TUBUH William Stuart Brown alias Tony terbujur kaku dan kedua tangannya mengepal di atas dada. Terbaring di ruang jenazah Rumah Sakit Sanglah, Bali, wajahnya tampak pucat dengan bola mata yang seakan hendak keluar dari kelopaknya. Ada bekas jeratan di lehernya.
Lelaki 52 tahun asal Australia itu mengakhiri hidupnya secara tragis, Selasa pekan lalu. Ia menggantung diri di sel tahanan Lembaga Pemasyarakatan Amlapura, beberapa jam setelah divonis hukuman 13 tahun penjara plus denda Rp 150 juta oleh Pengadilan Karangasem, Bali.
Tony seolah tidak sanggup menanggung penderitaan atas perbuatannya sendiri. Sehari-hari bekerja sebagai guru bahasa Inggris, ia dicokok polisi beberapa bulan silam dengan tuduhan mencabuli anak-anak. Dua anak yang menjadi korban?sebut saja bernama Putu dan Nyoman?warga Grya Glumpang, mengaku digarap sejak November tahun silam. Semula, kedua bocah berusia 12-14 tahun itu hanya diraba, dipeluk, dan diciumi. Belakangan, Tony mulai berani mengajak ?main oral? dan mensodomi mereka.
Dikenal sebagai bekas diplomat, Tony sudah 12 tahun tinggal di Bali. Untuk menjerat korban, ia bersikap baik dan ramah terhadap anak-anak dengan memberi mereka es krim, permen, dan uang receh. Sampai akhir hayatnya, ia tak menyesali perbuatannya. ?Tak pernah terjadi sodomi. Semua dilakukan tanpa paksaan atau kekerasan,? demikian Tony menulis dalam surat yang dipersiapkan untuk konferensi pers seusai divonis.
Sang pedofil tidak bisa berkutik karena dijerat Undang-Undang No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukumannya mencapai 15 tahun penjara. Padahal, jika dijerat dengan KUHP, maksimal ia hanya dihukum lima tahun. ?Semula dia sempat syok. Tapi, setelah diberi pengertian, dia sudah bersikap wajar, malah sempat tertawa-tawa,? kata Ketut Suwirga, pengacaranya.
Keberanian hakim mengganjar putusan yang berat bagi Tony mengundang pujian dari kalangan LSM. Maklum, sebelumnya Maria Mannara, pedofil asal Italia, hanya dihukum 10 bulan penjara oleh Pengadilan Buleleng. Hanya kematian Tony yang disesali oleh Muhammad Joni dari Komisi Nasional Perlindungan Anak. ?Jika masih hidup, ia bisa dimanfaatkan untuk mengusut jaringan pedofilia yang diduga berkembang di daerah-daerah pariwisata di Indonesia,? tuturnya.
Menurut Child Wise, sebuah LSM perlindungan anak di Australia, ratusan bocah laki-laki dan perempuan Bali menjadi korban pelecehan seksual dalam lima tahun terakhir. Bahkan 80 anak dikabarkan hilang atau mati terbunuh.
Kepala Kepolisian Daerah Bali, Brigadir Jenderal Made Mangku Pastika, pun telah mendengar adanya berbagai kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak yang melibatkan beberapa warga Australia, Italia, Swedia, Inggris, dan Prancis. ?Karena beberapa kali muncul kasus, kemungkinan bukan kebetulan, tapi ada jaringannya,? ujarnya.
Berbagai perkara pelecehan anak memang pernah meletup di Bali. Sebelum Tony dipenjara, ada juga lelaki asal Australia bernama Robert Dollydunn yang dijerat. Oleh pemerintah Australia, ia akhirnya dijatuhi hukuman 30 tahun penjara. Robert dituduh melakukan pencabulan terhadap anak-anak di Lombok dan Bali. ?Selama ini pemerintah Australia memang menempatkan staf keamanan di sana untuk memantau dan mencegah pelanggaran seksual terhadap anak-anak,? ujar Machfud, Kepala Badan Komunikasi dan Informasi Daerah Nusa Tenggara Barat.
Kendati ada pengawasan ketat, toh praktek pencabulan terhadap anak-anak diduga masih berlangsung terus. Ini diakui oleh seorang korban, sebut saja bernama Agus, 15 tahun. Ketika masih kecil, pemuda asal Buleleng ini pernah dibawa oleh seorang turis Australia dan dijadikan obyek pelampiasan seksual. Dia lalu ?dijual? juga ke turis-turis lain dari berbagai negara. Foto Agus yang berpose bugil, berikut alamatnya, beredar di kalangan turis bule. ?Semula saya menikmati, tapi saat usia 15 tahun saya baru sadar bahwa saya menjadi korban,? ujarnya.
Fenomena semacam itu merisaukan Profesor Luh Suryani, Koordinator Committee against Sexual Abuse, Bali. ?Sebagai warga negara Indonesia atau masyarakat Bali, merasa harga diri kita benar-benar dilecehkan,? ujarnya.
Suryani, yang juga dikenal sebagai psikiater, berharap agar hukuman berat benar-benar jadi pegangan para hakim dalam menangani perkara pedofilia. ?Kalau hukum tak ditegakkan dengan benar, bisa jadi Bali bukan lagi tujuan pariwisata budaya, melainkan tujuan wisata para pedofil, jadi pulau surganya kaum pedofil,? katanya.
Dalam perkara Tony, harapan itu terwujud. Sang pedofil telah divonis dengan hukuman cukup berat hingga akhirnya ia memilih mengakhiri hidupnya sendiri.
Ahmad Taufik, Alit Kertaraharja (Karangasem), dan Rofiqi Hasan (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini