Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jalan Panjang Mencari Keadilan Korban HAM Pasca G30S 1965

Pemerintah memilih untuk melaksanakan jalur nonyudisial dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM pasca G30S 1965 karena kesulitan memperoleh bukti.

1 Oktober 2018 | 06.02 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Korban pelanggaran HAM tahun 1965/66 melakukan aksi di pelataran gedung Komnas HAM, Jakarta Pusat, Senin (4/6). ANTARA/Fanny Octavianus

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Peristiwa Gerakan 30 September atau G30S 1965 membawa Bedjo Untung pada kehidupannya yang kelam. Saat itu ia masih berusia 17 tahun. Bedjo mengaku belum tahu apa-apa mengenai peristiwa pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira TNI itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah menyatakan Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan kudeta dan membunuh ketujuh tentara dengan brutal. TNI kemudian memerintahkan PKI ditumpas hingga ke akar-akarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bedjo menjadi salah satu sasaran yang harus ditumpas. Dia dianggap bagian dari PKI lantaran aktif di Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), komunitas yang dianggap berafiliasi dengan PKI. Ayahnya sendiri ditangkap dan dibawa ke Nusa Kambangan, sebelum dibuang ke Pulau Buru.

Namun saat itu Bedjo berhasil lolos. Dia melarikan diri dan bersembunyi di berbagai tempat di sekitar Jakarta. Sayangnya, lima tahun menjadi buronan, Bedjo akhirnya ditahan. Pada 1970, dia resmi menjadi tahanan politik.

"Selama ditahan, kami disiksa," kata Bedjo kepada Tempo, Kamis, 20 September 2018. Saat proses interogasi, Bedjo mengaku disetrum. Dua jari tangannya dililit kawat yang dihubungkan dengan dinamo. Tahanan lain mengalami sensasi lain, mulai dari sundutan rokok hingga dipukul dengan ekor ikan.

Meski tak ada bukti keterlibatan dirinya dengan PKI, Bedjo tak dilepaskan. Dia ditahan selama 9 tahun. Selama itu, dia juga dipaksa bekerja tanpa diberi makan yang layak. Lauknya tak pernah banyak. Nasi yang jadi penganan utama seringkali penuh batu dan pasir.

Bedjo mengingat pernah bekerja di sawah. Dalam kondisi lelah dan lapar, dia mencari lubang-lubang tikus. Hewan itu akan dikuliti dan dibakar untuk disantap. "Kalau ketemu cindil (anak tikus) biasanya langsung dimakan saja," kata dia.

Penderitaan sebagai tahanan akhirnya usai pada 1979. Bedjo dinyatakan bebas. Saat itu muncul desakan dari pemerintah Amerika dan konsorsium Intergovermental Group on Indonesia (IGGI) -yang dibentuk Belanda- kepada pemerintah Indonesia untuk membebaskan ratusan ribu tahanan politik. Mereka mengancam tak akan lagi memberi bantuan jika tahanan tak dilepas.

Namun kehidupannya setelah itu tak jauh berbeda seperti ketika masih ditahan. Bedjo dilabeli sebagai eks tahanan politik. Dia harus melapor dan ikut apel setiap minggu. Jika ingin bepergian ke luar kota, maka Bedjo harus melapor kepada TNI. Sampai sekitar 2005, Kartu Tanda Penduduk miliknya masih berkode "ET", tanda eks tahanan politik.

Tumiso bersama korban pelanggaran HAM tahun 1965/66 lainnya melakukan aksi di pelataran gedung Komnas HAM, Jakarta Pusat, (4/6). Mereka mendesak Komnas HAM untuk menyatakan peristiwa 1965/66 sebagai pelanggaran HAM berat, serta mengumumkan hasil penyelidikannya. ANTARA/Fanny Octavianus

Menurut Bedjo, label itu masih melekat hingga sekarang. Ketua Yayasan Penelitian Korban dan Pembunuhan 1965/1966 itu tak merasa sepenuhnya bebas. Pergerakannya dibatasi. "Misalnya kami (YPKP 65) mau ada pertemuan, kami diserbu dan disebut mau membangkitkan paham komunis," ujarnya.

Bedjo mengatakan, represi yang dirasakan korban selama 53 tahun ini harus dihentikan. Ia menuntut keadilan setelah ditahan tanpa proses hukum dan dibuktikan bersalah, dipaksa bekerja, hingga disiksa. "Saya merasa tidak bersalah," kata dia.

Pria berusia 65 tahun itu meminta Presiden Joko Widodo meminta pemerintah meminta maaf kepada para korban pasca G30S 1965.

"Negara harus secara berani dan jujur mengakui bahwa telah terjadi pelanggaran HAM, kejahatan kemanusiaan, dan pembunuhan massal yang jumlahnya 500 ribu hingga 3 juta jiwa," kata dia.

Pemerintah juga dituntut menggelar pengadilan ad-hoc untuk mengungkap kebenaran dan mengadili pelaku pelanggaran HAM. Pengadilan penting untuk mencegah pengulangan di masa depan. Setelah proses tersebut, kata Bedjo, barulah rekonsiliasi dilakukan dengan memastikan pemulihan hak dan kompensasi untuk korban.

Bedjo mengatakan Jokowi dan JK yang berjanji menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat saat kampanye dinilai belum melakukan tindakan konkret. Jika Jokowi ingin bersungguh-sungguh, Bedjo mengatakan, dia seharusnya menerbitkan keputusan presiden tentang rehabilitasi umum sebagai payung hukum penyelesaian pelanggaran HAM berat.

Menurut Bedjo pemerintahan saat ini justru lebih condong menyelesaikan kasus ini melalui jalur non yudisial.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM Wiranto menyatakan kebijakannya tak berubah sejak dua tahun lalu. "Dulu sudah diumumkan di Lubang Buaya. Pakai saja rekaman itu," katanya saat diminta keterangan tentang upaya penyelesaian kasus 1965-1966 pada Kamis, 27 September 2018 di kantornya.

Pada upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Ahad, 1 Oktober 2017, Wiranto mengatakan penyelesaian kasus 1965-1966 secara yuridis tidak mungkin dilakukan. Mekanisme itu akan memicu klaim salah-benar dari sejumlah pihak. "Presiden mengatakan tadi, tidak mengulang sejarah kelam itu sebagai pembelajaran masa kini untuk menatap masa depan. Maka penyelesaian secara yuridis tidak mungkin," kata dia.

 Ketua Steering Committee IPT Dolorosa Sinaga menyerahkan salinan lengkap putusan final International People Tribunal (IPT) 1965, di kantor Komnas HAM, Jakarta, 25 Juli 2016. Keputusan itu menyatakan, Indonesia bersalah atas sembilan kejahatan kemanusiaan termasuk genosida yang terjadi 1965-1966. Karenanya, Pemerintah direkomendasikan meminta maaf kepada para korban, penyintas, dan keluarga korban.TEMPO/Imam Sukamto

Pada acara yang sama di 2016, Wiranto menyatakan negara berada dalam keadaan bahaya selama peristiswa pasca G30S 1965 jika dilihat dari pendekatan yuridis. Artinya, segala tindakan yang dilakukan dianggap sebagai upaya penyelamatan demi keamanan nasional. "Dari peristiwa tersebut juga dapat berlaku adigium 'Abnormaal recht voor abnormaale tijden', tindakan darurat untuk kondisi darurat yang dapat dibenarkan secara hukum dan tidak dapat dinilai dengan karakter hukum masa sekarang," ujarnya.

Jalur nonyudisial juga dipilih karena Kejaksaan Agung kesulitan memenuhi alat bukti yang cukup. Laporan Komnas HAM dianggap tak memenuhi standar pembuktian.

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan Jaksa Agung seharusnya membentuk tim penyidik untuk menangani laporan lembaganya terkait kasus 1965. Penyidik akan bertugas mencari data tambahan jika laporan tersebut dirasa tak memenuhi alat bukti. "Jadi jika tak mungkin dilanjutkan, itu yang menyatakan penyidik," kata dia saat ditemui di kantornya, Jumat, 28 September 2018.

Terkait upaya pemerintah untuk menyelesaikan kasus ini melalui jalur non yudisial, Taufan mengatakan lembaganya akan mengapresiasi. Dengan syarat, pemerintah harus melandaskan tindakannya berdasarkan undang-undang. Pemerintah harus mengungkapkan kebenaran dan mengutamakan kepentingan korban.

Namun Taufan tegas menyatakan Komnas HAM tak akan terlibat dalam penyelesaian kasus lewat jalur tersebut. "Kami tetap mengacu dengan UU Nomor 26 (tentang Pengadilan HAM) yaitu yudisial," ujarnya.

Peneliti International People Tribunal 65 (IPT '65) Sri Lestari Wahyuningroem berpendapat pemerintah bisa menggunakan rujukan lain untuk membuktikan pelanggaran HAM berat dalam kasus 1965. Salah satunya temuan yang diungkap dalam buku peneliti dari Sydney Southeast Asia Centre, Jess Melvin. Ia menemukan dokumen internal militer Aceh tentang peristiwa 1965 yang membuktikan militer terlibat dalam penumpasan rakyat yang dianggap terlibat gerakan 30 September. Temuan itu dianalisa dalam buku berjudul "The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder".

Sri Lestari mengatakan penelitian Jess Melvin sangat bisa dibuktikan. "Hanya saja tentu potensi penghilangan bukti-bukti juga membesar," ujarnya. Menurut dia, bukan tidak mungkin akan ada pemusnahan arsip-arsip seputar peristiwa pasca G30S 1965 dan sesudahnya yang bisa mengungkap keterlibatan militer. Dia menuturkan, jika pemerintah dan TNI tak merasa bersalah, arsip-arsip lama seharusnya dibuka kepada publik.

Di sisi lain, menurut Sri Lestari, pemerintah sudah mendapat banyak laporan terkait peristiwa tersebut. Dia tetap berharap pemerintah mau menindaklanjuti penyelidikan Komnas HAM, laporan IPT '65, serta kajian masyarakat sipil dalam sebuah lembaga resmi untuk pengungkapan kebenaran, pengakuan sejarah, dan keadilan. Lembaga tersebut juga harus memikirkan pemulihan, reparasi mendesak, dan rehabilitasi nama baik bagi korban dan keluarganya.

Vindry Florentin

Vindry Florentin

Bergabung dengan Tempo sejak 2015, alumnus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran ini terlibat dalam peliputan isu seputar ekonomi dan bisnis. Kini mengisi konten premium harian dan siniar Jelasin Dong!

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus