tibo hanya menitipkan permintaan maaf kepada saudarasaudara di Poso yang Islam. Meski tetap mengaku tak bersalah, mereka merasa perlu minta maaf,” kata Jimmy seusai menjenguk ketiganya, pekan lalu.

Arif A. Kuswardono, Darlis Muhamad (Palu)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus