Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Di Tikungan Imajinasi dan Industri

Sampul adalah penikmatan pertama. Darinya seorang pembeli kadang mencoba meraba isi lagu. Segalanya tentang sampul mulai berubah sejak kemunculan album The Beatles Sergeant Pepper’s Lonely Hearts Club Band pada 1967. Para personel The Beatles dengan kostum warna-warni akan dikerumuni penggemarnya: para sastrawan, pemikir, guru spiritual. The Beatles di Inggris, The Gang of Harry Roesli di Indonesia pada 1971. Sampul perlahan melepaskan ketergantungan dengan isi rekaman dan menjadi bagian yang berdiri sendiri. Cover adalah sebuah art yang berkembang, meski hal itu bukan hal serius di negeri ini. Berikut adalah hasil pemantauan majalah ini terhadap perkembangan cover di Barat, terutama rock progresif, dan di Indonesia, beserta catatan tentang itu.

17 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah apel bagi Rene Magritte bukan berarti apel.

Kalangan seni rupa sangat mengenal konsep pelukis surealis asal Belgia yang meninggal pada 1967 itu. Untuk menampilkan "dimensi realitas yang lain", ia menggambar obyek-obyek keseharian seolah kehilangan gravitasinya. Dan lukisan favoritnya adalah apel yang melayang naik-turun atau tertahan dalam ruang.

Tapi tentu mengejutkan bila Jeff Beck, seorang gitaris rock, menggunakan salah satu "apel" Magritte sebagai sampul albumnya. Dua tahun setelah kematian Magritte, mantan gitaris Yardbird itu menampilkan La chambre d'ecoute (apel hijau) untuk album Beck-Ola. Bila Anda suka bertualang ke kios-kios penjual piringan hitam di Jalan Surabaya, Jakarta Pusat, Anda bisa beruntung mendapatkan pelat Beck-Ola. Pada sampul album piringan hitam gambar Magritte itu, apel hijau besar dalam sebuah ruang sempit akan terlihat lebih menonjol.

Beck bukan satu-satunya musisi yang memiliki perhatian pada dunia seni rupa. Sebuah lukisan Salvador Dali, misalnya, dipakai untuk sampul album James Gang, New Born (1975). Memang banyak perupa yang pada masa hidupnya mendesain sampul album musik. Yang tersohor misalnya garapan Andy Warhol untuk album Velvet Underground, The Velvet Underground & Nico (1967), dan album Rolling Stones, Sticky Finger (1971). Untuk album Velvet, Warhol menampilkan sebuah pisang yang pada edisi terbatasnya bisa dikelupas. Untuk Stones, tampil gambar celana blue jeans yang dilengkapi ritssluiting sungguhan yang bisa dinaik-turunkan.

Lalu ada Mati Klarwein, pelukis surealis yang lama tinggal di Israel dan kemudian belajar pada Fernand Leger, salah satu figur utama pengembang kubisme di Paris. Carlos Santana pada 1970 secara pribadi meminta Klarwein mendesain Abraxas, album yang menelurkan hit Black Magic Woman. Dan pemain trompet Miles Davis pada tahun yang sama memakai Klarwein untuk album Bitches Brew. Inilah album kontroversial yang disebut-sebut melakukan terobosan pada dunia jazz. Miles mengundang musisi jazz muda, gitaris John McLaughlin, pemain keyboard Joe Zawinul dan Larry Young, basis Ron Carter, drumer Lenny White, pemain sitar Khalil Balakrishna, dan penabuh tabla Bihari Sharma, bersama-sama bereksperimen jazz rock.

Bahwa majalah ini mengangkat persoalan sampul album kali ini, itu karena di tengah industri rekaman yang gegap-gempita persoalan artistik cover masih terlihat menjadi anak tiri—setidaknya bila kita membandingkannya dengan dunia perbukuan Indonesia. Harus diakui, sampul di dunia buku lebih agresif. Penerbit Yogya seperti Bentang dan Pustaka Pelajar serta Indonesia Tera di Magelang memelopori digunakannya perupa macam Eddie Hara, Heri Dono, Agus Suwage, dan Herry Ong sebagai ilustrator cover buku.

Hasilnya layak diacungi jempol. Garapan sampul mereka unik. Tidak seperti tahun 1970-an saat perupa macam Nashar, Zaini, dan Popo Iskandar terbatas menangani ilustrasi buku puisi atau majalah kebudayaan, kini para perupa itu dilibatkan merancang desain sampul buku: dari filsafat, agama, sampai ilmu-ilmu sosial. Terus terang, gara-gara cover mereka yang begitu artistik, karya terjemahan Nietzsche, Sartre, atau Iqbal yang "berat" jadi menarik, merangsang untuk dibeli.

"Memang cover di dunia rekaman masih sebagai pelengkap," kata Jan Djuhana, Direktur Senior Sony Music Indonesia. Inovasi-inovasi klip video dalam konteks ini diakuinya lebih maju dan berani. "Banyak grup band kita sekelas Dewa cover-nya masih kurang imajinatif," kritik Ilham Affan. Penyiar radio tahun 1970-an yang terlibat aktif dalam festival Sacred Rhythm yang menghadirkan Stomu Yamashita di Bali pada tahun 2000 itu menganggap pencapaian estetika cover grup-grup musik kita masih miskin gagasan.

Sampul adalah penikmatan pertama. Darinya seorang pembeli kadang mencoba meraba isi lagu. Para penulis musik Barat sepakat, sebelum itu, rata-rata cover rekaman secara konvensional menampilkan pose para pemain band. Momen pendobrak yang berpengaruh itu terjadi setelah dirilisnya album The Beatles, Sergeant Pepper's Lonely Hearts Club Band (1967). Ide dasar sampul adalah kolase: personel The Beatles dengan kostum warna-warni akan dikerumuni penggemarnya—termasuk diri mereka sendiri yang konvensional, berjas hitam, dengan rambut pendek klimis.

John Lennon membayangkan Yesus, Gandhi, dan Hitler ada di antara kerumunan fans-nya. Tapi, karena saat itu Amerika masih sensitif atas pernyataan salah kaprah Lennon (bahwa The Beatles lebih terkenal dari Yesus), gagasan itu dianulir. Meski begitu, lebih dari 80 tokoh akhirnya dipasang untuk kolase. Di antaranya foto-foto guru spiritual: Sri Yukteswar Giri, Sri Mahavatara Babaji, dan Sri Lahiri Mahasaya. Juga para sastrawan: Aldous Huxley, Dylan Thomas, William Burrough, Edgar Allan Poe, George Bernard Shaw, Lewis Carroll, H.G. Wells, dan Oscar Wilde. Termasuk psikolog Carl Gustav Jung dan ideolog-ekonom Karl Marx. Dengan menampilkan diri di tengah diri mereka yang lama dan para pemikir, mereka seakan memproklamasikan: inilah Beatles baru, meninggalkan Beatles yang lama. Beatles dengan visi ke depan, visi alternatif yang juga menjadi impian para humanis lain.

Tahun 1970-an bisa disebut periode suburnya gagasan yang menentang kecenderungan masyarakat kapitalistis satu dimensi (one dimensional society), sebuah era berisi anak-anak pemberang yang pada tataran kreativitas melahirkan visi "pencarian dunia lain". Sampul-sampul album kelompok musik Yes yang dibuat Roger Dean adalah bagian dari zeitgeist (roh zaman) itu. Dean banyak menampilkan imaji tentang "suatu lanskap alam" yang hilang. Misalnya Tales from Topographic Ocean. Album ini berangkat dari refleksi Jon Anderson. Jon, seperti ditulis oleh David Watkinson dalam buku Yes: Perpetual Change, sehari-hari tertarik pada gagasan spiritualis. Ia terkesima dengan novel-novel Carlos Castaneda yang berlatar belakang peradaban kuno Maya dan Inca.

Suatu hari ia membaca buku The Finding of the Third Eye karangan Vera Stanley Alder dan Autobiography of Yogi karya Paramhansa Yogananda. Tapi, bertolak dari itu, ia menyusun lirik-lirik yang berkisar tentang sebuah stasi berdimensi ilahiah. Coba simak lirik The Revealing Science of God, yang berkisah tentang suasana penuh cahaya bintang. Tak mengherankan jika sampulnya menampilkan sebuah panorama malam yang lengang; jagat hening dan terhampar begitu saja: tumpukan-tumpukan karang bersapih lumut, kerlip noktah bintang-bintang di atas, dan ikan-ikan yang hilir-mudik dengan tenang.

Visi yang hampir senada tampak dalam album garapan Rodney Matthews seperti Chase the Dragon (Magnum) atau Ether Stream (Rick Wakeman): ilustrasi yang penuh flora eksotis dan mesin-mesin fantastis. Malaikat, mitologi Yunani, dan sosok-sosok makhluk antah-berantah adalah bagian dari imajinasi sampul-sampul album bertema "pencarian" ini. Gentle Giant, grup musik dari Inggris yang sangat kompleks komposisinya, misalnya, memiliki lambang raksasa berjenggot, botak, tapi murah senyum.

Gagasan-gagasan sampul demikian diungkapkan tak hanya dengan media drawing, tapi juga melalui montase foto. "Bisa dibilang manipulasi foto dipelopori kelompok Hipgnosis," kata Andy Julias, pendiri Indonesian Progressive Society. Hipgnosis adalah sebuah biro desain (1968) yang mencuat namanya lantaran menangani sampul-sampul album Peter Gabriel, Led Zeppelin, 10 cc, Wishbone Ash, dan terutama album Pink Floyd. Hampir semua album Pink Floyd ditangani Hipgnosis. Sampai-sampai biro ini dianggap cocok untuk menggarap sampul album band-band yang mengusung warna psychedelic—warna musikal yang dianggap mampu membangkitkan ilusi-ilusi tentang realitas.

Pendiri Hipgnosis adalah Storm Thorgerson, sahabat karib Syd Barrett, pelopor dan vokalis pertama Pink Floyd. Maike Watkinson dan Pete Anderson, penulis buku Syd Barrett: Crazy Diamond & the Dawn of Pink Floyd, misalnya, banyak melakukan wawancara dengan Thorgerson untuk menguak hidup Syd Barrett yang misterius. Ternyata pertama kali Syd menggunakan lysergic acid diethylamide (LSD) di loteng rumah Thorgerson. Karena itu, Thorgerson bisa disebut mengenali visi-visi Pink Floyd sedari sebelum band itu lahir. Bagi David Gilmour, gitaris Pink Floyd, gagasan-gagasan visual Thorgerson bagai terapis.

"Saya suka dengan anomali-anomali, menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya," kata Thorgerson. Untuk album Atom Heart Mother, ia menampilkan foto sapi perah. Pada Wish You Were Here, dua orang bersalaman, dan salah seorang terbakar. Ketika bobot psychedelic album-album terbaru Pink Floyd oleh para kritikus dinilai makin menurun, garapan Thorgerson dianggap masih tetap kuat. Misalnya Momentary Lapse of Reason (1987), yang menampilkan gambar puluhan tempat tidur kosong di sabana dengan seorang duduk termangu.

Demikian, pada 1970-an, sampul rekaman banyak paralel dengan arus pemikiran yang menjadi mode saat itu, seperti eksistensialisme, yang menggaungkan tema-tema kesepian, kecemasan, ketakutan harapan, alienasi, dan keautentikan diri. Ilustrasi album King Crimson, In the Court of King Crimson, misalnya, mengingatkan suasana psikologis lukisan terkenal Scream, karya pelukis Edward Munch, yang menggambarkan sosok berteriak penuh tekanan. Ilustrasi King Crimson yang dapat dilihat pada sampul Layar edisi ini: orang berteriak, matanya melirik ke kanan melihat sesuatu, seolah ia ketakutan mengekspresikan kecemasan tertentu (inilah sosok 21st Century Schizoid Man, yang menjadi salah satu judul lagu). Sampul itu sendiri menjadi klasik karena pembuatnya, Gary Godber, meninggal sebelum pernah membuat sampul album lain.

Itulah era istimewa. Seorang penulis bernama Will Straw sampai menyatakan bahwa tesis filsuf Theodor W. Adorno—tentang standardisasi produk dalam kapitalisme—akan gagal menyoroti industri rock 1970-an. Yang terjadi adalah kemajemukan karya, termasuk tentunya kemajemukan cover. "Rock memang mendorong perkembangan cover karena musisinya banyak dari generasi anti-kemapanan," kata Andy Julias. Komponis Frank Zappa, misalnya, terkenal menghasilkan beragam corak album. Ia menganggap dirinya seorang pemikir musik, bukan sekadar musisi. Karya-karyanya melabrak batasan jazz, blues, klasik, atau rock. Dan cover-cover albumnya pun beragam, kadang pop art, surealis, atau minimalis. "Cover-cover Zappa sekontroversial albumnya," kata Tom Malik, pengamat musik.

Keleluasaan ekspresi dan inovasi pada 1970-an memang secara teknis tidak lepas dari format rekaman pada waktu itu, yaitu piringan hitam, yang notabene memiliki sampul besar. "Ukuran piringan hitam 30 x 30 sentimeter sangat berpengaruh sekali terhadap desain cover," kata Tom Malik. Menurut Ali Gunawan, kolektor piringan hitam, format sampul piringan hitam yang besar memungkinkan ilustrasi, anatomi, penggunaan warna-warna khusus, dan emboss (cetakan timbul) lebih detail.

Dengan format sampul besar, kemungkinan-kemungkinan inovasi kemasan yang khas juga terbuka. Pada beberapa sampul grup band, kemasan tidak hanya satu sisi muka, tapi dilapis dengan gambar lain, sehingga bisa dibentangkan. Yes Show, misalnya, bisa dibentangkan tiga bagian. Ali Gunawan memiliki album Jethro Tull, Thick as a Brick. Cover album ini bergambar halaman muka sebuah koran. Yang menarik, di dalam sampul piringan hitamnya ada lembaran 3 halaman koran.

Inovasi lain adalah cover tiga dimensi, yang menjadikan gambar seolah bisa bergerak-gerak bila sampul digoyang-goyang. Album Captain Beyond, dengan vokalis Rod Evans, sebelum penyanyi ini masuk Deep Purple, bergambar seorang dara—berpakaian ala gipsi—termasuk kategori ini. Cover tiga dimensi yang terkenal adalah album Rolling Stones, Their Satanic Majesties Request. Anggota Stones berpose duduk berdampingan dengan berkostum ala tukang sihir. Menurut Ali Gunawan, pada edisi terbatas, bila sampul album itu digoyang-goyang, posisi tangan mereka bisa berbeda-beda. "Ada tangan Keith Richard yang bergerak ke paha Mick Jagger dan Jagger berusaha menepis. Ini yang paling dicari oleh kolektor," kata Ali Gunawan.

"Piringan hitam edisi Jepang inovasinya gila-gila dan sering memberi bonus," ujar Ilham Affan. Pada 1970-an, ia tinggal di Tokyo dan memburu pelat edisi luks di Ginza. Sebab, di dalamnya terdapat poster eksklusif, stiker, dan kartu pos. Ia, misalnya, memiliki pelat Pink Floyd, Dark Side of the Moon, yang di dalam sampulnya ada bonus poster bergambar piramida. "Ini tidak ada pada edisi Eropa," ujarnya sembari menggelar poster itu kepada TEMPO. Ilham memiliki koleksi album langka Grand Funk Railroad, Survival. Di dalamnya ada tiga kartu pos yang menampilkan tiga musisi Grand Funk masing-masing berfoto sebagai manusia purba. Lalu Humble Pie, album Thunder Box. Gambar depannya berupa lubang kunci, yang membuat kita bisa mengintip seorang wanita telanjang di toilet. Atau album Rare Earth in Concert 1971, yang sampulnya berbentuk seperti ransel hijau tentara.

Dari segala pencapaian itu, banyak yang berpendapat bahwa puncak kenikmatan visual sampul ada pada 1970-an. Itu pun ditambah seringnya muncul sampul yang memicu kontroversi. Album Blind Faith dianggap bertendensi paedofilia karena menampilkan gadis remaja bertelanjang dada membawa replika pesawat. Album Electric Lady Land Jimi Hendrix ditarik dari peredaran karena sampulnya menampilkan beberapa wanita telanjang. Ada pula album Elephant's Memory John & Yoko Plastic Ono Band, yang menampilkan montase Nixon dan Mao berdansa bugil. Semuanya sensasi 1970-an yang tak tergantikan. Tapi apakah dengan demikian estetika cover dari periode itu bisa disebut klimaks?

"Saya tidak setuju kalau ilustrasi tahun 1970-an puncak cover. Setiap generasi memiliki selera estetika sendiri-sendiri," kata Andy Julias. Apa yang dikatakan Andy tentu benar. Zaman ini bukan lagi era dengan wabah eksistensialisme, surealisme, imajisme, pencarian ke Timur atau LSD. Bjork, Eminem, dan Avril Lavigne memang memiliki "dunia" sendiri. Tapi memang benar juga kalangan lain yang berpendapat bahwa pencapaian cover tahun 1970-an tak lekang sebagai inspirasi. Buktinya, Dream Theater meminta satu albumnya, Falling Into Infinity, didesain oleh Thorgerson. Grup lain, Red Hot Chili Peppers, bahkan memparodikan cover album The Beatles terkenal, Abbey Road, yang menampilkan Paul McCartney, Lennon, Ringo Starr, dan George Harrison berjalan beriringan di Abbey Road. Pada album Red Hot, semua anggota Red Hot berjalan kembali di Abbey Road meniru tingkah laku anggota Beatles. Perbedaannya, mereka bertelanjang bulat, sembari menutupi kemaluan masing-masing—sebuah satire yang mbeling dari generasi 1980-an.

Thorgerson sendiri dalam sebuah wawancaranya mengakui format cakram padat (CD) 12 x 12 sentimeter tidak maksimal untuk menampilkan ilustrasi yang rumit. Tapi, menurut dia, CD memiliki kemungkinan inovasi yang tak bisa dilakukan oleh pelat, yaitu inovasi-inovasi kemasan, paket-paket box set, digipack. "Memang pelat belum sampai puncaknya sudah tergeser, dan sekarang CD lahir dengan inovasi bentuk yang luar biasa," kata Andy Julias. Kita melihat munculnya berbagai bentuk box set CD yang unik—dari bentuk kitab sampai kotak lisong. Apalagi inovasi bentuk kemasan CD yang diperuntukkan bagi collector item yang jumlahnya terbatas. Misalnya Iron Maiden, yang pernah memunculkan kemasan album live berbentuk topeng kepala setan Edi, lambang Iron Maiden. "Bila dipencet matanya, boks itu terbuka, dan di dalamnya ada empat cakram padat, sebuah gelas wine, cincin, dan sebuah surat," kata Jan Djuhana, yang memiliki edisi itu.

Dunia kemasan cover Indonesia belum merambah sampai secanggih itu. Faktor untuk pembaruan artistik dunia kemasan mungkin salah satunya secara reguler diadakan penghargaan dan kompetisi. Cover Rolling Stones Tattoo You yang tersohor, gambar seorang laki-laki berajah dengan dasar merah, karya Peter Corriston, misalnya, meraih Grammy Award pada 1982 untuk packaging terbaik. "Jelas kalau di sini ada penghargaan, itu akan memacu kreativitas para ilustrator," kata Andy Julias, yang berjanji bahwa cover album grup musik rock progresif yang diproduserinya, seperti Pendulum atau Imanissimo, akan sangat memperhatikan unsur artistik. Agaknya, di Indonesia, inovasi artistik yang berani juga bisa bermula dari sampul album rock.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus