Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jauh Vonis dari Bui

Puluhan pejabat daerah menjadi buron dalam kasus korupsi. Kejaksaan baru bergerak setelah mendapat sorotan.

14 Mei 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sopian Sitepu membuka pertemuan itu dengan suara bergetar. Di depannya, duduk terpaku bekas Bupati Lampung Timur Satono beserta istri dan seorang anaknya. Sepanjang Sopian berbicara, ketiga orang itu membisu. Wajah Satono terlihat tegang terutama kala Sopian membacakan inti petikan putusan Mahkamah Agung.

"Apakah Bapak siap menghadapi eksekusi?" Sopian bertanya untuk memecah kebekuan pada pertemuan Selasa siang, 20 Maret lalu, itu. Satono pun menjawab, "Saya sudah siap." Menurut Sopian, itulah pertemuan terakhir dia dengan kliennya. Pertemuan itu berlangsung di ruang rapat lantai dua di kantor Lembaga Bantuan Hukum Nasional, Jalan Kyai Maja, Bandar Lampung.

Sehari sebelumnya, Mahkamah Agung menganulir vonis bebas Satono. Hakim kasasi menghukum Satono 15 tahun penjara serta mewajibkan dia membayar denda Rp 500 juta dan mengembalikan uang hasil korupsi Rp 10,5 miliar. "Klien kami sangat terpukul," kata Sopian, Rabu pekan lalu, kepada Tempo. Dengan perhitungan terburuk sekalipun, kata Sopian, Satono mengira bakal hanya dihukum 4-5 tahun.

Satono diseret ke pengadilan karena dianggap bertanggung jawab atas raibnya dana Rp 119 miliar milik Pemerintah Kabupaten Lampung Timur. Dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah itu disimpan Satono di Bank Perkreditan Rakyat Tripanca Setiadana.

Pada Juli 2008, Bank Indonesia menutup BPR Tripanca. Dana Pemerintah Kabupaten Lampung Timur pun tak bisa diselamatkan semuanya. Soalnya, sesuai dengan aturan Lembaga Penjamin Simpanan, dana nasabah yang dijamin pemerintah hanya Rp 2 miliar.

Kepolisian lantas mengusut salah urus uang negara itu. Polisi menemukan bukti Satono menerima "bunga haram" Rp 10,5 miliar dari pemilik BPR, Sugiharto Wiharjo. Uang diterima Satono secara bertahap sejak 2006 sampai 2008. Polisi pun menetapkan Satono sebagai tersangka dan menyita sebagian hartanya.

Menyandang status tersangka, pada Juli 2010, Satono nekat mencalonkan diri lagi dalam pemilihan Bupati Lampung Timur. Hasilnya, warga Lampung Timur masih memilih dia menjadi bupati periode 2010-2015. Tapi kemenangan itu tak membendung langkah polisi dan jaksa mengusut kasusnya. Pada November 2010, misalnya, Direktorat Imigrasi mencekal Satono.

Jaksa menuntut Satono 12 tahun penjara. Tapi Pengadilan Negeri pada Oktober 2011 memvonis bebas Satono. Jaksa mengajukan permohonan kasasi atas putusan itu. Hasilnya: majelis hakim kasasi yang dipimpin Djoko Sarwoko membatalkan vonis bebas dan menghukum Satono.

Tapi putusan itu tak langsung dieksekusi Kejaksaan Negeri Lampung. Alasannya, Kejaksaan belum menerima salinan lengkap putusan Mahkamah Agung. Yang mereka terima baru petikan putusan. "Kami harus taat aturan. Dasar mengeksekusi belum ada," kata Kepala Kejaksaan Negeri Bandar Lampung Priyanto kala itu.

Belakangan, setelah menerima salinan putusan Mahkamah Agung, jaksa pun masih berkutat pada urusan prosedural. Jaksa mengirim surat panggilan sebanyak tiga kali, dengan rentang waktu satu pekan di antara dua surat panggilan. "Itu memang prosedurnya," kata Priyanto.

Kejaksaan baru kelabakan ketika Satono menghilang. Mereka sibuk membentuk tim pemburu, yang dipimpin Wakil Kejaksaan Tinggi Lampung Hidayatullah. Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Lampung Muhammad Serry menyatakan tim itu akan segera bisa meringkus Satono. "Saya yakin, tidak lama lagi," katanya.

l l l

Taufik Hidayat menyorongkan badannya ke muka. Tanpa beranjak dari kursi, Kepala Kejaksaan Negeri Temanggung itu meraih dokumen di atas mejanya. Tangannya sibuk membolak-balik berkas setebal hampir sejengkal itu. "Dia keburu keluar dan menghilang. Kami belum sempat menyidiknya," kata Taufik di ruang kerjanya, Rabu pekan lalu. Dokumen bersampul merah dengan logo Kepolisian Republik Indonesia itu adalah berkas perkara korupsi Totok Ary Prabowo, mantan Bupati Temanggung yang kini buron.

Terpilih sebagai bupati pada 2003, Totok dua kali tersangkut perkara korupsi. Pertama, politikus Partai Golkar itu terjerat kasus korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk kegiatan Pemilihan Umum 2004. Di persidangan, Totok terbukti menggelembungkan anggaran pengadaan formulir dan stiker Pemilu 2004. Negara, menurut jaksa, dirugikan Rp 520 juta. Pada 27 Oktober 2005, majelis hakim yang dipimpin Djoemali menghukum Totok empat tahun penjara dan mewajibkan dia membayar denda Rp 150 juta. Untuk kasus pertama ini, Totok dijebloskan ke Rumah Tahanan Temanggung. Tak lama kemudian, dia meminta dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Plantungan. Di penjara terbesar di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, itulah Totok menghabiskan masa hukumannya.

Kasus kedua yang menjerat Totok adalah korupsi dana bantuan pendidikan bagi anak-anak anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Temanggung. Setiap anggota DPRD periode 1999-2004 menerima Rp 40 juta. Masalahnya, aturan soal dana bantuan itu baru diputuskan setelah dana diterima. Menurut jaksa, negara dirugikan Rp 1,8 miliar. Kejaksaan Negeri Temanggung berencana menyidik Totok dalam kasus kedua setelah dia keluar dari penjara. Tapi, sebelum kasus mulai disidik, Totok keburu bebas. "Itu tanpa sepengetahuan kami," kata Taufik. Jaksa pun kelimpungan. Sepanjang September 2010, jaksa melayangkan surat panggilan ke sejumlah tempat tinggal keluarga Totok, antara lain di Semarang, Temanggung, dan Bekasi. Tapi upaya itu tak membawa hasil.

Pada 29 Oktober 2010, Kepala Kejaksaan Negeri Temanggung Agus Budi Santoso memasukkan Totok ke daftar buron. Bekerja sama dengan kejaksaan di daerah, Totok juga diuber hingga Kalimantan dan Sumatera. Tapi semua upaya itu tak membuat Totok kembali.

Seperti Satono, Totok hanya segelintir pejabat daerah yang "sukses" mengelabui aparat ketika terbelit urusan hukum. Menurut catatan Indonesia Corruption Watch, selama lima tahun terakhir, lebih dari 150 pejabat kepala daerah terjerat kasus korupsi. Sebagian dari mereka telah divonis bersalah. Dari jumlah itu, hanya sebagian kecil yang benar-benar menjalani hukuman.

Hasil kajian atas proses eksekusi koruptor yang diterbitkan Divisi Hukum dan Moni­toring ICW pada 26 Maret lalu mengungkap, sedikitnya ada 66 koruptor yang batal dieksekusi karena berbagai alasan, antara lain keterlambatan pengiriman salinan putusan MA kepada kejaksaan, terganjal upaya peninjauan kembali oleh terpidana, dan ancaman kerusuhan di daerah. "Sedikitnya 25 koruptor kabur sebelum dieksekusi," kata anggota Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho. "Ini cermin buruk manajemen perkara dan komitmen memberantas korupsi."

Menurut Emerson, Mahkamah memang telah membuat sejumlah terobosan untuk mempercepat pengiriman salinan putusan perkara. Pada 31 Januari 2011, misalnya, Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa mengeluarkan Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2011 yang mewajibkan pengadilan menyampaikan salinan putusan dalam jangka waktu paling lambat 14 hari kerja setelah pembacaan putusan. Hanya, dengan alasan tumpukan perkara, edaran itu rupanya masih sering dilanggar.

Karena keterlambatan eksekusi terus terjadi, pertengahan April lalu, ICW dan sejumlah lembaga yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Peradilan mendatangi Kejaksaan Agung. Para penggiat antikorupsi itu melaporkan tunggakan eksekusi di sejumlah kejaksaan di daerah. Menurut laporan ICW, Kejaksaan Tinggi Riau paling banyak menunggak. Hingga pertengahan Maret lalu, Kejaksaan Riau menunggak 17 kasus, disusul DKI Jakarta (5 kasus) serta Jawa Barat dan Jawa Timur (4 kasus).

Entah karena laporan ICW itu entah bukan, dalam dua pekan terakhir ada pemandangan berbeda di beberapa sudut Kota Pekanbaru. Di sekitar kantor kejaksaan, perguruan tinggi, dan pusat-pusat keramaian terpampang puluhan poster berukuran 1 x 2 meter. Pada poster berwarna dasar hijau cerah itu terpampang foto para koruptor buron, lengkap dengan nama, alamat, berikut kasusnya. Pada poster-poster itu tertulis kata "Wanted" (dicari) dengan huruf besar berwarna merah.

Kejaksaan Tinggi Riau pun membuat gebrakan. Pada 24 April lalu, bersama tim dari Kejaksaan Agung, mereka menangkap mantan Bupati Rokan Hulu Ramlan Zas, yang buron selama empat tahun. Rabu pekan lalu, mereka juga menangkap Wan Darlis Ilyas, bekas Wali Kota Payakumbuh, di Padang, Sumatera Barat. Darlis terlibat korupsi bantuan untuk korban banjir di Riau pada 2006. Dia buron setelah Mahkamah memvonis empat tahun penjara pada Desember 2010.

Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi Riau Heru Chairuddin mengatakan, setelah menangkap Ramlan dan Darlis, Kejaksaan Tinggi Riau akan terus memburu koruptor lain. "Itu pekerjaan rumah kami," kata Heru, Kamis pekan lalu, di Kejaksaan Agung.

Jajang Jamaludin, Indra Wijaya, Nurrochman Arrazie (Lampung), Anang Zakaria (Temanggung)


Pilih Buron Ketimbang Masuk Bui

Lebih dari 150 pejabat daerah terjerat kasus korupsi dalam lima tahun terakhir. Sebagian dari mereka sudah divonis dan menjalani hukuman. Tapi, menurut Indonesia Corruption Watch, sedikitnya 25 di antaranya jadi buron sebelum dieksekusi. Jumlah yang jadi buron bisa lebih banyak, karena kejaksaan tak pernah mengumumkan angkanya secara resmi.

Buron Sebelum Eksekusi

Satono (bupati nonaktif Lampung Timur)
Kasus: Penyimpanan dana APBD Rp 119 miliar
Vonis MA: 15 tahun penjara (19 Maret 2012)
Status: Buron

Bambang Guritno (mantan Bupati Semarang)
Kasus: Korupsi dana buku pelajaran Rp 3,35 miliar (2004)
Vonis MA: 1 tahun penjara (21 April 2009)
Status: Buron

Totok Ary Prabowo (mantan Bupati Temanggung, Jawa Tengah)
Kasus: Korupsi dana Pemilu 2004 dan dana pendidikan anak anggota DPRD 1999-2004.
Vonis MA:Vonis: 4 tahun penjara dalam kasus dana pemilu (2005)
Status: Buron dalam kasus dana pendidikan anak anggota DPRD

Humizri Husein (mantan Kepala Badan Kesejahteraan Sosial Riau)
Kasus: Penyelewengan bantuan gempa Sumatera Barat Rp 500 juta
Vonis MA: 3 tahun penjara (2011)
Status: Buron

Ruskin Har (mantan Sekretaris Dewan DPRD Riau)
Kasus: Korupsi dana Badan Legislasi DPRD Riau Rp 2,5 miliar
Vonis MA: 6 tahun penjara (2011)
Status: Buron (mengajukan permohonan peninjauan kembali)

Ashar Astika (mantan Panitia Anggaran DPRD Sragen,Jawa Tengah)
Kasus:Kasus: Dana purnabakti DPRD Sragen periode 1999-2004
Vonis MA: 1 tahun penjara (2011)
Status: Buron


Buron, Kemudian Tertangkap

Ramlan Zas (mantan Bupati Rokan Hulu, Riau)
Kasus: Dana tak terduga APBD sebesar Rp 3,5 miliar
Vonis MA: 3 tahun penjara (7 April 2008)
Status: Buron 4 tahun, ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta, 20 April 2012

Wan Darlis Ilyas (mantan Wali kota Payakumbuh dan Kepala Badan Kesejahteraan Sosial Riau)
Kasus: Korupsi bahan bangunan rumah untuk korban banjir sebesar Rp 5,8 miliar
Vonis MA: 4 tahun penjara (21 Desember 2010)
Status: Buron lebih dari setahun, ditangkap 9 Mei 2012


Terobosan yang Diabaikan

Untuk mempercepat eksekusi, Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung telah membuat kesepakatan dan aturan main. Tapi itu belum efektif.

1. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2012
Intinya: Pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kepada terpidana, penyidik, dan penuntut paling lambat 14 hari kerja sejak hakim membacakan putusan.

2. Kesepakatan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung pada 16 April 2004
Intinya: Eksekusi bisa dilakukan atas dasar petikan putusan (ekstravonis), tak perlu menunggu salinan putusan lengkap.

3. Surat Edaran Jaksa Agung Nomor B-019/A/04/2004 tanggal 20 April 2004
Intinya: Eksekusi bisa dilakukan atas dasar petikan putusan (ekstravonis), tak perlu menunggu salinan putusan lengkap.


Banyak Celah untuk Kabur

Ada rentang waktu panjang dari vonis berkekuatan hukum tetap sampai seorang terpidana masuk penjara. Bisa bulanan, bahkan tahunan. Maka peluang terpidana untuk melarikan diri pun terbuka lebar.

1 Hakim Kasasi Mahkamah Agung membacakan vonis bagi terpidana korupsi.
Kendala: Di naskah putusan masih ada kesalahan redaksional atau pengetikan yang harus diperbaiki. Sebagian hakim pun masih suka memberi catatan tambahan (ditulis tangan).

2 Panitera Mahkamah Agung membuat petikan (bagian akhir putusan atau ekstravonis) dan salinan putusan (lengkap)
Kendala: Karena tumpukan perkara, perbaikan tidak bisa segera. Setelah diperbaiki, petikan atau salinan putusan harus dibaca ulang majelis hakim.

3 Petikan atau salinan putusan dikirim kepada pengadilan negeri tempat perkara korupsi pertama diadili.
Kendala: Secara teknis mestinya tidak ada kendala, karena petikan/salinan putusan dikirim lewat faksimile atau ekspedisi kilat. Tapi lain ceritanya bila ada yang bermain.

4 Panitera pengadilan negeri mengirimkan petikan atau salinan putusan kepada kejaksaan negeri yang menuntut terpidana.
Kendala: Mestinya tidak ada kendala teknis, kecuali ada yang berupaya memperlambat.

5 Jaksa selaku eksekutor memanggil atau menjemput terpidana korupsi untuk dijebloskan ke penjara.
Kendala: Banyak jaksa berkukuh bahwa eksekusi harus berdasarkan salinan putusan, bukan petikan putusan. Setelah menerima salinan putusan, jaksa pun tak langsung menjemput paksa, tapi memanggil dulu terpidana (sampai tiga kali). Terpidana punya waktu untuk kabur.


Berakhir di Lahan Parkir

Ramlan Zas menyambut mesra istrinya di lapangan parkir dekat Terminal F Bandar Udara Soekarno-Hatta. Pagi itu, 20 April lalu, bekas Bupati Rokan Hulu, Riau, tersebut tak begitu mempedulikan beberapa lelaki yang mengiringi sang istri, Sherly Ramlan. Dia mengira mereka adalah petugas pikul bandara.

Ramlan lantas membukakan pintu bagasi mobil untuk membantu sang istri menaruh bawaannya. Sampai barang dibereskan, tak ada yang mencurigakan. Ramlan baru terkejut saat masuk mobil dan duduk di belakang kemudi. Di kursi sampingnya telah duduk seorang lelaki. Dengan suara pelan, dia meminta Ramlan menyerahkan diri. Lelaki itu ternyata petugas intelijen Kejaksaan Agung.

Pelarian empat tahun Ramlan pun berakhir pada pagi itu. Selanjutnya, bak kerbau dicocok hidung, dia mengikuti saja perintah orang-orang yang menangkapnya. Tanpa diborgol, Ramlan digiring ke gedung Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan. "Mau bagaimana lagi? Saya enggak mungkin menghindar," kata Ramlan melalui telepon, Jumat pekan lalu.

Sore hari itu juga Ramlan diterbangkan ke Pekanbaru. Di ruang VIP Bandara Sultan Syarif Kasim II, Ramlan diserahkan kepada Kejaksaan Negeri Pasir Pangaraian. Malam harinya, dia dijebloskan ke penjara, sekitar 150 kilometer arah barat Kota Pekanbaru. "Saya lewati saja. Toh, di sini banyak teman," kata pria 57 tahun ini.

Perkara korupsilah yang mengantar Ramlan ke bui. Awalnya, sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan organisasi mahasiswa di Rokan Hulu dengan gencar menyoroti dugaan penyelewengan dana tak terduga pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Rokan Hulu tahun 2003. Dari total anggaran Rp 9,5 miliar, sekitar Rp 3,5 miliar diduga menyimpang.

Pada Januari 2005, Kejaksaan Tinggi Riau menyelidiki dugaan penyelewengan dana darurat itu. Jaksa berkali-kali memanggil Ramlan sebagai saksi untuk tersangka Syafruddin Nasution, Sekretaris Daerah Kabupaten Rokan Hulu saat itu.

Setahun kemudian, pengusutan kasus itu melambat. Di tengah penyidikan, Ramlan sempat mencalonkan diri dalam pemilihan Bupati Rokan Hulu periode 2006-2011. Tapi kali ini dia kalah.

Bak jatuh tertimpa tangga. Sebulan setelah kalah pemilihan, Ramlan menjadi tersangka. Bolak-balik diperiksa pada 22 Maret 2007, ia akhirnya ditahan dan kemudian kasusnya masuk pengadilan.

Di Pengadilan Negeri Pasir Pangaraian, jaksa menuntut Ramlan enam tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Jaksa juga menuntut dia membayar kerugian negara Rp 3,5 miliar.

Setelah 15 kali sidang, pada 24 September 2007, hakim memvonis Ramlan bersalah. Hakim menghukum dia tiga tahun penjara, membayar denda Rp 200 juta, dan mengganti kerugian negara Rp 3 miliar. Ramlan langsung mengajukan permohonan banding. Tapi, pada 18 Agustus 2007, Pengadilan Tinggi Riau menguatkan putusan hakim tingkat pertama.

Tak puas, Ramlan mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Di tengah proses kasasi, pada 22 Desember 2007, masa penahanan Ramlan habis. Karena jaksa alpa memperpanjang waktu penahanan, Ramlan pun melenggang ke luar penjara. Sejak itu, bekas Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Riau ini menghilang.

Baru tiga bulan kemudian jaksa menyatakan Ramlan buron. Penetapan status itu hanya dua pekan sebelum Mahkamah Agung mengetuk palu. Pada 7 April 2008, hakim kasasi juga menyatakan Ramlan bersalah dalam korupsi berjemaah. Hanya, hukumannya dikurangi menjadi 15 bulan penjara dan denda Rp 50 juta. Sudah ringan, hukuman itu pun tak bisa dieksekusi pula.

Ramlan mengaku, selama empat tahun berstatus buron, dia tinggal bersama keponakannya di rumahnya di kawasan Cipinang, Jakarta Timur. "Istri saya sesekali ke Jakarta," kata Ramlan. Tapi, soal ini, sumber Tempo membantah. Menurut sumber ini, Ramlan selalu berpindah-pindah. Selain di Cipinang, dia kadang tinggal di sebuah apartemen di Kemayoran, Jakarta Pusat.

Kendati berstatus buron, Ramlan tetap mengurus bisnisnya. Selain tetap mengendalikan usaha batu baranya di Rokan Hulu, di Jakarta ia kerap bertemu dengan kolega bisnis dan politiknya.

Ramlan pun tak hanya ngendon di Ibu Kota. Enam kali dia bolak-balik Jakarta-Rokan Hulu. Selain melepas kangen dengan sanak famili, di sana ia kerap melakukan hobinya: menjaring ikan di sungai dan mencari burung di hutan. Agar tak tepergok petugas bandara, Ramlan tak pernah naik pesawat. Ia selalu menggunakan mobil pribadi. "Selama ini aman-aman saja."

Sepandai-pandainya bersembunyi, toh akhirnya ia tertangkap. Pekan ketiga April lalu, jaksa menyadap percakapan Ramlan dengan istrinya. Permintaan sang istri untuk dijemput di bandara mengakhiri jalan panjang empat tahun pelariannya.

Jajang Jamaludin (Jakarta), Jupernalis Samosir (Pekanbaru)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus