Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DAHI petugas kantor Kelurahan- Kamal, Jakarta Barat, itu ber-kerut. Secarik kertas berisi deret-an nama ada di genggamannya. Lebih dari dua menit matanya memelototi nama-nama berbau Cina yang tertulis di kertas itu. Pandangannya kemudian dialihkan ke Neni—bukan nama sebenarnya—perempuan bermata sipit yang berdiri dengan tegang di depannya. ”Warga keturunan ya?” ujarnya. Yang ditanya mengangguk. ”Benar,” ujar perempuan 22 tahun itu lirih. Di kartu keluarga yang dipegang petugas tersebut-, na-ma Neni tertera di urutan kelima dari delapan anggo-ta keluarganya. Semua nama di situ dia-wa-li kata ”Lim,” nama marga mere-ka-.
Beberapa saat kemudian,- sang petugas menyerah-kan- kem-bali lembaran-lembaran kertas yang dipegangnya itu kepada Neni. Pega-wai kelurahan tak berseragam itu me-ngatakan, untuk membuat KTP harus ada fotokopi akta kelahiran dan fotokopi tanda WNI. ”Semacam Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia. Kami tidak bisa memproses permintaan Anda jika tidak dilengkapi kedua hal itu. Ini sudah jadi aturan,” katanya. Sang petugas tak menerangkan kenapa perlu memakai surat-surat yang ia sebutkan. ”Itu aturan dari Kantor Catatan Si-pil,” ujarnya sing-kat.
Kamis pekan la-lu, dua pekan se-telah DPR mengesahkan- Un-dang-Undang Ke-war-ganegaraan yang ba-ru, Neni ingin membu-at kartu tanda penduduk. Perempuan lulusan SMP yang tinggal di Kampung Belakang, sekitar enam kilometer dari Bandar Udara Internasio-nal Soekarno-Hatta itu perlu KTP untuk mencari kerja. Ia harus mencari uang karena bapaknya menganggur. ”Dengan punya KTP, saya bisa bekerja di pabrik,”ujar anak ketiga dari enam bersaudara ini kepada Tempo yang menyertainya ke kantor Kelurahan Kamal.
Namun, keinginannya tak tercapai. Dua surat pengantar dari RT dan RW serta kartu keluarga tak cukup kuat untuk membuat Kelurahan Kamal mener-bitkan KTP atas namanya. Neni tak pu-nya SBKRI seperti yang diminta pe-tugas.
SBKRI seolah surat ajaib yang bisa mengubah nasib warga keturunan. Me-reka bisa memiliki KTP dan mendapat kesempatan kerja hanya karena SBKRI. Karena tak punya surat tersebut, Neni dan warga keturunan Cina penghasilan rendah yang menetap di Kampung Belakang tak bisa memiliki KTP.
Sebenarnya ada cara lain untuk men-dapat KTP atau akta kelahiran tanpa harus memegang SBKRI, yakni lewat pengadilan. Sayang, lagi-lagi ada ken-dalanya, karena dibutuhkan waktu panjang, bisa berbulan-bulan. ”Saya sudah enam bulan mengurusnya lewat peng-adilan, tapi belum juga selesai,” kata Li-liana, aktivis sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berdiam di Kampung Belakang.
KATA sakti ”SBKRI” lahir dari Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1977 yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganega-ra-an. Dokumen SBKRI ini diwajibkan bagi warga negara keturunan seperti Cina, Arab, atau India. Ketentuan SBKRI ini lantas diperkuat lewat Surat Keputusan Menteri Kehakiman Tahun 1978.
Setelah mendapat kritik kanan-kiri, pemerintah mencampakkan kewajiban SBKRI ini. Pada Juli 1996, Presiden Soeharto mencabut aturan yang diskriminatif ini lewat Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1996. Menurut keppres itu, untuk pengurusan administrasi kependudukan tak perlu lagi dokumen SBKRI.
Ketentuan ini diperkuat lagi di era Presiden Abdurrahman Wahid lewat Instruksi Presiden No. 4/1999. Presiden Wahid menyatakan tidak berlaku lagi SBKRI untuk etnis Tionghoa yang sudah menjadi WNI. Menurut Suma Miharja, aktivis LSM Konsorsium Catatan Sipil, berdasarkan asas lex posterior derogat legi priori, produk hukum yang baru otomatis menggugurkan produk hukum sebelumnya. ”Jadi, Keppres Nomor 52 tidak berlaku dengan keluarnya Keppres Nomor 56,” ujarnya.
Namun, aturan itu tidak berlaku di lapangan. Para aparat pemerintahan selalu bersandar pada Pasal 3 Keppres No. 56/1996. Pasal itu menyebutkan, untuk pemberian kewarganegaraan, keputus-an presiden menjadi dasar kebutuhan penyelesaian administrasi kependuduk-an. Padahal, menurut Pasal 3 ayat 1, untuk mendapat keputusan presiden di-butuhkan ketetapan pengadilan.
Masalahnya, untuk sampai ke peng-adilan jalannya berliku. Di sini diwajib-kan rekomendasi menteri, sementara untuk mendapat rekomendasi menteri diperlukan rekomendasi dari Kantor Catatan Sipil. ”Persoalannya, kantor pencatatan sipil lagi-lagi akan mena-nyakan SBKRI saat pencatatan identitas itu,” kata Suma.
Menurut Suma, pangkal semua ini lantaran Indonesia masih memakai or-donansi Belanda, seperti staats-blaad 1849, 1917, 1919, dan 1933. ”Dalam atur-an itu, warga tidak diatur berdasarkan status pribumi atau asing, tapi dikotak-kotakkan berdasar golongan Eropa dan non-Eropa,” ujar Suma.
Jalan Eni untuk mendapat status warga negara Indonesia masih gelap. Ia berharap UU Kewarganegaraan yang baru bisa menolongnya. Harapannya tak ke-sampaian. Usianya yang sudah 22 tahun menghadang perempuan berambut sepinggang ini memperoleh status warga negara Indonesia secara otomatis. Sebab, menurut UU itu, hanya mereka yang menetap di Indonesia selama lebih dari lima tahun berturut-turut dan belum 18 tahun yang bisa langsung memperoleh warga negara Indonesia. ”Ini memang kelemahan UU baru tersebut,” kata Suma.
Tapi, menurut anggota DPR yang juga bekas Ketua Panitia Khusus RUU Kewarganegaraan, Slamet Effendi Yusuf, ada jalan ke luar untuk mengatasi orang-orang yang bernasib seperti Neni. ”Mereka akan diputihkan,” ujar Slamet. Pemerintah, kata Slamet, harus mengeluarkan peraturan yang terperinci tentang pemutihan ini dengan semangat antidiskriminasi. ”Itu solusinya,” kata Slamet.
Suma Mihardja tetap ragu UU Kewarganegaraan yang baru bisa mele-nyapkan ”tradisi” meminta SBKRI kepada warga keturunan yang sudah berpuluh tahun menggumpal di birokrasi. Menurut Suma, UU ini akan berjalan efektif jika DPR mengeluarkan aturan lain, seperti UU Pelayanan Publik dan UU Administrasi Kependudukan, yang mencakup revisi UU Catatan Sipil dan UU Administrasi Pemerintahan. ”Ha-nya dengan demikian semua diskriminasi itu bisa dihilangkan,” ujarnya.
L.R. Baskoro, Danto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo