Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepuluh penyidik Kejaksaan Agung hanya menggeleng-gelengkan kepala ketika melihat tempat yang tercantum sebagai alamat kantor Pijar Pembangunan di kawasan Sunggal, Medan, itu. Mereka tak mengira kantor lembaga penerima bantuan sosial Rp 150 juta dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara pada 2013 itu hanya berupa kamar kos untuk satu orang.
Penghuni kamar tak ada di tempat ketika tim jaksa mendatangi rumah di kawasan Sunggal, Medan, pada 19 Agustus lalu. Di dalam kamar, jaksa hanya menemukan sebilah papan nama yang tak terpasang. "Tak ada kegiatan apa pun," kata Kepala Subdirektorat Penyidikan Korupsi Kejaksaan Agung Sarjono Turin, Rabu pekan lalu.
Pemandangan serupa terulang ketika tim jaksa mendatangi sebuah rumah di Kwala Bekala, Medan. Menurut dokumen yang dipegang jaksa, di alamat ini berkantor tiga lembaga: Ikatan Pemuda Pelopor Perbatasan, Forum Komunikasi Lintas Generasi Muda, dan Ikatan Generasi Muda Pemersatu Bangsa. Ketiganya tercatat sebagai penerima dana bantuan sosial, masing-masing Rp 50 juta. Kecuali papan nama Ikatan Pemuda Pelopor Perbatasan, tak ada aktivitas apa pun yang menunjukkan tempat itu sebagai kantor bersama.
Kejaksaan Agung terus mengusut dugaan korupsi dana bantuan sosial dan hibah Provinsi Sumatera Utara tahun anggaran 2013 yang totalnya sekitar Rp 2,4 triliun. Dari 200-an lembaga yang tercatat sebagai penerima dana, jaksa secara acak sedang menelusuri jejak sekitar 20 lembaga.
Jaksa menduga banyak lembaga yang hanya dicatut sebagai penerima dana bansos. Kalaupun mereka menerima uang, jumlahnya tak sebesar yang dilaporkan. Jaksa mencurigai dana yang cair menjelang pemilihan gubernur itu menjadi bancakan pejabat dan politikus lokal. "Buktinya masih dilengkapi," ujar Sarjono.
Kejaksaan Agung mulai mengusut korupsi dana bansos dan hibah Provinsi Sumatera Utara pada Maret 2015. Lima hari setelah jaksa meningkatkan pengusutan ini ke tahap penyidikan, pada 28 Juli lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi menahan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho sebagai tersangka kasus penyuapan hakim.
Indikasi penyelewengan dana bansos dan hibah semula tercium oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang memeriksa laporan keuangan Provinsi Sumatera Utara 2013. Menurut laporan BPK, yang terbit pada Mei 2014, dana bantuan yang diduga diselewengkan sekitar Rp 89,4 miliar. Menurut BPK, dana bantuan disalurkan tidak sesuai dengan aturan dan tidak ada laporan pertanggungjawaban dari lembaga penerimanya.
Pada tahap awal pengusutan, Kejaksaan Agung menemukan indikasi bahwa Gubernur Gatot kerap menyetujui proposal tanpa diverifikasi oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah. Pada 2012-2013, tim verifikasi itu dipimpin Sekretaris Daerah Nurdin Lubis. Untuk mengumpulkan bukti penyelewengan, Kejaksaan Agung telah dua kali mengirim tim penyidik ke Medan. Di samping menggeledah kantor gubernur, jaksa menelusuri lembaga penerima bantuan.
Dalam penelusuran selama dua pekan terakhir pada Agustus lalu, Kejaksaan menemukan indikasi korupsi baru: sebagian lembaga penerima dana bantuan telah diperalat sejumlah pejabat dinas provinsi dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara. Ketika dana bantuan cair, dana itu langsung dipangkas pejabat dan politikus lokal. "Sebagian lembaga itu fiktif atau tak punya kegiatan," ucap Sarjono.
Seorang penyidik Kejaksaan Agung menjelaskan modus bancakan dana bantuan tersebut. Menurut dia, persekongkolan bermula jauh sebelum penetapan jumlah dana bantuan sosial dan hibah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2013. Kala itu, sejumlah pemimpin fraksi DPRD dan pejabat dinas provinsi mengumpulkan lembaga calon penerima bantuan. "Mereka yang mengumpulkan lembaga itu kami sebut pengepul," kata seorang penyidik.
Setelah itu, dibahaslah berapa kira-kira bantuan yang akan diminta dan bagaimana pembagian uangnya. Ketika rencana bagi-bagi sudah disepakati, barulah lembaga calon penerima dana diminta membuat proposal. Proposal itu lantas dititipkan ke pejabat dinas atau pimpinan fraksi DPRD.
Selanjutnya, Sekretaris Daerah yang memilah mana proposal yang harus disetujui gubernur dan wakil gubernur. Kesepakatannya, menurut penyidik, proposal permohonan dana Rp 150-200 juta disetujui wakil gubernur. Sedangkan proposal di atas Rp 200 juta harus disetujui gubernur.
Sesuai dengan aturan, alokasi dana bansos dan hibah harus masuk Rancangan APBD. Nah, karena sejumlah pemimpin fraksi DPRD sudah terlibat sejak pengajuan proposal, pengesahan Rancangan APBD pun berjalan mulus. "Ketika dana cair, baru dibagi-bagi. Sebagian besar masuk ke kantong pengepul," ujar penyidik lain.
Langkah jaksa membidik pengepul dan lembaga penerima dana membuat pejabat daerah belingsatan. Dalam sebulan terakhir, misalnya, Biro Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat Sumatera Utara meminta sejumlah lembaga membuat laporan atas uang yang mereka terima pada 2013. "Kami diminta membuat laporan sejak Agustus kemarin," kata Ketua Koordinator Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI) Sumatera Utara Charles Munthe.
Charles termasuk pengurus lembaga penerima dana bansos yang sudah diperiksa jaksa. Menurut dia, pada kepengurusan periode sebelumnya, GMNI Sumatera Utara memang tercatat menerima bantuan sebesar Rp 150 juta dari Pemerintah Provinsi. Tapi uang tersebut hanya mampir beberapa hari di rekening lembaganya. Ketika pengurus baru GMNI mempersoalkan penggunaan dana tersebut, menurut Charles, pengurus lama beralasan, "Hal itu telah dibereskan Gatot."
Wakil Gubernur Sumatera Utara Tengku Erry Nuradi mengatakan pernah menemukan sejumlah lembaga "boneka" penerima dana bansos dan hibah. Disalurkan lewat lembaga seperti itu, bantuan tak sampai ke tangan yang berhak karena ditilap di tengah jalan. "Istilahnya 'bagdu', alias dibagi dua," ucap Erry kepada Tempo, beberapa waktu lalu.
Erry bahkan pernah menemukan proposal dari lembaga yang ia duga fiktif. Salah satunya proposal dari Lembaga Kursus Wartawan yang meminta dana Rp 200 juta. Ketika dicek, nama lembaga di kop surat dan stempelnya berbeda. "Tidak saya tekenlah," ujar Erry. Ternyata belakangan terungkap banyak lembaga yang tak jelas justru mendapat bantuan sampai ratusan juta rupiah. "Untungnya, tak satu pun konstituen saya yang menerima," kata Erry.
Sewaktu diperiksa penyidik Kejaksaan Agung pada 25 Agustus lalu, Gatot membantah terlibat bancakan dana bantuan sosial. Kepada penyidik, ia mengaku hanya menyetujui proposal berdasarkan rekomendasi tim verifikasi yang dipimpin sekretaris daerah. "Tugas saya hanya sampai pengesahan proposal. Setelah itu, tak terlibat lagi," ujar Gatot seperti ditirukan penyidik.
Adapun Sekretaris Daerah Sumatera Utara periode 2012-2013, Nurdin Lubis, juga mengunci mulutnya rapat-rapat. Ketika dicegat wartawan setelah diperiksa penyidik Kejaksaan Agung pada pertengahan Agustus lalu, Nurdin menolak berkomentar soal dugaan pemangkasan dana bantuan sosial di masa jabatannya.
Sejumlah pemimpin fraksi DPRD Sumatera Utara periode 2009-2014 berbeda sikap ketika dimintai tanggapan soal dugaan bancakan dana bansos di masa jabatan mereka. Fadly Nurzal, Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan kala itu, misalnya, mempersilakan Kejaksaan Agung mengusut tuntas perkara bantuan sosial. "Seingat saya, jarang sekali permintaan PPP dipenuhi Gatot," tutur Fadly. Adapun Yan Syahrin, Ketua Fraksi Gerindra, memilih bungkam dengan alasan sakit. "Maaf, saya belum bisa berkomentar," katanya.
Pekan ini Kejaksaan Agung berencana memeriksa sejumlah anggota DPRD Sumatera Utara periode 2009-2014 yang diduga menjadi pengepul dana bansos. "Siapa pun yang dinilai tahu dan ada kaitan dengan perkara bansos harus diperiksa," ujar Jaksa Agung Muhamad Prasetyo, Jumat dua pekan lalu.
Istman M.P., Mustafa Silalahi, Salomon Pandia (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo