Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Benarkah Dewan Pengawas KPK Tak Harus Tunduk pada Putusan Sela

Putusan etik untuk Nurul Ghufron menunggu hasil sidang di PTUN. Secara normatif, Dewan Pengawas KPK tidak bisa berbuat apa-apa.

25 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ketua Majelis sidang etik Dewan Pengawas KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean, menggelar sidang pembacaan surat putusan pelanggaran etik tanpa dihadiri terperiksa Wakil Ketua KPK, Nurul Gufron, di gedung ACLC Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 21 Mei 2024. TEMPO/ Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dewan Pengawas KPK menunda pembacaan putusan etik untuk Nurul Ghufron karena ada putusan sela PTUN.

  • Dewas KPK tidak akan bisa melakukan apa-apa selain mengikuti proses di PTUN.

  • Hakim PTUN yang mengadili perkara Ghufron harusnya dilaporkan ke Komisi Yudisial.

Upaya Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi menuntaskan dugaan pelanggaran etik Nurul Ghufron terhenti. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memerintahkan Dewas KPK menunda pemeriksaan pelanggaran etik terhadap Wakil Ketua KPK itu. Padahal majelis etik tinggal membacakan hasil pemeriksaan. Alih-alih membacakan putusan, dalam sidang yang digelar pada 21 Mei lalu tersebut, majelis etik hanya mengumumkan penundaan persidangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Maka persidangan kami tunda untuk waktu sampai dengan putusan TUN (tata usaha negara) berkekuatan hukum tetap karena di sini disebut berlaku final dan mengikat,” kata Ketua Majelis Etik Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean. Ia mengatakan Dewas tidak punya upaya hukum untuk menggugurkan putusan sela PTUN Jakarta itu. "Ini juga satu hal keanehan. Sayang, kami tidak punya upaya hukum untuk ini.” 

Ghufron dilaporkan ke Dewas atas dugaan pelanggaran etik. Ia dituding telah menyalahgunakan wewenang dan pengaruh sebagai pemimpin KPK. Adapun bentuk perbuatannya adalah berkomunikasi dengan pejabat di Kementerian Pertanian untuk memutasi seorang pegawai dari Jakarta ke Malang, Jawa Timur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ghufron tidak membantah perbuatan itu. Namun, kata dia, tidak ada kompensasi apa pun yang dia terima atas bantuan yang diberikan. Selain itu, laporan yang disampaikan ke Dewan Pengawas dinilai sudah kedaluwarsa karena terjadi lebih dari setahun lalu. Ia menghubungi pejabat Kementerian Pertanian pada 15 Maret 2022. Sedangkan pelaporan ke Dewas disampaikan pada 8 Desember 2023.

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron didampingi para penasihat hukumnya memberi keterangan di Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 20 Mei 2024. TEMPO/Imam Sukamto

Atas dasar itu, Ghufron yakin Dewas tidak layak memproses laporan dugaan pelanggaran etik tersebut. Ia kemudian menggugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta pada 24 April lalu. Gugatan itu terdaftar dengan nomor perkara 142/G/TF/2024/PTUN.JKT.  Gugatan inilah yang belakangan membuahkan putusan sela.

Bila menunggu putusan final yang mengikat dari PTUN, bisa dipastikan Dewas tidak lagi punya kesempatan membacakan putusan etik untuk Ghufron. Sebab, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2014, penyelesaian perkara pada tingkat pertama dan banding bisa memakan waktu hingga delapan bulan, atau sekitar Januari 2025. Sementara itu, masa jabatan pimpinan KPK saat ini akan berakhir pada Desember mendatang. 

Menurut ahli hukum Universitas Gadjah Mada, Herdiansyah Hamzah, secara normatif, Dewas KPK memang tidak akan bisa berbuat apa-apa selain mengikuti proses di PTUN. Tidak ada celah yang bisa digunakan untuk menggugurkan putusan sela PTUN. “Dewas tergiring masuk dalam ‘jebakan’ yang dikehendaki Nurul Ghufron,” ucapnya.

Menurut Herdiansyah, Dewas seharusnya bisa berupaya lebih keras menuntaskan dugaan pelanggaran etik Ghufron. Sebab, prinsip etik adalah masalah substansial dan selama ini sangat dijaga oleh KPK. Apalagi prosesnya tinggal membacakan putusan. “Perintah putusan sela itu meminta supaya Nurul Ghufron tidak diperiksa dulu. Sedangkan Dewas sudah memutuskan, tinggal membacakan. Jadi, obyek putusan sela itu hilang,” ujarnya.

Herdiansyah menilai perlu adanya pembenahan di PTUN agar kejadian serupa tidak terulang. Hakim PTUN yang menangani perkara Ghufron juga bisa dilaporkan ke Komisi Yudisial. Apalagi putusan sela tersebut terlihat janggal dan sarat akan kepentingan lantaran melabrak prinsip-prinsip peradilan. “Alasan putusan sela tentang penundaan itu tidak masuk akal,” katanya.

Pendapat berbeda disampaikan ahli hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. Menurut dia, Dewas sebenarnya memiliki opsi menggugurkan putusan sela PTUN. Caranya, mengajukan banding melalui KPK sebagai lembaga yang menaungi Dewas. “Karena Dewas adalah perangkat KPK,” ucapnya.

Pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan putusan sela tidak mengikat. Karena itu, Dewas KPK seharusnya tidak perlu menunda pembacaan putusan etik untuk Nurul Ghufron.

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron setelah mengikuti sidang pelanggaran etik dirinya di gedung ACLC Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 14 Mei 2024. TEMPO/Imam Sukamto

Refly mencontohkan ketika PTUN mengeluarkan putusan sela dalam gugatan yang diajukan Anwar Usman. Saat itu Anwar mempermasalahkan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengangkat Suhartoyo sebagai Ketua MK. Karena itu, mengacu pada putusan sela tersebut, Suhartoyo seharusnya tidak dapat memimpin persidangan untuk memeriksa perkara perselisihan hasil pemilihan umum. “Toh, ternyata tidak dilaksanakan juga putusan selanya,” kata Refly. MK tetap melanjutkan pemeriksaan hasil pemilu yang disengketakan.   

Refly berpendapat tidak akan ada dampak hukum bila Dewas KPK mengabaikan putusan sela PTUN atas gugatan yang diajukan Ghufron tersebut. Sebab, putusan sela adalah putusan yang belum ada pemeriksaan. “Sikap Dewas terhadap Ghufron terlalu baik,” katanya.

Refly sependapat dengan Herdiansyah tentang perlunya pembenahan di PTUN. Gugatan yang diajukan Ghufron bukan menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan memutuskannya. Sebab, bila PTUN mengambil alih masalah etik, peradilan etik yang ada tidak berguna lagi.   

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Mutia Yuantisya berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Suseno

Suseno

Lulus dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia pada 1998. Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Saat ini menempati posisi redaktur di desk Nasional Koran Tempo. Aktif juga di Tempowitness sebagai editor dan trainer.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus